CerpenSastra

Siswa Itu Dia

Hari ini cuaca sangat mendung walau hujan tak kunjung turun. Entah bagaimana kondisi cuaca beberapa hari belakangan ini seperti sedang murung berkepanjangan.

Aku menghentikan laju bus yang kutumpangi untuk berhenti di persimpangan jalan yang tiap hari aku lalui menuju tempatku bekerja.

Tepat ditepi jalan, seorang tukang ojek langganan sudah siap menunggu kedatanganku bersiap untuk mengantarku begitu aku turun dari bus berbodi panjang berwarna biru itu.

“Hari ini agak cepetan kamu, buk. Kencang lari e bus tadi ape? (Hari ini ibu datang agak cepat bu. Larinya kencang bus tadi ya?)

Iya pak, biasanya setiap pagi gak lewat tol, ini tumben aja hari ini lewat. Gapapa pak, makin cepet datang ke sekolah makin bagus. Lagipula, sepertinya hari benar-benar mau hujan sebentar lagi. Ayo kita buruan, pak. Nanti keburu hujan.”

Tukang ojek melajukan kuda besinya yang sudah tua itu perlahan.

Maaf bae, buk. Dak biso kenceng nian kite jalan, soal e mesin tue. Mogo bae kite lah pacak sampai sebelum hujan. Ini lah diusahake cepat tapi nama e motor tue ni, cepatnyo itu cepat yang dak cepat”. (Maaf saja bu, tidak bisa cepat kita jalan, karena mesin motornya sudah tua. Semoga saja kita bisa sampai sebelum hujan. Ini sudah diusahakan cepat, tapi yang namanya motor tua, cepatnya itu cepat yang tidak cepat).

Bapak yang seumuran ayahku ini terkekeh dengan kata-katanya sendiri.

“Iya pak, gak papa. Yang penting sampe. Ini sudah lumayan kok, pak. Kalau nanti beneran hujan, kita berteduh saja dulu pak. Tidak masalah. Semua orang maklum kalau hujan begini kegiatan apapun jadi sedikit terhambat. Namanya alam kita tidak bisa melawan.”

Lanjutku menanggapi perkataan bapak tukang ojek ini. Benar-benar perkataan bijak seorang guru, aku tersenyum sendiri.

Perjalanan ke tempatku berkerja mulai dari simpang jalan tempat bus berhenti tadi sampai ke sekolahku jaraknya kurang lebih sepuluh km dengan kondisi jalan yang bisa dibilang tidak terlalu mulus.

Banyak onak dan duri. Sedikit saja bagian jalan bagus dan sisanya jalan jelek bertanah merah berkerikil dan di warnai lubang-lubang besar dan kecil yang berlumpur serta harus beberapa kali menaiki jembatan besi penyebrangan sungai.

Kalau dengan menaiki kendaraan bermotor yang normal, bukan motor tua seperti motor bapak tukang ojek yang ku naiki ini, bisa memakan waktu empat puluh lima menit bahkan lebih kalau tidak hapal kondisi jalan.

Hujan gerimis halus sudah mulai turun di setengah perjalanan kami. Bapak tukang ojek memperlambat jalan motornya karena sepertinya di wilayah sekitar jalan yang kulalui ini sudah turun hujan terlebih dahulu karena semua jalan sudah basah dan genangan air yang cukup dalam harus kami lewati.

Ketika sudah sampai sekitar satu km jarak dari sekolah, jalanan tampak ramai lalu lalang orang memakai peci dan membawa bungkusan yang kutaksir itu adalah berisi beras.

Sape wak? (siapa Wak?)” bapak tukang ojek sambil memperlambat jalan bertanya pada seorang kakek sibuk mengatur jalan agar kendaraan bisa lewat di jalan itu.

“Anak e Rudi, yang tue (anaknya rudi, yang paling tua/sulung). Telaboh, tegelisut disungai subuh tadi ikak (Jatuh terpeleset ke sungai subuh tadi).” Innalillahi wainna ilaihi rojiuun.. aku mengucap kata dalam hati. “Ooh.. Ao, ngantat ibuk guru kak ke ume sekolah empai ke sikak (Ooh.. Iya, ngantar ibu guru ini sebentar ke sekolah baru nanti kesini)”.

Sianne buk, anak e yang tue tu dak lame ni sakit ujinye tu, berape hari ni lah agak lumayan, make die tadi tu nak pegi sekolah, kalu. Lum lah pacak ke sekolah e lah tak ade lagi.” Anak murid kamu kali buk, sekolah sikaklah anak e tu.”

(Kasian sekali buk, anaknya yang sulung itu tidak lama ini terdengar kabar sedang sakit. Beberapa hari ini sudah lumayan makanya tadi mungkin mau siap berangkat ke sekolah. Belum sampe sekolah sudah tidak ada. Anak murid anda barangkali buk, sekolah disinilah anak itu).

“Ooh.. Iyakah, pak? Siapa Namanya? Saya insyaa allah tau dan hapal semua nama siswa disekolah saya.”

Entah buk, aku juge lupe, dak terti nian same name budak tu”. (Entahlah buk, saya juga lupa, tidak terlalu paham dengan nama anak itu).

“Laki atau perempuan, pak?”

Lanang buk, budak e kulit e hitam alis e tebal (Laki-laki, bu. Anaknya berkulit hitam dan beralis tebal).

“Ucup die tu galak dipanggil wang tu. Nama asli e dak terti aku. (Ucup anak itu dipanggil orang. Nama aslinya saya juga gak tau)”.

Aku hanya mengangguk mendengarkan cerita si bapak tukang ojek sampai akhirnya tiba disekolah.

Setelah membayar ongkos ojek, perlahan aku berjalan ke lingkungan sekolah yang masih sepi. Sepi sekali, tidak ada satupun siswa atau bahkan guru yang sudah datang ke sekolah.

Mungkin karena cuaca yang memang sedang tidak bersahabat. Hujan rintik halus berangsur deras tepat Ketika aku sudah sampai di depan pintu kantor ruang guru yang masih tertutup. Hhmmm.. sekolah ini terasa agak menyeramkan di cuaca yang dingin dan sepi begini.

“Ting” sebuah pesan dari grup sekolah berdenting.

“Belum bisa berangkat, hujan deras banget..” ujar seorang rekan guru. Tak lama pesan lain berdatangan yang menginformasikan bahwa belum bisa berangkat ke sekolah karena hujan yang tak kunjung berhenti.

Aku mencari posisi duduk dilantai depan kantor. Sekolah ini sekolah yang masih sangat minim fasilitas.

Karena letaknya yang lumayan jauh di dalam pedesaan, sehingga bangunan dan kondisi sekolah ini masih jauh dari kata sempurna. Angin kencang dan hujan yang masih terus turun membuat hawa semakin dingin.

Sudah hampir setengah jam aku menunggu, hujan tak juga reda. Aku memutuskan untuk pergi kerumah tetangga sebelah sekolah untuk sekedar mencari makanan kecil pengganjal perut.

Cuaca dingin membuat perutku terasa lapar walaupun subuh tadi aku sudah sedikit memakan nasi goreng yang kubuat dirumah sebelum berangkat ke sekolah.

Rumah tetangga sebelah sekolah ini sebelumnnya berjualan makanan kecil. Tapi tadi sempat aku melihat warungnya tidak buka.

Tapi tak apalah, aku hanya ingin menunggu disana saja karena tak ingin berada sendirian disekolah pada saat cuaca begini. Karena aku sempat merasakan ada sesuatu yang akan terjadi disekolah ini.

Baru saja aku bangkit dari dudukku, tiba-tiba saja aku dibuat terkejut dengan seorang siswa yang sudah berdiri disampingku. “Astaghfirullahalazhim.. Allahu akbar!! Ya Allah, nak.. kau mengejutkan Miss aja. Kapan kau ada disini?! Kok tiba-tiba muncul kayak hantu aja”. Aku berdiri sambil mengelus dadaku.

Melihat siswaku ini masih berdiri sambil menunduk. Tangannya memegang sebuah buku dan menjulurkan buku itu kepadaku sambil berkata “Miss, ikak buku yang pernah kamu pinjemke, aku nak balikke ke kamu sekalian ngumpulke tugas aku, Miss. Maaf Miss, aku telat ngumpulke tugas, aku sakit kemaren.”

(Miss, ini buku yang pernah ibu pinjamkan. mau saya kembalikan sekalian mengumpulkan tugas. Maaf Miss, saya terlambat mengumpulkannya, saya sakit kemarin).

Masih berdebar, aku mengambil buku yang diberikan anak itu. Satu buku grammar lengkap yang sengaja kupinjamkan untuk memberikan tugas kepadanya tempo hari sebelum terdengar kabar anak ini sakit. Superyadi, nama tulisan yang tertera di sampul bukunya.

“Hhh.. iya sudah, gakpapa. Kalo kamu sakit gakusah ke sekolah, mana hujan lagi. Kamu sama siapa ke sini? Pulang aja nanti, tapi tunggu hujannya reda aja. Syukurlah Miss jadi ada teman nunggu. Gakusah ke sebelah berarti”.

“Ini bukunya Miss nilai dulu, jadi nanti bisa kamu bawa pulang lagi bukunya. Kalau masih sakit, gak papa gak ke sekolah, izin dulu, suruh orang tuamu tulis surat lagi untuk sekolah biar guru tau kalo kamu masih sakit. Mukamu pucat bener soalnya, nak. Kamu sakit apa?”

Sambil mengeluarkan buku daftar nilai dan menilai hasil tugas anak yang bernama Superyadi ini, aku terus berbicara. Sesekali melihat anak itu yang duduk diam menunduk dengan muka pucat.

“Ini, sudah Miss nilai. Kamu gak usah masuk kelas nanti, langsung pulang aja. Mukamu pucat sekali, nak. Istirahat dirumah aja ya hari ini. Tugasnya untuk pelajaran Miss nanti bisa disusul kalau kamu sudah sembuh. Kamu dijemput atau pulang sendiri? Nanti Miss suruh temanmu aja untuk antar kamu pulang. Rumahmu jauh gak?”

Lagi-lagi anak ini diam. Aku menghela nafas. Dan tak meminta jawaban lagi darinya setelah aku melihat beberapa siswa sudah mulai berdatangan seiring hujan yang mulai reda.

Jam menunjukkan setengah sembilan. Kupanggil dua orang siswa laki-laki dengan maksud meminta tolong mereka untuk mengantarkan Superyadi pulang ke rumahnya.

“Nak, Miss minta tolong ya. Siapa yang rumahnya dekat dengan rumah Superyadi ini? Miss minta tolong antarkan dia pulang ya karena mukanya sudah pucat sekali. Takut kenapa-kenapa kalau dia pulang sendirian.”

Siswa laki-laki yang ku panggil tadi hanya berpandangan kemudian melihatku sambil berkata. “Siapa Miss, Superyadi?” Anak itu menggaruk-garuk kepalanya.

“Iya, ini orangnya. Cepet anterin pulang aja, kalau kamu bawa motor anter bawa motor kamu. Kamu yang setir dan kamu yang pegangi dari belakang. Titahku kepada dua siswa yang masih dengan raut muka bingung. “Sudah buruan! Mumpung hujan reda, nanti deras lagi malah tambah lama pulang, anak ini sudah pucat sekali.”

“Eeh.. Maaf Miss, bukan, aku nak nanye Miss, kamu lihat Superyadi dimana, Miss? Tanya seorang siswa yang kupanggil tadi. “Ya, ini. ini Superyadi kan?! Kalian ini gimana sama temen sendiri gak tau. Sudah buruan anter.

Sekalian nanti pulangnya mampir ke warung sebelah Miss nitip gorengan. Miss nunggu di kelas itu ya.” Aku menunjuk kelas yang pintunya sudah terbuka karena kunci kelas itu sudah dibuka sama salah satu anak yang kupanggil tadi.

Maaf Miss, kami dak tekelek ngan Ucup alias Superyadi Miss, jinye tu pagi ikaklah die tu lewat Miss. Meninggal kecebur sungai, kepleset.” (Maaf bu, kami tidak melihat Ucup alias Superyadi, katanya pagi inilah dia sudah meninggal, tercebur, kepleset disungai). Maksud Miss, Superyadi yang mane yang ada disini, Miss?” Rendi, salah satu siswa itu bertanya kepadaku.

Deg!.. Astaghfirullahal’azhim..

Jantungku tiba-tiba berdebar keras. Masa sih pagi-pagi sudah melihat hantu? Aku tertegun beberapa saat sampai akhirnya perlahan menolehkan kepalaku ke arah kiri belakang tubuhku.

Deg!..

Anak yang dimaksud itu masih ada disitu. Diam berdiri mematung dengan pandangan menunduk..

Rtp2, Sometime in the past,…

Baca Juga: Sidik

BekelSego adalah media yang menyediakan platform untuk menulis, semua karya tulis sepenuhnya tanggung jawab penulis.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button