Catatan Kelam Kerusuhan Mei 1998, Kala Amarah Rakyat Mampu Menggulingkan Penguasa

Tragedi Mei 1998 adalah salah satu sejarah kelam Indonesia yang terjadi pada tanggal 12-15 Mei 1998. Tim Gabungan Pencari Fakta mencatat, ada 1217 orang tewas terbakar, 31 orang hilang, dan 52 perempuan etnis Tionghoa yang diperkosa.
Kerusuhan Mei 1998 merupakan kemarahan masyarakat terhadap kebrutalan aparat keamanan dalam peristiwa Trisakti yang menewaskan rekan aktivis saat menuntut lengsernya Orde Baru.
Kerusuhan Mei 1998 meninggalkan ribuan korban jiwa, tidak terhitung rumah dan bangunan serta sarana ekonomi yang hancur akibat peristiwa itu. Belum lagi efek psikologis akibat peristiwa pembakaran, penganiayaan, pemerkosaan terhadap etnis Tionghoa maupun yang terpaksa kehilangan anggota keluarganya saat kerusuhan terjadi.
Sebelum Tanggal 12 Mei 1998
Penyebab kerusuhan Mei 1998 yang memicu terjadinya kerusuhan massal ini adalah krisis finansial Asia yang terjadi sejak tahun 1997. Akibat adanya krisis moneter, nilai mata uang yang sebelumnya berkisar pada angka Rp2.000 turun drastis hingga menjadi sekitar Rp14.000.
Hal ini membuat banyak perusahaan yang bangkrut, jutaan pegawai yang dipecat dan munculnya pengangguran massal di berbagai wilayah di Indonesia, hal ini juga menyebabkan naiknya harga berbagai bahan pokok yang semakin mencekik masyarakat. Krisis ekonomi yang tengah terjadi kemudian memicu rangkaian aksi unjuk rasa di sejumlah wilayah di Indonesia.
Selain itu maraknya praktek KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) di masa pemerintahan orde baru membuat masyarakat dan mahasiswa kian geram, hal ini kemudian membuat merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden Soeharto. Dan memunculkan kerusuhan di berbagai wilayah di Indonesia.
Baca Juga:
Bentrokan berdarah di Univesitas Trisakti pada 12 Mei 1998
Pada tanggal 12 Mei 1998, dalam aksi unjuk rasa mahasiswa Universitas Trisakti Jakarta telah terjadi bentrokan dengan aparat keamanan yang menyebabkan empat orang mahasiswa (Elang Mulia Lesmana, Hery Hartanto, Hafidhin A. Royan, dan Hendriawan Sie) tertembak hingga tewas dan puluhan mahasiswa lainnya mengalami luka-luka.
Kematian empat mahasiswa tersebut mengobarkan semangat para mahasiswa dan kalangan kampus untuk menggelar demonstrasi secara besar-besaran.
Peristiwa yang dikenal dengan nama Tragedi Trisakti ini membuat mahasiswa di mana-mana tersulut dan melakukan aksi yang lebih besar pada 13-14 Mei 1998, seperti di kantor DPRD Jawa Tengah.
13 Mei 1998
Kerusuhan bermula pada 13 Mei 1998, sehari setelah Tragedi Trisakti yang menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti. Kemarahan rakyat terhadap rezim Orde Baru yang telah berkuasa selama 32 tahun dan krisis moneter 1997/1998 yang melumpuhkan ekonomi, meledak dalam aksi demonstrasi di berbagai daerah.
Puku 01.30, dilakukan jumpa pers yang dihadiri oleh Pangdam Jaya Mayjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin di Mapolda Metro Jaya. Selain itu, hadir juga Kapolda Mayjen Hamami Nata, Rektor Universitas Trisakti Prof Dr Moedanton Moertedjo, dan dua anggota Komnas HAM AA Baramuli dan Bambang W Soeharto.
Beberapa jam kemudian, tepatnya pukul 10.00, mahasiswa dari berbagai kota, yaitu Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi berdatangan ke Universitas Trisakti untuk menyatakan belasungkawa.
Aksi berkabung di depan Universitas Trisakti dihalangi aparat keamanan, memicu amarah massa. Sebuah truk sampah yang ada di perempatan jalan layang Grogol dibakar, rambu-rambu dicabut dan pagar pembatas jalan dicabuti, bahkan gedung dan mobil di halaman parkir Mal Ciputra dirusak.
Mulanya, kerusuhan terjadi di kawasan sekitar Kampus Trisakti, tetapi aksi perusakan dan pembakaran meluas hingga ke kawasan lainnya.
14 Mei 1998
Pada tanggal 14 Mei 1998, aksi kerusuhan yang awalnya hanya terjadi di Jakarta mulai merambah ke kota-kota lainnya, seperti Bogor, Tangerang, dan Bekasi. Pembakaran, perusakan, serta penjarahan toko dilakukan oleh massa. Kota Bogor, Tangerang, dan Bekasi saat itu sudah lumpuh total.
Tidak hanya itu, kerusuhan mulai menyasar etnis Tionghoa, diwarnai dengan penjarahan, pembakaran toko dan rumah, serta pelecehan seksual. Kebencian dan sentimen anti-Tionghoa yang telah lama menumpuk, dipicu oleh tuduhan palsu bahwa etnis Tionghoa merupakan dalang krisis moneter.
15 Mei 1998
Puncak kerusuhan terjadi pada 15 Mei 1998. Sedikitnya 273 orang tewas terpanggang api di dua pusat perbelanjaan akibat dijarah dan dibakar massa, yakni Sentra Plaza Klender Jakarta Timur yang dikenal sebagai tragedi Mall Klender dan juga Ciledug Plaza Tangerang.
Di Jakarta dan banyak kota besar lainnya di Indonesia terjadi kerusuhan besar tak terkendali mengakibatkan ribuan gedung, toko maupun rumah di kota-kota Indonesia hancur lebur dirusak dan dibakar massa. Ribuan perusuh menjarah mal, membakar pabrik, mobil, rumah, toko-toko etnis Tionghoa, dan melakukan pelecehan seksual. Kekerasan seksual terhadap perempuan Tionghoa menjadi puncak kekejaman, dengan korban dilecehkan, disekap, bahkan dibunuh secara biadab.
Sebagian mahasiswa mencoba menenangkan masyarakat namun tidak dapat mengendalikan banyaknya massa yang marah.
Baca Juga:
Mundurnya Presiden Soeharto
Presiden Soeharto yang mengetahu peristiwa Kerusuhan Mei 1998 bergegas kembali ke Tanah Air dari Kairo. Waktu itu, muncul isu bahwa Presiden Soeharto bersedia untuk mundur dari jabatannya.
Akan tetapi, berita tersebut langsung ditampis oleh Menteri Penerangan Alwi Dahlan. Presiden Soeharto membantah bahwa ia bersedia mengundurkan diri. Namun, jika kepercayaan masyarakat terhadap Presiden Soeharto sudah hilang, maka Presiden Soeharto bersedia untuk lengser dari jabatannya.
Akhirnya, seminggu kemudian, tepatnya tanggal 21 Mei 1998, Presiden Soeharto memutuskan untuk mengundurkan diri dan mengalihkan kekuasaannya kepada BJ Habibie.
Sumber:
- Kilas Balik Kerusuhan Mei 1998, Kerusuhan Berbau Rasial di Jakarta dan Solo, 2024
Baca Juga: Pasukan Cakrabirawa Dalam Catatan Sejarah, Antara Loyalitas dan Ambisi!