Larik


Matahari belum lagi tinggi ketika ia turun ke sawah. Bekal sebungkus kopi hangat dan beberapa batang kretek ditenteng terburu-buru. Hari masih dingin dan kabut belum benar-benar hilang dari kampung lereng Gunung Lawu. Anak-anak sekolah berlari riang sambil menyapa. Ia mengangguk-angguk sambil tersenyum. Di pematang sawahnya, burung mulai berkicauan di dahan pohon nangka.

Di seberang sawah, tapal batas hutan milik Perhutani tampak kokoh. Tiang semen itu berlumut karena termakan usia, tetes air bergulir di empat sisinya. Sementara pohon-pohon pinus di atas dataran dimana tiang itu berdiri, bergoyang tertiup angin. Musim hujan seperti ini Desa Gondosuli sangat dingin. Tetapi warganya yang rata-rata petani tetap rajin bekerja. 

Ia menyulut sebatang kretek murahan setiba di gubuk. Asap gurih dan bau rumput basah merebak. Ia termangu ketika menuang kopi. Sambil menggeleng-geleng ia menyeruput pelan. Ia tersenyum puas.

Disapu bibir keringnya kemudian menyobek-nyobek kulit bibir yang pecah.

“Ah itu dia!” pikirnya melaju ketika tiba-tiba sudut matanya menangkap selembar karton bekas bungkus semen. Harun tak segera beranjak. Alih-alih meraih karton itu, ia malah menggosok pelan kakinya. Nyeri sisa tidur di lantai masih merambat seiring pijatnya. Lagi-lagi ia menggeleng. “Tidak!” ucapnya seperti tegas menolak rasa penasaran.

Asap kretek mengepul, matanya melirik ke karton. Terbaca: Rembulan, semenjakmu aku mengawinkan hati dan pikiran. Ia termangu, itu tulisannya sendiri. Dalam kemarahan ia pernah menyalin puisi di karton semen, lalu membuangnya sebagai pelampiasan. “Agaknya hari ini aku gagal mencangkul lagi,” dia berbisik. Wajahnya penuh sesal.

“Sudah kumodali kau sebidang sawah untuk masa depanmu,” kata ibunya malam itu,” kenapa kau repot-repot menulis!”

“Mak, aku cuma ingin pekerjaan yang aku sukai dan bermanfaat untuk orang banyak,” Harun menyela.

“ O sudah pintar kau, jadi tulisan-tulisan cengengmu bermanfaat, begitu?”

“ Tidak semua tulisanku cengeng Mak, Emak tidak mengerti!”

“ Kerjamu melamun, sekarang kau bilang aku tidak mengerti. Teman-temanmu bekerja kau sibuk membaca, kau dengar kata tetangga, “Harun mau jadi ilmuwan!”. Bacaan-bacaan itu cuma membuatmu pintar melawan orang tuamu.”

“Emak tidak harus dengar mereka. Aku juga sedang berikhtiar Mak.”

“Kau bilang berikhtiar? Penulis mana bisa kaya? Kau cuma bisa bicara moral di tulisanmu, hidup nyata nol besar. Mau kau kasih makan apa anak istrimu nanti?”

Harun terpekur. Hari ini semestinya ia memperbaiki pematang sawah yang penuh lubang tikus. Lusa sudah harus tanam karena benih padi telah meninggi. Tapi semangatnya terbang. Hendak dikoyaknya karton semen yang telah diraih. Namun tak jadi, ia hanya meremas dan membuang tanpa niat. Jatuh disamping tak lebih setengah langkah.

“Emak tahu kata-kata bisa merubah banyak hal. Tapi harapan Emak kepadamu tidak berubah.”

“Mak, aku sudah menurut apa kata Emak puluhan tahun. Sekarang biar Harun memilih.”

“Kau bilang memilih? Jadi kenapa tidak kau pilih lahir dari rahim ibu yang mau mengerti pemuda pengangguran sepertimu?”

“Emak berlebihan.”

Putus sekolah karena tidak ada biaya tidak meresahkannya. Bagi Harun, menulis bukan soal ada duit atau tidak. Menulis adalah satu-satunya pekerjaan yang dia cintai. Tetapi ibunya bekerja sendiri, kini setelah hampir pensiun dari mengajar ia merasa butuh mengarahkan Harun untuk bekerja lebih mapan. Menulis menurut Emak bukan bekerja, melainkan pelarian seorang pemalas seperti dirinya agar diakui memiliki identitas.

Kemiskinan memang kerap membuat orang terdesak.

Harun mengalah agar Emak diam, maka digarapnya sepetak sawah yang tak lebih dari seribu meter. Namun ia tetap menulis apa saja. Tulisannya mirip catatan harian karena tak pernah belajar tentang jenis-jenis karya tulis di sekolah. Maka jadilah ia kadang-kadang berpuisi, kadang-kadang cerpen dan lebih sering gumaman.

Emaknya benar, mungkin Harun memang tak berbakat. Ia tak segera berkembang di dunia tulis-menulis. Tulisannya hilang di kertas-kertas sampah dan tidak dibaca orang.

Ia menguap, kopi tak mampu mengusir penat pikirnya. Khayalannya melambung kepada pertemuan dengan Dimas. Penulis muda yang seakan-akan tak pernah kehabisan energi hidup. Daya muda yang ia miliki benar-benar nyata dalam keceriaan pada karya tulis. Ia yang mula-mula mengenalkan beragam tekhnik menulis. Kesabarannya membuat Harun mengganggap dia sebagai guru. Tapi Dimas menampik, ia lebih senang dianggap teman berbagi.

“Besok bikinlah puisi, kau bagus diisi. Jadi, kuatkan karaktermu disitu. Tak usah macam-macam kau reka tulisanmu.’

“Kenapa puisi Bang? Cerpen sajalah. Aku sedang senang belajar itu, puisi biar belakangan saja. Apa tema yang Abang pengen aku buat?”

“Run, belajar tak bisa pilih-pilih. Bikin saja tulisanmu benar-benar bernyawa. Coba kau bikin tentang cinta. Sebentar lagi Februari, pasti banyak lomba. Kau harus ikut!”

“Ah, tak berani aku Bang. Buruh tani sepertiku mana bisa ikut lomba.”

“Haha.. Lemah kau ini! Apa gunanya nulis kalau tak dibaca orang. Kalau pikirmu begitu selamanya kau akan jadi penulis diari.”

Kreteknya mengepul dan telah memendek, Harun tersadar. Ia menghela nafas lalu berdiri. Matahari telah menghangat, embun di rerumputan sedikit-sedikit mengering. Pandang matanya menyapu petakan sawah di depan gubuk. Ia menggeliat pelan, letup sendi pinggangnya terdengar berderak.

“Baiklah sekali ini saja,” gumamnya.

Diraihnya kertas karton yang dibuang tadi. Dikibas-kibaskannya sebentar, tak hilang kotoran tikus yang menempel disitu. Dia menyerah, terbatuk-batuk meski tak gatal tenggorokannya. Menghirup sisa kopinya pelan dan mulai membaca.

Rembulan, semenjakmu aku mengawinkan hati dan pikiran

Maka, kenangkan buncah itu sebagai sebangsa kemarahan

Karena meraihmu butuh seribu tahun pencerahan

Tak mungkin menunggu temu yang sedang mematut-matut diri untuk dilestarikan

Pancaroba akan mengenalkan dingin, kepada panji yang lain

Ah, ingatan itu kembali menyergap Harun. 

Dimas tertawa puas meledeknya,” Haha.. jangan menyerah Run, mungkin benar kata Makmu kau cuma kurang bercinta.”

Harun melengos,” aku sudah belajar padamu Bang, katamu bagus maka kuikutkan.”

“Ha, terus sekarang mau menyerah kau? Kau pikir mudah karyamu diperhitungkan orang?”

“Aku tak butuh dihargai Bang, aku cuma minta Abang benar mengajariku!”

“Eh Run, aku bilang puisimu bagus, layak diikutkan lomba. Kau jangan sombong, diatas langit masih ada langit. Kalau ada yang lebih bagus mestinya kau tertantang, jangan baru ikut sekali langsung minta menang. Egois kau!”

“Harun, rupanya kau tak benar-benar suka menulis!”

Ia memang tetap bersahabat baik dengan Dimas, tapi semenjak itu tak lagi menulis. Waktunya dihabiskan disawah untuk memupus mimpi. Emak senang hari-harinya dirumah dilalui dengan makan dan tidur karena kelelahan. Orang-orang kampung bilang,”Harun ulet, sudah ingin menikah mungkin.”

Sebenarnya setiap malam, Harun tidur tak nyenyak. Ia menyesal kenapa tak berani mencoba mengirimkan karya terbaiknya dan terlalu tak enak kepada pandangan orang. Mati-matian ia menahan gairah untuk menulis. Tetapi ia malu kepada Dimas, dan Emak terlanjur nyinyir atas kekalahannya mengikuti lomba.

“Apa bedanya menulis dengan hidup Run, kalau kelakuan kau baik orang juga akan ingat!” kata Emaknya suatu ketika. Ia menjawab dengan diam.

***

Harun menggaruk kepalanya gusar,” Apa yang salah dengan puisiku? Ah, kenapa tak tuntas kutanyakan kepada Dimas,” batinnya.

Matanya jelalatan membaca lanjutan puisinya, lalu mencermati tiap larik dengan pertanyaan-pertanyaan yang menumpuk dibenak. Mencerna kalau-kalau terbaca kesalahannya meski dengan keterbatasan pengetahuan.

Yang ia kerat lembar kainnya  hingga kerut beringsut

Masa mengutuk warnanya memarut kusut

Lalu jalan bahagia menua, kita turut runtut-runtut

Ia jengah,” menulis memang bukan bakatku,” bisik Harun lirih.

Ditaruhnya kertas karton itu untuk dibaca nanti. Matahari telah menerik. Sayup-sayup terdengar gurau pemilik ladang sayur di lereng bukit sebelah petakan sawahnya. Semangat Harun sedikit tergugah. Gontai ia melangkah mengambil cangkul di dalam gubuk.“Sudah waktunya dibersihkan,”batinnya mengutuk sampah yang berserak ditumpukan alat bertani. Ia meludah, dongkol.

Harun terkesiap, ia memandang kertas bungkus nasi. Samar-samar ingat, ia pernah melihat kertas koran itu di map surat penting Emak. Baru kini ia membacanya, entah kenapa tahunnya tua sekali, tahun 1978. 

Puisi karya Mutriah, seorang siswi SPG Negeri. Meraih penghargaan hari sastra nasional. Emaknya tahu begitu banyak. Kini Harun mengerti, hiduppun menulis. Tergesa ia pulang mengambil pena. Di benaknya terngiang-ngiang penutup puisi kalahnya, “Wahai janji-janji berdampingan, sebagai bumi purnama yang sama menyerap energi semesta / Barangkali saat daun gugur pertama musim bersua akan tiba”. Hatinya berbunga-bunga, ia belum kalah.

Baca Juga: Senandung Lirih

BekelSego adalah media yang menyediakan platform untuk menulis, semua karya tulis sepenuhnya tanggung jawab penulis.


Like it? Share with your friends!

Senior

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *