Faiz berdiri dengan kedua tangan di simpan di belakang punggung. Kepalanya menunduk, tak berani melihat wajah Mamanya. Namun matanya melirik pada Ayah yang duduk di sebelah mama. Ia berharap untuk dibela tetapi ayah sama sekali tak melihat ke arahnya. Lelaki itu asik dengan buku di tangannya.
“Besok, gak boleh begitu lagi ya, janji!”
Ucapan Mama hanya dibalas dengan anggukan kepala oleh Faiz.
Seperti kemarin-kemarin, Faiz akan dilepaskan dari interogasi dadakan setelah berjanji tidak mengulangi lagi. Hal itu membuat Faiz mengerti, ia hanya perlu mengaitkan jari kelingking dan berjanji. Setelah senyum mama terbit, maka selesai ritual marah-marah mama yang tidak jelas.
Faiz tidak ingkar janji. Ia hanya lebih suka mama mendengarkan ceritanya kemudian memaafkan Faiz, karena ia melakukannya tanpa sengaja.
“Maaf, Ma, Faiz Janji tidak mengulangi lagi!” setelah kata-kata itu meluncur dari mulut mungil Faiz, mams tersenyum kemudian mengelus kepalanya.
“Mama maafkan, sekarang kamu boleh main di luar,” ucap Mama dengan nada lebih rendah dari sebelum-sebelumnya.
Tanpa menunggu lama, Faiz segera berlari ke arah pintu. Belum sempat menarik gagang pintu, Mama kembali berteriak memanggil.
“Faiz, jangan main sama Bona, dulu ya. Bona kan gak puasa, nanti kamu ikut-ikutan!”
“Iya,” jawab Faiz sambil membuka pintu.
Dari luar rumah, Faiz masih mendengar suara orang tuanya bicara. Tanpa bermaksud menguping, tetapi diam-diam ia seksama mendengarkan.
“Mila, kamu jangan begitu ke anak. Coba kalau ibu-ibu lain yang bilang. Jangan main sama Faiz, soalnya faiz …”
“Habisnya, sebel, gara-gara Bona, batal lagi Faiz, puasanya!”
“Bukan begitu caranya! Jelaskan pelan-pelan, pada Faiz. Biar anak punya filter sendiri. Mana yang boleh diikuti mana yang tidak. Tidak mungkin kan selamanya mau menyetir Faiz, seperti itu!” Sejurus tak terdengar suara apa-apa. Faiz, mulai bergeser untuk memakai sendal.
“Sikap otoriter hanya akan mematikan perkembangan kemampuan berfikir kreatif anak.” Suara ayah terdengar lantang.
Faiz merengut mendengarkan pembicaraan itu. Ia merasa senang ayah membelanya tetapi ia juga merasa sedih mendengar mama dimarahi ayah. Tidak suka dengan pembicaraan itu, bocah lelaki itu memilih berlari ke lapangan di ujung gang.
Sampai di pinggir lapangan. P#upil mata Faiz melebar, melihat sosok tak asing sedang bermain bola sendirian.
“Bona! Bon! Woy!” Panggil Faiz, berulang hingga anak lelaki berpawakan kurus, berambut keriting di tengah lapangan menoleh dan berlari menghampirinya.
“Ayo, main lagi!” ajak Faiz.
Bona, terengah-engah karena tenaganya terkuras banyak untuk menendang bola. Bocah lelaki yang dua tahun lebih tua dari Faiz itu, menarik lengan teman kecilnya, hingga langkah bocah itu terhenti dan urung berlari ke lapangan.
“Jangan main bola, nanti kamu capek!” ujar Bona, kemudian ia duduk di bangku panjang di pinggir lapangan.
“Iz, maaf ya, tadi aku ajak kamu makan. Gak tauk kalau kamu puasa. Aku gak inget ini bulan puasa,” pinta Bona penuh penyesalan.
“Gak papa, aku juga lupa, kalau lagi puasa.” Faiz tertawa polos. Terbayang di kelapa Faiz, ketika mama memarahinya. Akan tetapi ia tidak ingin Bona tahu. Karena ia takut temannya itu tidak mau lagi bermain dengannya, seperti Rafa dan Aldi.
“Dasar, bocah-bocah!” sahut Bona, sambil menggeleng-gelengkan kepala, yang disambut gelak tawa renyah Faiz.
Dua pasang sahabat beda usia itu kemudian saling bertukar cerita dan bercanda. Hingga Adzan Dzuhur berkumandang, keduanya diam menghentikan permainan.
“Faiz, pulang gih! Adzan tuh!” perintah Bona, pada Faiz. Akan tetapi anak lelaki berusia tujuh tahun itu tak mengindahkan perintah Bona. Ia tetap asik membolak-balikkan kartu warna-warni bergambar Bobo Boy.
“Nanti, ah!” jawab Faiz asal.
“Ya udah, aku pulang duluan,” sahut Bona, sambil berjalan meninggalkan Faiz.
“Bareng!” teriak Faiz, sambil membereskan kartu-kartunya dan memasukkannya ke kantong celana. Kemudian mengejar Bona yang sudah keluar lapangan.
Sambil bercanda, kedua bocah itu berjalan bersisian. Keduanya berhenti saat melihat ibu-ibu mereka berbincang di depan rumah Faiz.
Faiz dan Bona, berpandangan. Meskipun tanpa suara, keduanya seolah kompak bertanya. “Ada apa, ya?” Hingga kedua ibu mereka berpisah, Bona dan Faiz tak berani melangkah.
Ada rasa khawatir menyelinap masuk ke hati kedua bocah itu. Takut jika ibu mereka bertengkar. Seperti yang sering terjadi dan itu karena Faiz dan Bona.
Dari jauh, tampak keduanya bersalaman. Setelah itu Ibu Bona, pergi meninggalkan mama Faiz. Bona dan Faiz, tersenyum lega kemudian mereka kembali berjalan pulang. Sementara Mamanya Faiz masih berdiri di pintu pagar rumah.
“Permisi, Tante,” sapa Bona, begitu sampai di depan rumah Faiz. Ia cukup tahu bahwa perempuan berjilbab itu tidak menyukainya bermain dengan Faiz. Namun bocah itu tetap bersikap sopan.
“Iya, mainnya nanti lagi ya,” jawab Mama Faiz ramah.
Mata Bona berbinar dengan perubahan sikap ibu sahabatnya itu. Sambil mengangguk sopan, Bona kemudian meneruskan pulang ke rumahnya.
“Mamah, mama gak marah lagi?” tanya Bona kepada mamanya, sepeninggal Bona.
“Mama gak marah, kalau anak ganteng mamah soleh dan pinter,” jawab Mama, sambil tersenyum dan mencubit pipi Faiz. Kemudian Mama menggandeng tangan Faiz, dan keduanya masuk ke rumah.
Di dalam rumah, ayah telah menunggu Faiz untuk bersama-sama berangkat ke Masjid.
Tanpa disuruh berkali-kali, Faiz bergegas ke kamar mandi kemudian bersiap-siap berangkat untuk salat Dzuhur berjamaah.
*****
Suara takbir berkumandang dari pengeras suara di Masjid-masjid saling bersahutan. Di dalam rumah, Faiz telah rapi dengan setelan baju koko barunya. Tahun ini, keluarganya tidak mudik ke kampung halaman dan berlebaran di perumahan tempat tinggalnya.
“Faiz, ayo!” ajak Mamanya.
“Kemana, Ma?” tanya Faiz heran, melihat mamanya yang bersiap-siap untuk berangkat.
“Ke rumah Bona,” jawab Mamanya sambil tersenyum.
“Beneran, Ma?” Seakan tidak percaya, Faiz bertanya memastikan.
“Benar Faiz,” timpal Ayah, yang baru saja keluar kanar.
“Tapi, Mama,” Faiz memicingkan sebelah matanya, ragu dengan apa yang didengarnya.
“Mama, salah selama ini, mama terlalu …,” ucapan wanita berkerudung marun itu terhenti, saat putranya tiba-tiba merengek.
“Ayo, Mah, katanya ke rumah Bona,” potong Faiz sambil menarik lengan mamanya.
“Iya-iya, tapi tunggu dulu.” Mama bangkit dari duduknya dan pergi ke dapur, beberapa saat kemudian ia kembali dengan tentengan di tangannya.
Faiz, bawa ini, untuk Bona,” ucap Mama menghentikan langkah Faiz yang hampir mencapai pintu.
Sepasang mata indah Faiz berbinar mendengar perkataan mamanya. Ia kemudian mengambil alih tentengan berukuran sedang dari tangan mamahnya.
Dengan riang, Faiz berjalan beriringan dengan ayah dan mamanya. Pergi ke rumah Bona, yang berjarak tiga rumah dari rumahnya.
Sesampainya di depan pintu, Faiz tak sabar untuk mengetuk. Belum sampai tiga kali, pintu berwarna biru muda terbuka dari dalam. Sepasang ibu dan anak menyambut kedatangan keluarga Faiz dengan wajah berseri-seri.
Bona dan Mamanya mempersilahkan tamunya masuk ke dalam rumah.
Setelah bersalam-salaman, Faiz berdiri mengambil tentengannya yang sebelumnya disimpan di atas kursi.
“Bona, ini kue lebaran untukmu,” ucap Faiz sambil menyodorkan sepaket kue lebaran. Keduanya tersenyum demikian pula dengan ketiga orang dewasa di samping mereka berdua.
“Selamat hari raya Idul Fitri, mohon maaf lahir dan batin ya,” ucap Bona, mengikuti gaya artis-artis di televisi. Membuat semua orang tertawa dengan tingkahnya.
Mutia AH
Ruji, 22 April 2023
Baca Juga:Â Emma Bersama Ayah
BekelSego adalah media yang menyediakan platform untuk menulis, semua karya tulis sepenuhnya tanggung jawab penulis.