7 Tradisi Masyarakat Jawa Menyambut Malam 1 Suro, Sakral dan Penuh Aroma Mistis!

Tanggal satu suro bertepatan dengan 1 Muharam yaitu Tahun Baru Islam. Pada bulan suro dianggap masyarakat Jawa sebagai bulan yang sakral. Pada malam ini masyarakat Jawa akan melakukan beberapa tradisi dan ritual dalam menyambut satu suro.
Ritual malam 1 Suro telah dikenal masyarakat Jawa sejak masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645 Masehi). Saat itu masyarakat Jawa masih mengikuti sistem penanggalan Tahun Saka yang diwarisi dari tradisi Hindu. Sementara itu umat Islam pada masa Sultan Agung menggunakan sistem kalender Hijriah.
Sebagai upaya memperluas ajaran Islam di tanah Jawa, kemudian Sultan Agung memadukan antara tradisi masyarakat Jawa dan Islam dengan menetapkan 1 Muharram sebagai tahun baru Jawa.
Berikut beberapa tradisi masyarakat Jawa menyambut malam satu 1 Suro yang sangat lekat dengan aroma mistis.
1. Kirab Pusaka
Kirab Pusaka Malam 1 Suro yang dilakukan Keraton Kasunanan Surakarta ataupun Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat juga diikuti proses semedi atau perenungan. Peserta Kirab dan semedi harus memakai pakaian Jawa lengkap.
Pakaian itu dengan warna dasar cemeng (hitam) dhuwungan untuk laki-laki, serta pakaian Jawa nyampingan ukel tradisi Jawa cunduk penyu bagi perempuan. Selain Pangeran dan Bupati Sepuh, tak dibolehkan memakai pakaian batik motif parang, lereng dan beludru.
Selama melakukan ritual malam keramat ini para pelaku ritual tidak diperkenankan untuk berbicara. Ritual Ini di namakan tapa mbisu mubeng beteng.(Keliling Benteng Tanpa Suara).
Baca Juga:
2. Ruwatan
Ruwatan adalah sejenis upacara atau tradisi untuk mensucikan diri, rumah ataupun benda pusaka yang hingga kini tetap dilestarikan masyarakat Demak, Jawa Tengah.
Tradisi ini diberlakukan untuk melestarikan ajaran dari Kanjeng Sunan kalijaga, dan digunakan bagi orang yang Nandang Sukerta atau berada dalam dosa.
Umumnya ruwatan dilakukan dengan cara pagelaran wayang, siraman, potong rambut, menanam potongan rambut hingga tirakatan.
3. Jamasan Pusaka
Di Keraton Yogyakarta, dikenal dengan Jamasan Pusaka atau ngumbah keris. Ketika upacara ini, pusaka-pusaka milik Keraton Yogyakarta akan dibersihkan atau dimandikan dengan air bunga.
Pusaka tersebut meliputi senjata, kereta, alat-alat berkuda, bendera, vegetasi, gamelan, serat-serat (manuskrip), dan lain-lain. Hal yang dijadikan sorotan bahwa barang tersebut dikatakan sebagai pusaka adalah berdasarkan perannya bagi sejarah keraton (fungsi benda tersebut dahulu kala).
Ritual ini bertujuan untuk membersihkan energi negatif dan memperkuat aura spiritual dari benda pusaka tersebut.
4. Bubur Suro
Bubur Suro dibuat dari beras, santan, rempah, dan tujuh jenis kacang. Angka tujuh ini melambangkan tujuh hari dalam satu minggu, sehingga menyantap bubur suro menjadi doa agar selalu diberi berkah dan kelancaran dalam hidup setiap harinya.
Bubur ini menjadi lambang rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa atas berkah dan rezeki yang diperoleh, sama seperti sajian yang dihidangkan saat upacara adat Jawa lainnya.
5. Larung Sesaji
Tradisi larung sesaji atau sedekah laut atau nyadran laut di daerah pesisir utara dilaksanakan pada bulan yang berbeda-beda yaitu bulan Suro dan Syawal. Larung saji masih banyak dilakukan oleh masyarakat pesisir pulau Jawa.
Sesaji untuk larung disiapkan kepala sapi, berbagai macam buah-buahan (pisang emas, pisang ampyang, dan pisang sepet), jenang (jenang abang putih, jenang katul, dan jenang glepung), jajanan pasar, serta berbagai macam bunga.
6. Ritual tirakatan dan pagelaran wayang kulit
Tradisi Malam 1 Suro dianggap sakral dan diadakan setiap tahun. Masyarakat memperingati tahun baru Jawa dan Islam ini dengan tirakatan bersama, dilanjutkan dengan tradisi tumpengan atau sedekah bumi.
Diketahui acara dimulai setelah maghrib, sesuai pergantian hari Jawa yang dimulai saat matahari terbenam. Mereka membawa hasil bumi berupa gunungan tumpeng ke tempat tirakatan, kemudian mendoakan dan makan bersama.
Tirakatan dan melekan berarti tidak tidur semalaman dengan merenungkan diri sambil bermunajat kepada Sang Pencipta memohon segala ampunan atas kesalahan yang sudah dilakukan. Di antara tradisi tersebut ada juga sebagian masyarakat yang menggunakan malam satu suro sebagai saat yang tepat untuk melakukan ruwatan melalui pagelaran wayang kulit. Ritual malam keramat ini biasa diselenggarakan di kawasan Pantai Parangkusumo.
Baca Juga:
7. Kirab kerbau bule
Berbeda dengan Yogyakarta, di Keraton Kasunanan Solo, Malam Keramat Satu Suro di peringati dengan melakukan ritual kirab kerbau bule (Kebo Bule), hewan kesayangan keraton Kasunanan Solo ini di kenal dengan nama Kyai Slamet.
Dalam Ritual Kirab Kebo Bule, Kerbau Keramat ini berperan sebagai Cucuking Lampah. Ia memimpin di barisan depan, barisan berikutnya adalah para putra Sentana Dalem (kerabat keraton) yang membawa pusaka, kemudian diikuti masyarakat Solo dan sekitarnya seperti Karanganyar, Boyolali, Sragen dan Wonogiri.
Ada banyak ritual atau tradisi masyarakat Jawa dalam menyambut malam 1 Suro. Sepanjang bulan Suro masyarakat Jawa meyakini untuk terus bersikap eling (ingat) dan waspada. Eling di sini memiliki arti manusia harus tetap ingat siapa dirinya dan di mana kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan. Sementara waspada berarti manusia juga harus terjaga dan waspada dari godaan yang menyesatkan.
Baca Juga: 7 Tradisi Jawa Untuk Menyambut Kelahiran Bayi, Dari Brokohan Hingga Setahunan