Wanita Naif


Apa kamu sadar bahwa hingga saat ini aku masih memperhatikanmu dari kejauhan? Aku tidak tahu kedepannya akan seperti apa. Hatiku masih bersikukuh, untuk tetap memikirkan dan berharap kembalinya dirimu. ‘Bukankah yang pergi dan kembali itu biasa? Namun, mengapa harus dia yang menjadi salah satunya?’ ujar batinku yang lelah ditampar kenyataan.

Aku sadar, memang aku yang salah. Aku terlalu menggantungkan harapku yang begitu tinggi padamu. Aku terlalu naif, menganggap kamu selamanya untukku. Bahkan nampaknya sekarang, kita sudah asing ya? Kamu bersama dengan dunia indahmu, dan aku bersama dengan dunia suramku tanpamu, haha. Kamu tau? Sebenarnya, hatiku tak ingin cerita ini segera berakhir, namun apa aku harus diam disaat semua yang terjadi menyadarkanku?. Jikalau benar kisah ini harus ku selesaikan. Akan kucari jalan lain selain melupakanmu, karena melupakanmu bukanlah jalan terbaik dari apa yang terjadi pada kita.

Lantas jalan apa yang harus aku lewati, jika tidak melupakanmu? jalan kecil? jalan tikus? atau mungkin jalani saja?. Ah, dasar kamu! Sudah menghilang saja masih membuatku bingung! Apa tidak puas perlakuanmu saat itu terhadap gadis malang yang hampir saja kehilangan jati dirinya sendiri? Sepertinya memang tidak ada yang harus kita bahas lagi ya? biarkan aku menentukan jalan hidupku sendiri.

***

‘Hei!’ ujar seseorang dibalik terpal biru. Aku berbalik melihat ke arahnya dan menunjuk diriku sendiri dengan wajah kebingungan.

‘Apakah bapak memanggil saya?’ ujarku dengan wajah pilon.

‘Tidak! saya hanya memanggil gadis yang ada diujung jalan sana!’ ujar seseorang dari balik terpal dengan nada tinggi. Kemudian aku menoleh ke ujung jalan sana dengan wajah masih bingung karena ternyata aku adalah gadis diujung jalan tersebut. Tak lama terdengar lagi seruan dari balik terpal tadi.

‘Hei! Kenapa diam saja! Iya saya memanggil kamu! Cepat kemari!’ ujar seseorang dari balik terpal tadi. Aku kemudian berjalan ke arahnya dengan pakaian yang basah karena habis terguyur hujan.

‘Iya pak ada apa?’ tanyaku dengan hati yang menggebu-gebu karena tak biasanya seseorang memanggilku dengan nada tinggi.

‘Hujan ini begitu deras, kenapa kamu berjalan melewatinya dengan begitu lamban dan kenapa kamu tiba-tiba berhenti ditengah jalan raya! Kamu tau kan itu bahaya?’ ujar seseorang dibalik terpal tadi seraya memarahiku.

‘Sebelumnya terimakasih sudah mengingatkan pak. Namun, jika bapak menyuruh saya kesini, hanya untuk berbicara mengenai hal itu, sepertinya hanya untuk membuang-buang waktu saya pak.’ ujarku yang merasa bahwa perkataan itu tidak penting untuk aku saat itu.

‘Ah, tidak! Saya hanya ingin mentraktirmu bubur Madura yang hangat ini. Untuk apa saya mengingatkan kepada gadis berkepala batu sepertimu nampaknya tidak penting juga.’ ujar seseorang dibalik terpal tadi.

‘Kenapa bapak tak bicara dari tadi? Kan jadi enak pak saya-nya’ ujarku yang langsung duduk disamping pria yang tadi memanggilku.

‘Dasar gadis malang! Jangan panggil saya bapak lagi! Sana pesan!’ ujar pria yang ada disebelahku. Kemudian aku pun memesan bubur Madura yang begitu menggiurkan tersebut. Tak lama pria itu kembali membuka percakapan.

‘Sepertinya kamu terlihat seperti gadis yang begitu malang ya!’ ujar pria yang ada disebelahku. Hatiku kembali berdegup kencang.

‘Ah, masnya sok tau juga ya!’ ujarku santai sambil menyeruput bubur Madura namun dalam hati, aku seperti tertusuk ribuan belati.

‘Sudahlah buka topengmu! Apa kau tak capek seharian menipu orang-orang dengan topeng di wajahmu? Kalau saya jadi kamu, saya pasti sangat capek dan muak dengan keadaan.’ ujar pria sambil menoleh ke arahku dengan tatapan yang semu.

‘Bagaimana masnya tau tentang kondisi saya saat ini? bukankah tidak mungkin masnya membaca isi pikiranku?’ tanyaku sambil membendung air mata.

‘Yaa, memang tak mungkin. Lagipula aku bukanlah peramal. Aku tau dari ujung jalan sana. Kala itu, aku melihatmu menangis sembari bersenandika, hati siapa yang tak terluka melihat gadis menangis dibawah derasnya aliran hujan?’ ujar pria yang duduk disebelahku.

‘Jadi, masnya terluka melihat saya? Untuk apa masnya mengundang saya makan bersama? Jika melihatku saja masnya terluka.’ Ujarku yang menarik kesimpulan.

‘Dasar gadis malang! Kenapa kamu tidak tau arti sebuah kata kiasan!’ ujar pria disebelahku dengan nada tinggi.

‘Haha, tenang mas saya paham kok. Lagipula saya akan merasa sangat bersalah jika dikasihani oleh orang yang melihat saya.’ Ujarku yang masih membendung air mata.

‘Hmm… Kamu cukup penuh percaya diri ya! Lagian siapa yang kasian sama gadis malang yang berkepala batu sepertimu.’ Ujar pria yang masih gengsi untuk menyatakan bahwa dia merasa kasihan terhadap gadis malang seperti saya. Namun aku berusaha untuk menghiraukannya dan bergegas jauh darinya.

‘Wah! Terimakasih ya traktirannya! Kalau begitu aku duluan ya!’ ujarku yang langsung hendak meninggalkan pria tersebut.

‘Kan hujannya belum sempat mereda, apa tidak sebaiknya nanti saja pulangnya?’ tanya pria tersebut dengan nada cemas seraya menarik ujung lenganku.

‘Tidak usah mas, terimakasih ya!’ jawabku dengan senyum manis yang terlukis dipinggir jalan saat itu.

‘Oh iya tunggu, ini kartu nama saya kalau suatu saat kamu mau balas budi.’ ujar pria seraya menyerahkan kartu nama yang bertuliskan nama Bagaskara Efemeral.

‘Namamu maknanya cukup dalam ya.’ Ujarku yang tertegun memegang kartu nama tersebut.

‘Ah, itu! Nanti saja kita bahas dipertemuan selanjutnya! Bajumu cukup basah untuk mendengarkan sebuah makna nama yang biasa ini. Disitu tertera nomor telepon ku, jangan lupa balas budi ya.’ Ujar pria yang langsung menyuruhku untuk pergi seraya meledekku untuk membalas budinya.

‘Dasar pria aneh!’ ujarku penuh kesal. Kemudian aku berjalan menuju rumah, meninggalkan tempat aneh penuh kejutan tersebut.

***

Sesampainya di rumah, aku merasa hampa penuh gelisah. Sesekali aku bertanya  ‘apakah ini rumahku?’  tak sengaja air mata menetes dari pelupuk aksaku. Apa lagi yang harus aku ungkapkan terhadap diriku? Aku bosan bermonolog! Kemana saja orang yang ada di dalam rumah ini? Kenapa aku sendirian?. Bukan lagi setetes ataupun dua tetes air mata yang keluar dari pelupuk aksaku melainkan pipiku dibanjiri kesedihan yang cukup mendalam.

‘Hai, sudahi malam yang sunyi ya, sudahi tangismu, sudahi resahmu.’ Ujar batin yang nampak tersiksa atas kesedihan ku selama ini. Untuk menghilangkan duka aku memilih mengganti baju basahku sehabis itu lantas aku berjalan ke arah sudut lorong kamarku dan menyetel alunan irama radio.

Membalut luka lagi, yang ku tahan hingga kini, habis sudah nafasku menyebut namamu’  sontak sebait lagu menyadarkanku dalam renungan. Sedikit tenang, renggang.

Aku mulai nyaman dengan kesendirian, sekilas sebuah nama terselubung di dalam benakku. ‘Bagaskara Efemeral’. Matahari yang tidak kekal abadi. Namanya cukup unik mungkin orangnya juga memiliki sifat yang sama seperti menyinari sementara lalu akan tenggelam dikala malam mulai menenggelamkan matahari di bawah lembayung senja. Aku cukup nyaman dengannya tadi, namun beliau cukup menyebalkan sekaligus menanamkan benih-benih asmaraloka yang baru.

Ah, luka lama saja belum terobati sudah mencoba membuka lembaran baru lagi, dasar manusia!

***

Menghakimi diri sendiri hanya akan menyakiti batin sendiri. Apa lebih baik jika aku menghubungi pria tadi ya. Aku bergegas meraih ponselku dan menuliskan angka-angka untuk menghubungi si pria lembayung senja.

‘Halo?’ ujarku dalam percakapan ponsel seraya menunggu jawaban dari pria lembayung senja.

‘Iya halo! Stop! Biar ku tebak, kamu pasti si gadis malang yang terhujani kesedihan tadi kan?’ tanya pria dalam ponsel.

‘Hei! Hati-hati ya kalau bicara! Dan stop memanggilku si gadis malang!’ ujarku seraya kesal.

‘Haha iya iya maaf ya! Lantas panggilan apa yang cocok untuk memanggilmu ya? mau dipanggil sayang, cinta atau…’ ujar pria lembayung senja yang percakapannya dipotong olehku.

‘Stop bergurau ya! Namaku Nabastala! Selanjutnya terserah mau dipanggil apa saja asal masih menyangkut paut dengan namaku!’ ujarku kesal.

‘Oke, oke aku akan panggil kamu, hmm… Talaa! Oke fix tala ya!’ ujar pria dibalik ponsel tersebut.

‘Hm… iya iya, kamu sudah makan?’ tanyaku mencari perhatian.

‘Sudah, kalau kamu sudah makan belum?’ ujar pria dalam telepon.

‘Aku belum makan sekarang, mungkin nanti.’ Ujarku seraya tersenyum tipis.

‘Nantimu itu kapan Talaaa? Sekarang saja sudah jam 8 apalagi nanti.’ ujar pria dalam telepon yang memarahiku.

‘Iya, iya Bagas nanti aku makan.’ ujarku dalam telepon. Tiba-tiba dari arah telepon bagas terdengar suara pintu yang diketuk dengan amat keras.

‘Hm… Tala besok lagi ya teleponnya, aku ada urusan sebentar…’ bisik pria dalam telepon. Sambungan telepon pria lembayung senja terputus dan membuatku menyimpan tanda tanya besar. ‘Dia baik-baik saja kan?’.

Baca Juga: Tawakal Cinta


Like it? Share with your friends!

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *