Mengenal Tradisi Nyaneut, Budaya Minum Teh Masyarakat Sunda yang Hampir Punah

Tradisi atau upacara jamuan minum teh sudah ada di berbagai negara seperti Cina, Jepang dan Korea, yang memiliki tradisi upacara jamuan minum teh secara sakral. Di sana teh disajikan saat berkumpul bersama keluarga kala sore hari atau waktu-waktu tertentu.
Salah satu daerah di Indonesia juga memiliki sebuah tradisi minum teh yang unik dan khas dengan nama ‘Nyaneut’. Tradisi minum teh ini tumbuh dan berkembang khususnya pada etnis Sunda (Urang Sunda). Tepatnya berawal dari masyarakat yang berada disekitar kaki Gunung Cikuray Kecamatan Cigedug Kabupaten Garut, Jawa Barat.
Dalam bahasa Sunda, kata ‘Nyaneut’ berasal dari kata Nyandeut atau Nyandeutkeun, dalam arti luas bermakna; menghubungkan, merekatkan, mengaitkan, menyatukan atau mempertemukan. Pelafalan masyarakat Sunda dialek wewengkon memiliki ciri khas adanya perubahan fonetik dan fonemik sehingga menyebut kata Nyandeut menjadi Nyaneut.
Sejarah Tradisi Nyaneut
Lahirnya tradisi Nyaneut tidak terlepas dari sejarah tanaman teh masuk ke Indonesia. Awalnya tanaman teh pertama masuk ke Indonesia tahun 1684 yang berasal dari Jepang sebagai tanaman hias.
Tanaman Teh yang ditanam di dataran tinggi Gunung Cikuray Garut itu ternyata menghasilkan teh berkualitas baik. Sehingga menjadikan Garut sebagai daerah pengasil komoditi daun teh yang melimpah. Kemudian Belanda memulai penanaman teh skala besar tahun 1826 di Bogor dan tahun 1827 di Perkebunan Cisurupan Garut.
Perkebunan ini dibuka dan dikelola oleh seorang ilmuan Belanda bernama Karel Feredik Holle (K.F. Holle). Dari seorang kerabatnya, Holle mendapat kepercayaan dan diberikan modal untuk membuka dan mengelola perkebunan teh di Cikajang Garut dengan nama Perkebunan Teh Waspada. KF Holle juga bersahabat erat dengan penguhulu Balubur Limbangan Raden Hadji Moehamad Moesa.
Tradisi Nyaneut sendiri pada mulanya merupakan adaptasi dari tradisi minum teh ala Eropa. Saat itu orang-orang Eropa disekitar perkebunan teh Waspada mengonsumsi teh hangat disertai kue-kue kering ketika sore hari yang dikenal dengan afternoon tea.
Kedekatan KF Holle dengan penghulu Limbangan Moehammad Moesa kemudian mulai memperkenalkan kebiasaan afternoon tea pada masyarakat pribumi. Bedanya, sajian kue-kue itu diganti dengan kudapan khas Sunda yang disebut beubeutian berupa kulub sampeu, taleus, cau, suuk, jeung hui (singkong kukus, talas rebus, pisang kukus, kacang rebus dan ubi rebus) yang mudah ditemukan di Priangan. Teh yang disajikan adalah teh tawar hangat dari kebun teh waspada, dimasak secara tradisional menggunakan tungku atau anglo.
Orang-orang saat itu sering melakukan Nyaneut ketika pagi hari atau setelah selesai beraktivitas. Biasanya mereka mengadakan pertemuan di saung desa atau rumah warga untuk berkumpul, bercerita dan bercengkrama sembari ‘Nyaneut’.
Seiring berjalannya waktu, tradisi minum teh di Garut berkembang dan memiliki urutan-urutan dan makna dalam setiap ritualnya.
Tradisi Nyaneut kemudian menyebar ke Bandung, Karawang, Purwakarta, Ciamis, Bogor dan daerah lainnya. Kepopuleran Nyaneut saat itu bersamaan dengan melimpahnya komoditas teh sebagai sektor utama perkebunan di Jawa Barat. Tak heran jika nama Nyaneut amat popular dikalangan urang Sunda generasi tahun 1800-1900an.
Baca Juga:
Tata Cara Tradisi Nyaneut dan Maknanya
Menurut catatan museum teh dan para budayawan, ada tata cara khas dalam Nyaneut. Proses ini ternyata sarat makna luhur serta terkandung pesan-pesan kearifan lokal Sunda. Ada 3 tahapan inti melakukan proses Nyaneut.
Pertama gelas yang terbuat dari bambu disimpan di atas telapak tangan kanan, kemudian diputar dua kali putaran searah jarum jam menggunakan tangan kiri. Proses ini bermakna kehidupan itu tidak lepas dari 2 perkara yakni berpasang-pasangan.
Kedua, aroma teh dihirup sebanyak 3 kali. Maknanya kehidupan diri kita tidak terlepas dari niat, ucapan, dan perilaku atau dalam bahasa Sunda berarti tekad, ucap jeung lampah.
Ketiga, air teh diseruput sebanyak 4 kali secara perlahan dengan penuh nikmat. Hal ini mengingatkan bahwa tubuh manusia itu terdiri dari 4 unsur; tanah, air, udara dan api. Itulah proses utama Nyaneut, penuh penghayatan dan sarat makna mendalam.
Meskipun banyak kebiasaan meminum teh di berbagai masyarakat di dunia, namun Nyaneut adalah bentuk kebiasaan minum teh unik dari Tatar Sunda. Tradisi Nyaneut menjadi istimewa ketika disajikan dengan menggunakan peralatan makan dan minum tradisional Urang Sunda yaitu menggunakan cangkir dan wadah enteh yang terbuat dari batok kalapa. Piring séng untuk tempat menyimpan singkong rebus dan kudapan lainnya. Serta tampan (nampan) tempat menyimpan cangkir enteh dan sajian Nyaneut.
Tradisi Nyaneut mulai meredup
Mulai pesatnya perkembangan industri dan teknologi saat itu, mendorong perubahan perilaku masyarakat termasuk dalam mengkonsumsi teh. Hadirnya ragam minuman modern berbagai rasa atau berkarbonasi membuat teh tak lagi dipandang istimewa di mata sebagian besar masyarakat.
Keadaan ini berlanjut seiring waktu berjalan membuat nama Nyaneut kian meredup. Makna dari Nyaneut pun tak tersampaikan dengan baik antar generasi ke generasi. Memasuki awal kemerdekaan sampai dengan tahun 2000an, nama Nyaneut jarang terdengar di kalangan orang Sunda. Bahkan, menjadi kata yang cukup asing didengar.
Walaupun demikian, orang Sunda tetap mengonsumsi teh sebagai kebutuhan primer sehari-hari. Misalnya, dalam kebiasaan menerima tamu, budaya menjamu tamu dalam tradisi Sunda berprinsip Someah Hade ka Semah, yang artinya sangat menghormati tamu dan menjamunya sebaik mungkin, berupaya menjaga, memelihara dan membahagiakan tamu.
Masyarakat Sunda lebih sering menyajikan minuman berupa teh tawar hangat kepada tamu. Teh menjadi bentuk penghargaan lebih tinggi dibandingkan air tawar atau air putih ketika menjamu tamu.
Baca Juga:
Menghidupkan kembali tradisi Nyaneut melalui festival
Untuk mengenalkan kembali tradisi Nyaneut kepada masayarakat, salah satu upaya yang dilakukan adalah mengadakan festival nyaneut yang dilangsungkan setiap tahun.
Festival Nyaneut pertama baru mulai digelar pada 2014, yang dilakukan di Kampung Situgede, Cigedug Acara ini sempat terhenti pada 2020, tetapi kembali diadakan pada 2023 dan 2024 setelah masuk dalam Calendar of Event Nasional melalui program Karisma Event Nusantara (KEN) 2023 dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI.
Setiap tahun Festival Nyaneut berhasil menyedot ribuan orang dari berbagai daerah datang ke kampung Situgede. Lokasinya penyelengaraanya pun tetap sama, tak berubah. Ini untuk mempertegas komitmen Festival Nyaneut sebagai media pelembagaan tradisi Nyaneut.
Baca Juga: 7 Tradisi Masyarakat Jawa Menyambut Malam 1 Suro, Sakral dan Penuh Aroma Mistis!