CerpenSastra

SAGARA

Laut. Setelah kejadian itu. Di mana kepercayaan tidak ada di sini. Dan kejujuran tidak berlaku. Dan perut ini, sungguh, aku benar-benar tidak mengerti mengapa perut ini terus membesar. Dan apakah benar, bulan itu, bulan yang menyelusup ke dalam perutku dalam mimpiku itu bercahaya? Atau bulan itu seperti halnya yang lain, memancarkan sinar namun sebenarnya melahirkan kegelapan semata.

Ah, Ki Patih Pranggulang, benarkah ia bertapa mendoakanku di hutan itu?

Kalau saja, pedang Ki Patih menembus perutku waktu itu. Akankah bulan dalam mimpiku itu memancarkan sinarnya. Di gelapnya hutan belantara? Di gelapnya hati manusia?

***

“Tidak. Tunjungsekar harus pergi. Sudah tercoreng muka ini. Wibawa. Kerajaan. Istana. Tunjungsekar harus pergi bersama anak haramnya. Ke alam lain.”

“Tunjungsekar anak kita, Kakanda. Bagaimanapun lakunya, Tunjungsekar tetap anak kita. Jangan hukum berat anak kita. Adindamu ini tiadalah tega.”

“Aku tidak akan memaafkan tindakan asusila apapun bentuknya. Aku raja yang arif nan bijaksana. Tidak karena Tunjungsekar adalah anakku, maka dia boleh bebas dari hukuman. Itu tidak dibenarkan. Alam akan murka. Bukan hanya padaku. Bukan pula padamu. Pada negeri ini, Dinda. Kerajaan ini. Ingat, Adinda, membangun sebuah negeri tidak terlepas dari bangunan kepercayaan masyarakat. Bagaimana mungkin seorang raja akan dipercaya oleh rakyatnya untuk mengurus sebuah pemerintahan, jika mengurus anak saja tidak mampu? Bagaimana mungkin, Adinda?”

“Tapi, Kanda.”

“Tidak ada tapi untuk sebuah kesalahan!”

***

Ruang pengap. Seorang ibu tidak hendak melepas anaknya. Ada peristiwa tragika yang tidak pernah tercatat sebelumnya. Setidak-tidaknya belum pernah terpikirkan. Seorang putri kerajaan harus diusir. Ke alam lain. Tunjungsekar, anakku, mengapa kamu melakukan ini? Dengan siapa kamu berbuat?

Di luar. Sebuah peristiwa liris giris gerimis. Seorang ayah memaku diri di balik jendala. Menatap hamparan kosong dengan tatapan kosong. Tubuhnya gemetar. Lututnya kaku. Dan, di dalam kepala raja itu berkelabatan pertanyaan-pertanyaan muskil: Bijakkah keputusanku? Bagaimanapun dia adalah darah dagingku. Bagaimanapun aku seorang raja. Bagaimanapun dia telah khianat terhadapku. Khianat kepada bapaknya. Khianat kepada rajanya. Tapi, bijakkah keputusanku? Bagaimanapun dia anakku. Bagaimanapun aku seorang raja. Aku seorang raja yang arif nan bijaksana.

Dan sementara, secara bersamaan, di tempat lain, di sebuah kamar yang penuh renda-renda, seorang putri dengan perut yang semakin besar, Tunjungsekar, merenung. Mencoba memahami apa yang tengah terjadi. Membayangkan kebahagiaan. Mereka-reka kesedihan. Bagaimana cara kesedihan dan kebahagiaan bekerja? Apakah aku harus bahagia? Atau aku harus bersedih?

Langit tumpah. Segala tumpah beriringan. Dengan nada yang hampir mirip. Dengan dilema yang menyesakkan dada. Bumi bergetar. Bergelegar. Seakan menertawakan sebuah lanskap parodi tragika yang terjadi di sebuah istana megah.

***

“Mimpi itu. Aku benar-benar bermimpi. Mula-mula aku dengar dengung dendang, serupa bunyi nyanyian yang keluar dari mulut seorang pengeran. Sungguh merdu. Lamat-lamat. Barangkali dalam mimpiku itu, bukan hanya telinga dan dadaku yang gemetar. Barangkali, semua pohon-pohon di kebun itu ikut gigil. Saking merdu suaranya. Tapi, perlahan suara itu menjauh. Dan, bulan, bulan tiba-tiba turun. Mulanya aku kira cahayanya yang semakin terang. Ternyata bukan. Bulan benar-benar turun. Bulan menyelusup ke dalam perutku.”

“Mimpi? Jangan mengarang. Kamu pikir, mimpi bisa jadi kenyataan? Mimpi di tempat tidur mampu menciptakan kehidupan? Tunjungsekar, kerajaan ini tidak dibangun dengan mimpi di tempat tidur. Kerajaan ini dibangun dengan kerja keras. Tidak ada kenyataan yang bermula dari mimpi, Tunjungsekar. Tidak ada. Tidak akan pernah ada. Semua yang terjadi adalah akibat dari laku kita. Laku manusia.”

“Bulan itu menyelusup, Ayahanda. Aku tidak tahu. Aku benar-benar tidak tahu apa yang terjadi. Aku terbangun dan, semua seperti biasa. Tapi perutku, bertambah hari, bertambah pula ukurannya.”

“Cukup. Hentikan omong kosong mu. Kamu harus angkat kaki dari istana ini. Pergi jauh. Ke alam lain. Tidak cocok seorang anak raja yang telah khianat dalam kehidupan berlama-lama menghembuskan nafas di dunia. Kamu harus pergi.”

***

Rakit. Matahari begitu menyengat. Menyilaukan. Aku terbangun. Sudah empat hari tiga malam aku di sini. Tanpa makan. Dan, perut ini, semakin cepat pertumbuhannya.

Matahari tepat di atas kepalaku. Perutku, atau, isi dalam perutku bergerak-gerak. Serupa orang yang sedang mengetuk pintu. Menggedor-gedor. Apakah janinku, atau apapun itu, apapun jelmaan bulan itu ingin segera keluar?

Tubuhku lemas.

Aku terbangun lagi.

Ki Patih Pranggulang, apa Ki Patih belum pulang? Masih setiakah Ki Patih mendoakanku di rimba sana. Masihkah Ki Patih ingat serapah Ki Patih setelah berkali-kali pedang Ki Patih jatuh ke tanah saat menghunuskannya ke perutku?

Tidak ada ombak.

***

“Ampun beribu-ribu ampun. Ki Patih Pranggulang belum juga pulang, Prabu.”

“Sudah kau kerahkan telik sandi ke seluruh wilayah kekuasaan kerajaan?”

“Ampun, Prabu. Sudah. Tapi tak satu pun yang menemukannya.”

“Ini hampir sepekan. Siapa yang akan mengurus jalannya pemerintahan? Siapa yang akan mengurus keamanan kerajaan?”

“Ampun, Prabu. Sementara, kita masih mencari. Tapi, jikalau boleh saran, apabila telah genap sepekan Ki Patih Pranggulang belum juga pulang, agaknya perlu pertemuan penasihat kerajaan.”

***

“Sudah. Jangan terus menangisi Tunjungsekar.”

“Kanda? Apakah tidak sedikitpun ada rasa kehilangan di dalam hatimu?”

“Tunjungsekar belum mati. Hentikan tangismu.”

***

Entah, sudah berapa lama aku di sini. Aku terbangun. Bulan purnama memancarkan cahaya. Tepat di atas kepalaku. Perutku sakit sekali. Gerakan-gerakan pemberontakan terjadi di dalamnya. Seperti aku yang berontak terhadap pertanyaan dan permintaan ayahku, sang raja itu, Gilingwesi.

Benar saja. Purnama pecah. Bulan yang menyelusup dalam perutku itu keluar. Bulan di atas kepalaku dan bulan yang sedang keluar itu memancarkan cahaya begitu terangnya. Di laut ini, bulan atas dan bulan bawah bertemu. Cahayanya, belum pernah aku melihat pemandangan seperti ini. Hamparan gelombang pendek-pendek yang tenang. Dan di batas pandangan di timur sana, ada pulau. Gelombang-gelombang pendek yang tenang itu membawaku dan bulan pecah ini ke sana, ke pulau itu.

***

Pagi sekali. Matahari masih merah tembaga. Bulan pecah itu, ia sudah merangkak-rangkak di tepian rakit. Mengelilingi rakit. Melihat panorama indah lautan. Dan bermain-main dengan ikan-ikan kecil yang bergerombol.

Aku takut sekali. Khawatir. Aku gendong ia, bulan pecah itu, anakku.

Bulan pecah itu tersenyum. Dan menoleh dan menunjuk ke arah pulau, yang sebentar lagi, kami berdua akan sampai padanya.

Ki Patih Pranggulang, aku jadi ingat. Apakah ia mengingatku dan terus berdoa di hutan itu?

***

“Maafkan hamba, Tuan Putri Tunjungsekar. Sekarang, pergilah. Saya buatkan rakit. Naiklah ke atas rakit itu. Dan biarlah ombak membawamu ke arah yang telah ditentukan alam. Maafkan hamba, Tuan Putri Tunjungsekar.”

“Berdirilah, Ki Patih. Kembalilah ke istana. Sampaikan salamku pada Ayahanda dan Ibunda. Tunjungsekar, anaknya, tidak berbohong. Sampaikanlah, Ki.”

“Ampun, Tuan Putri. Sebagai Patih. Harkat dan martabat akan tetap saya pertaruhkan. Saya dititahkan membunuh Tuan Putri. Dan saya tidak akan pulang sebelum menyelesaikan tugas kerajaan.”

“Baiklah, Ki. Jika begitu, doakan saya.”

“Ampun beribu ampun. Saya akan bertapa di sini. Mendoakan keselamatan Tuan Putri. Namun, tidak ada bekal yang bisa Tuan Putri bawa. Hanya saja, saya berpesan, kelak jika bayi yang berada dalam kandunganmu itu lahir. Namai anakmu serupa nama alam. Sebab alamlah yang mengajari manusia menjadi ksatria sejati. Kelak, anakmu akan menjadi raja. Pergilah.”

***

Matahari setinggi tongkat kerajaan. Pulau itu semakin dekat. Rakit sandar. Potret tanah lapang luas. Ara-ara. Dan, Sagara. Sagara, anakku itu melompat dari rakit. Ia berlari ke sarang lebah. Lebah-lebah itu menyingkir. Seakan-akan memberi penghormatan dan membiarkan madunya diambil oleh Sagara, anakku.

Sementara ingatan-ingatan tentang pembunuhan, pembuangan, dan keajaiban terus berkelebatan dalam kepalaku. Aku dan Sagara menikmati madu di ara-ara.

Sementara Tunjungsekar dan Sagara menikmati madu di ara-ara, di tempat lain, doa-doa terus bersahutan. Dari kerajaan. Dari hutan rimba.

Baca Juga: Bagaimana Proses Menjadi Seorang Koruptor

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close
Back to top button