CerpenSastra

Getaran Hati dalam Pena

Hidup adalah sebuah perjalanan yang mengemban tugas mulia. Ada banyak hal bermanfaat yang bisa kita lakukan dalam hidup dan setiap manusia pasti akan berusaha untuk menjalankan hal ini. Salah satu tugas mulia yang bisa kita lakukan adalah mengamalkan ilmu. Semakin banyak ilmu yang kita berikan maka semakin kaya ilmu kita karena hal ini tidak akan membuat kita bertambah bodoh, melainkan kita akan semakin pintar. Proses mentransfer ilmu bisa kita temui setiap hari dalam dunia pendidikan. Lantas, apakah dengan menjadi seorang guru maka seseorang bisa mengamalkan ilmunya? Tidak, tanpa kita sadari bahwa setiap hari kita pasti mengamalkan ilmu, baik kepada orang lain maupun kepada diri sendiri. Jadi, pada dasarnya semua orang adalah guru meski tidak berprofesi sebagai guru.

Saat ini aku berprofesi sebagai guru, sebuah pekerjaan yang mulia. Padahal, guru bukanlah cita-citaku. Aku tak pernah bermimpi untuk menjadi seorang guru. Saat masih bocah, aku memiliki cita-cita menjadi pramugari. Alasanku sangat sederhana, aku ingin menjadi pramugari karena pramugari itu cantik. Saat duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), aku berganti cita-cita, aku ingin menjadi dokter karena waktu itu aku aktif pada kegiatan Palang Merah Remaja (PMR) di sekolah.

Selepas studi tingkat menengah, aku memutuskan pilihan untuk masuk pada jurusan kimia karena aku suka pekerjaan yang bergelut dengan laboratorium. Selama studi, belum tergambar orientasi kerjaku nanti seperti apa. Dari awal aku memilih jurusan pada perguruan tinggi, orang tua selalu mengarahkan diriku untuk masuk pada jurusan pendidikan, tapi aku tak pernah menghiraukannya. Ibuku seorang guru dan aku tak ingin menjadi bayang-bayang ibuku.

“Profesi guru cocok untuk perempuan, waktunya fleksibel. Saat liburan sekolah, guru juga libur. Banyak waktu yang dicurahkan untuk keluarga.” ucap ayahku saat itu.

“Tapi aku tidak ingin menjadi seorang guru, aku ingin kerja di dalam laboratorium.” sanggahku.

Idealismeku tidak sesuai dengan idealisme orang tuaku. Suatu kebanggan tersendiri apabila aku bisa bereksperimen dalam laboratorium dengan menggunakan jas laboratorium, atribut elegan yang menempel pada tubuh.

****

Takdir yang terjadi kadang memang tidak sejalan dengan idealisme diri, tapi itu pasti yang terbaik. Selepas menempuh studi pada pendidikan tinggi, takdir mempertemukan aku pada indahnya dunia pendidikan. Awalnya aku enggan untuk menjalaninya karena hal ini tidak sesuai dengan idealismeku. Seiring berjalannya waktu, aku menemukan keindahan laboratorium dalam dunia pendidikan. Objek yang aku temui dalam dunia pendidikan sangat variatif, mulai objek tidak bergerak hingga objek yang bernyawa. Keindahan ini aku rangkai dalam suatu skenario kehidupan di dalam lautan ilmu.

“Hendra, Ayu, dan Dea, kalian saya ajukan untuk Lomba Karya Tulis Ilmiah (LKTI).” ucapku pada ketiga siswaku.

“Ibu Fify yakin kalau kami mampu?” tanya Hendra.

“Saya percaya kalau kalian bisa, asal kalian semangat untuk berjuang.” ucapku.

Kali ini aku mencoba untuk mengukir keindahan laboratorium di dalam hati siswa-siswiku. Ukiran indah ini aku bingkai dalam suatu riset. Aku mulai menanamkan cara berpikir kritis dan ilmiah.

“Bu, uji apa yang nanti kami terapkan dalam riset ini?” tanya Ayu.

“Cukup uji organoleptik saja, kalau uji mikroba belum bisa kalian lakukan karena keterbatasan alat dalam laboratorium.” ucapku.

Pada riset ini, mereka aku ajak untuk bereksplorasi mengenai Hand Sanitizer. Awalnya aku merasa kesulitan memberikan pemahaman, tapi lambat laun aku bisa mengarahkan mereka.

Baca Juga:  9 Pengalaman Berharga Menjadi Guru, Tidak Terlupakan!

****

Penghujung acara telah tiba, saatnya murid-muridku untuk unjuk gigi menampilkan hasil risetnya. Pada Lomba Karya Tulis Ilmiah (LKTI) tingkat nasional ini, finalis datang dari berbagai daerah dan SMA ternama.

“Ibu Fify, apakah tim kami bisa tampil memukau? Lawan kami sangat tangguh.” ucap Dea dengan pesimis.

“Kalian berjuang dengan maksimum, jangan pernah memikirkan hasil karena hasil itu urusan Allah.” jawabku.

“Sepertinya kami tidak akan menang, Bu, kemampuan kami jauh di bawah mereka.” ucap Hendra dengan lesu.

“Kalian harus optimis, jangan pernah takut. Apapun yang terjadi pasti itu yang terbaik untuk kalian. Kalian adalah siswa-siswa yang hebat, kalian sudah berusaha dengan maksimum.” ucapku menyemangati.

Hingar bingar suara peserta dan pengunjung memenuhi auditorium. Satu demi satu tim KTI mempresentasikan hasil risetnya dan mempertahankan ide mereka di depan juri. Ada satu tim yang sempat dipotong presentasinya oleh dewan juri karena telah melewati durasi.

Tiba giliran timnya Hendra mempresentasikan hasil risetnya. Semua diluar dugaan, gaya presentasi mereka sangat bagus dan mereka bisa mempertahankan ide-ide mereka.

“Penampilan kalian sangat bagus, kalian layak menjadi seorang pemenang. Setidaknya kalian sudah menang dan mengalahkan rasa pesimis kalian serta memotivasi diri untuk lebih maju.” ucapku sambil mengacungkan dua jempol.

“Bisa tidak ya, Bu, kami membawa trophy ke sekolah?” ucap Ayu.

“Sudah, tidak usah memikirkan hal itu, semuanya adalah wewenang Allah. Kalian tidak punya hak untuk mencampurinya.”jawabku.

Hal yang paling mendebarkan akhirnya datang juga, pengumuman juara 1, 2, dan 3. Suara peserta menggelegar memecah ruangan tatkala disebut juara 3. Sorak kegirangan hadir pada tim yang mendapat juara 3. Aku lihat wajah ketiga muridku, mereka hanya bisa menunduk seperti melantunkan rangkaian doa.

“Selanjutnya kami umumkan untuk juara 2 dan pemenangnya adalah …. ” ucap panitia.

“SMA Edukasi.” ucap panitia dengan lantang.

Aku kaget, terharu dan bahagia mendengar pengumuman itu. Aku lihat ketiga wajah muridku memancarkan aura kegembiraan. Mereka langsung beranjak menaiki podium. Oh, sungguh awal yang luar biasa. Ini adalah penampilan mereka yang pertama kali dan langsung bisa meraih juara 2.

Pengumuman terakhir adalah yang paling mendebarkan, juara 1 LKTI nasional. Pada kompetisi kali ini, juara 1 diraih oleh SMA Armada.

“Panitia tidak adil, Bu, bukannya mereka itu adalah tim yang presentasinya tadi diputus oleh panitia.” gerutu Dea. “Mereka juga kurang bisa mempertahankan idenya, pertanyaan antioksidan saja tidak bisa menjawab.” lanjutnya.

“Sudahlah, apapun yang terjadi, kalian harus bisa melapangkan dada. Terbaik menurut kalian, belum tentu terbaik menurut Allah, begitu juga sebaliknya.” ucapku menenangkan hati mereka.

Tak bisa dipungkiri bahwa kehidupan ini sebuah sebab akibat. Pasca perlombaan karya tulis ilmiah yang bisa meraih juara 2, atmosfer motivasi mulai menyelubungi siswa-siswiku. Anak yang awalnya hanya pasif, sekarang mulai aktif mengutarakan pendapat dan tak jarang juga mereka mendatangiku untuk meminta bimbingan karya tulis ilmiah.

“Ibu, saya ingin melakukan riset. Saya punya beberapa ide yang terpendam dan saya ingin merealisasikannya.” ucap Angga, salah satu siswaku yang sekelas dengan Hendra.

Tidak hanya Angga yang mendatangiku, beberapa siswa dari kelas lain banyak juga yang meminta bimbingan KTI kepadaku. Ada rasa bahagia dan haru yang campur aduk menjadi satu. Aku bisa menjelma menjadi ‘virus motivasi’ untuk siswa-siswiku. Perlahan motivasi mulai tertanam pada diri mereka. Tidak hanya sebatas pada riset dan kepenulisan KTI, mereka juga aku arahkan untuk membuat tulisan non fiksi dan fiksi yang lainnya, seperti essay, artikel, cerpen dan puisi.

Baca Juga: Hilangnya Si Pembawa Kabar Berita

****

Langit hari ini tampak tidak cerah dan mendung menyelimutinya, matahari seolah enggan menampakkan sinarnya. Meski langit tampak mendung tapi semangatku tetap membara untuk melukis lautan ilmu pada wajah-wajah masa depan Indonesia. Hari ini sekolah tampak sepi, tidak seperti biasanya di saat langit sedang cerah. Apakah ini sebagai efek dari langit yang mendung? Sehingga aktivitas pun menjadi mendung.

Sekilas aku melihat sesosok bayangan di sudut ruang dan sepertinya aku mengenalinya. Aku dekati bayangan tersebut, terlihat Ayu sedang duduk sambil menundukkan kepala.

“Ayu.” ucapku sambil mengelus kepalanya.

Ayu mendongakkan wajahnya dan aku lihat air mata menghiasi pipinya. Ayu beranjak dan memelukku dengan erat dengan air mata terisak-isak.

“Apa yang terjadi?” tanyaku.

“Saya bingung, Bu. Saya kehilangan arah masa depan. Tidak ada lagi sandaran untuk diri ini.” ucapnya.

“Mengapa kamu mengucap itu? Kamu pintar, kamu juga sudah mengantongi beberapa sertifikat prestasi. Saya yakin kamu punya masa depan yang cerah, jangan pernah takut menghadapi kenyataan.” ucapku menyemangati.

“Awalnya saya sangat optimis untuk lanjut kuliah, tapi semua mimpi itu musnah ketika ayah telah tiada.” ucapnya sambil terisak-isak. “Tak ada lagi penopang hidup saya, Bu. Perekonomian keluarga saya juga pas-pasan dan masih gali lubang tutup lubang.” lanjutnya dengan berurai air mata.

Aku memeluknya, memang keluarga Ayu sedang ditimpah musibah. Pasca perlombaan itu, ayah Ayu meninggal dan tidak ada lagi tulang punggung keluarganya. Ayu anak yang pintar, sayang kalau studinya terputus sampai disini. Aku tetap menanamkan semangat meski seolah semuanya adalah mimpi yang tak akan terwujud.

“Allah tahu takdir yang terbaik untuk kamu, Yu. Tetap semangat dan berusaha ya…” ucapku sambil menyeka air matanya. “Kamu harus optimis bahwa kamu bisa untuk lanjut kuliah. Saya akan berusaha untuk membantu kamu.” lanjutku.

****

Kejadian yang menimpah Ayu masih saja membayangiku. Seolah telah terjadi ikatan batin antara aku dengan siswa-siswiku, terutama anak bimbing Karya Tulis yang lebih intensif untuk berkomunikasi denganku. Ayu adalah salah satu siswa terbaik yang telah dipertemukan denganku. Dia berhak mendapat pendidikan tinggi, apalagi dengan kemampuan yang dimilikinya. Saat perlombaan, aku sempat mencari-cari info kepada panitia seputar jalur penerimaan mahasiswa baru. Salah satunya ada jalur beasiswa dan untuk pemenang lomba tentunya lebih diapresiasi lagi. Aku mencoba untuk memastikan lagi untuk jalur beasiswa, apakah masih ada quota. Aku segera menghubungi bapak Setyo yang waktu itu memberikan informasi kepadaku.

“Hallo…” ucap Bapak Setyo.

“Bapak Setyo, saya Fify dari SMA Edukasi yang dulu pernah menanyakan info penerimaan mahasiswa baru, saat perlombaan LKTI.” ucapku

“Iya, Ibu, ada yang bisa saya bantu?” tanya Bapak Setyo.

“Salah satu siswa saya yang dulu memenangkan LKTI ingin melanjutkan kuliah tapi dia dari keluarga tidak mampu. Apakah masih ada quota untuk yang jalur beasiswa?” tanyaku.

“Iya, Ibu, masih terbuka yang jalur beasiswa, apalagi siswa Ibu Fify adalah pemenang LKTI, tentu akan ada prioritas. Ibu juga tidak perlu khawatir, karena banyak tawaran beasiswa di dalam kampus. Segera saja untuk mendaftar mumpung masih tersedia.”

“Baik, Bapak Setyo, terima kasih atas infonya.” ucapku.

“Sama-sama, Ibu.” ucap Bapak Setyo.

Secercah harapan menghampiri Ayu dan keluarganya. Semoga info ini bisa menghadirkan harapan untuk Ayu melanjut ke pendidikan tinggi.

“Ayu…” panggilku, tatkala Ayu berada dalam kerumunan teman-temannya.

“Iya, Bu, ada apa?” ucapnya sambil menghampiriku.

“Saya mau ngobrol penting dengan kamu, ayo kita ke taman.” ucapku.

Bergegas aku dan Ayu berjalan menuju taman sekolah. Suasana taman terasa sejuk dan rindang, cocok untuk tempat ngobrol.

“Saya tadi menghubungi Pak Setyo yang dulu menjadi panitia LKTI. Kamu masih ingat beliau?” ucapku membuka obrolan.

“Iya, Bu, saya masih ingat. Ada apa, Bu?” tanya Ayu.

“Saya mencari info mengenai program penerimaan mahasiswa baru jalur beasiswa. Ternyata masih ada quota dan untuk para pemenang LKTI lebih diprioritaskan. Dan satu hal lagi, kamu jangan takut dengan biaya di pendidikan tinggi karena nanti pasti banyak tawaran beasiswa selain program jalur beasiswa ini.” jelasku.

“Tapi saya masih takut bukan karena studinya, melainkan karena pembiayaannya. Saya takut putus di tengah jalan.” ucap Ayu.

“Optimis, Yu, dimana ada kemauan, disitu pasti ada jalan.”ucapku menyemangati. “Kamu bisa menambah pendapatan keluarga dengan cara kuliah sambil kerja. Banyak pekerjaan part time yang bisa kamu lakukan, seperti mengajar di bimbingan belajar atau mungkin SPG toko. Apapun itu yang bisa kamu lakukan yang penting halal.” lanjutku.

“Ibu Fify yakin kalau saya mampu menjalaninya?” tanya Ayu.

“Jika melihat semangat kamu, saya yakin bahwa kamu mampu untuk menjalani ini semua. Selama niat kamu baik, pasti ada jalan yang terbentang untuk kamu. Ingat, Yu, bahwa ilmu yang akan mengangkat derajat kamu. Kamu bisa membuka dunia dengan ilmu, bahkan alam semesta. Jangan pernah menyerah…” ucapku meyakinkan hatinya.

“Saya jadi malu sama Ibu Fify, saya terlalu merepotkan. Terima kasih atas bantuannya selama ini, Bu.” ucapnya.

“Sudah, jangan bicara yang aneh-aneh. Sudah sewajarnya saya bantu kamu.”

“Iya terima kasih banyak, Bu.”

“Mulai sekarang kamu siapkan segala persyaratan administrasi untuk mendaftar pada jalur beasiswa.”

“Siap, Bu.” ucap Ayu penuh semangat.

****

Profesi sebagai guru tidak hanya sebatas mentransfer ilmu kepada siswa. Ada satu hal yang lebih berat, yaitu mendidik. Mengajar dan mendidik adalah satu paket yang diemban oleh seorang guru. Tantangan terbesar yang aku hadapi adalah proses pembelajaran mental yang harus aku tanamkan pada jiwa-jiwa siswaku. Seseorang bisa lulus dari pembelajaran mental bukan melalui ujian tulis atau lisan yang disajikan di bangku sekolah, justru pembelajaran ini adalah langsung tersaji dalam kehidupan. Setiap siswa memiliki karakternya masing-masing, ada yang memang optimis ada pula yang pesimis. Apalagi seorang siswa yang berada dalam lingkungan keluarga yang kurang memadai, hal ini sangat berpengaruh terhadap mentalnya. Disinilah, guru berperan penting dalam membangun mental siswa untuk membentuk pribadi yang tangguh dan visioner.

Indahnya memotivasi dan berbagi ilmu aku goreskan dalam penaku yang berbingkai pendidikan. Guru bukanlah cita-citaku, tapi orang tuaku tahu yang terbaik untuk diriku. Semakin aku menyelami dunia pendidikan, semakin rasa cinta ini mendarah daging. Tidak hanya eksperimen dalam laboratorium yang bisa aku taklukkan tetapi juga aku bisa mengembangkan potensi siswa-siswiku. Pada dasarnya cita-citaku tetap terwujud, karena aku tetap bergelut dengan dunia laboratorium.

Guru adalah profesi kehormatan, guru mendapat wewenang untuk membentuk masa depan anak bangsa. Di tangan guru, dititipkan sejuta wajah masa depan negara Indonesia. Siswa-siswi yang aku hadapi setiap hari adalah calon-calon pemimpin bangsa yang akan mengubah negara ini menuju kemandirian. Jadi, apa yang terjadi di masa yang akan datang adalah hasil bentukan dari tangan-tangan guru saat ini. Guru yang menginspirasi akan bisa melahirkan siswa-siswi yang inovatif.

Sampai detik ini, penaku terus menari dan menggetarkan hatiku. Aku tak akan surut untuk menjelma menjadi ‘virus motivasi’. Tak ada lagi kata idealisme ‘menjadi bayang-bayang orang tua’. Pendidikan adalah duniaku, guru adalah profesiku dan ini adalah kehormatan yang dititipkan kepadaku. Dengan menjadi seorang guru, aku mendapat kesempatan untuk mencetak dan melahirkan inovator-inovator muda yang visioner untuk menjadi sumber daya manusia yang berkualitas dalam mewujudkan Indonesia Mandiri.

****

Baca Juga: Sehangat Coklat Panas di Kota Dingin

 

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close
Back to top button