Menyingkap Arsitektur Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta, Sebuah Proses Akulturasi Budaya Jawa dan Islam


Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta (pariwisataid.com)

Masjid Gedhe Kauman terletak di sisi barat alun-alun Utara, atau tepatnya di sebelah kiri Keraton Jogja yaitu di Kampung Kauman Kelurahan Ngupasan Kecamatan Gondomanan Kota Yogyakarta. Masjid ini didirikan di atas tanah 4.000 meter persegi dengan luas bangunan 2.578 meter persegi. Tanah tempat dibangunnya masjid adalah milik Kraton Kasultanan Ngayogyokato Hadiningrat.

Sejarah Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta

Berdirinya Masjid Ghede Kauman diprakarsai oleh dua tokoh yaitu Sri Sultan Hamengkubuwono I dan Kiai Penghulu Faqih Ibrahim Diponingrat. Prakarsa ini ditindaklanjuti oleh kyai Wiryokusumo, seorang arsitek tersohor saat itu. Maket masjid ini masih tersimpan di Kraton Ngayogyokarto, yang terbuat dari kayu jati ukuran 2 x 2 meter persegi.

Sebelum menjadi Raja, Sri Sultan Hamengkubuwono I adalah seorang muslim taat, senantiasa melaksanakan salat, puasa wajib dan dan juga puasa senin kamis. Ketika menghadapi perang gerilya menghadapi Belanda, beliau membangun pos pos strategis untuk pasukannya yang senantiasa dilengkapi dengan musala.

Baca Juga:

Sejarah Masjid Gedhe Kauman dibangun pada tanggal 29 Mei 1773 M atau 1187 H. Nama awal masjid ini adalah Masjid Gedhe, kemudian diubah menjadi Masjid Agung. Nama ini kemudian berubah lagi menjadi Masjid Besar. Kemudian Berubah Lagi menjadi Masjid Raya Daerah Istimewa Yogyakarta.

Setelah masjid ini dbangun, ternyata jemaah yang beribadah melebihi kapasitas masjid. Karena itu pada 1775 bangunan masjid ditambah dengan serambi yang disebut serambi masjid Gedhe pada masa pemerintahan Hamengkubuwono I. Selain digunakan untuk Salat, serambi juga berfungsi sebagai tempat pertemuan alim ulama, pengajian, mahkamah untuk mengadili terdakwa dalam masalah keagamaan, pernikahan, perceraian dan pembagian waris.

Di halaman masjid sisi kiri dan kanan dibangun tempat untuk gong yang dikenal dengan “pagongan”. Di pagongan ini disimpan gamelan sekaten, yang dibunyikan saat perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW. Konon gamelan sekaten memiliki daya tarik tersendiri bagi masyarakat sehingga membuat orang tertarik untuk mengenal, kemudian memeluk agama Islam dengan kemauan sendiri. Kata sekaten sendiri berasal dari bahasa arab yaitu Syahadatain yang artinya dua kalimat syahadat.

Setelah 10 tahun tidak memiliki gerbang, akhirnya tahun 1840 saat pemerintahan Hamengkubuwono V, dibangun pintu gerbang yang disebut Gapuro yang berasal dari bahasa arab yaitu “Ghofuro” yang bermakna Ampunan Dosa. Maknanya apabila orang yang masuk melalui Gapuro dan berniat baik memasuki Islam, maka dosanya diampuni Allah Swt.

Kemudian pada tahun 1862 dimulai pemugaran sirap dan selesai pada tahun 1863. Saat gempa bumi tahun 1867 yang melanda Yogyakarta, serambi masjid Gedhe dan regol masjid mengalami keruntuhan. Setahun kemudian Sri Sultan Hamengkubuwono VI membangun ulang serambi. Luas serambi yang baru ini dua kali lebih luas dari sebelumnya. Pada tahun 1869 regol masjid kembali dibangun.

Pada tahun 1917 dibangun gedung pejagan atau tempat penjaga keamanan yang terletak di kanan kiri gapura masjid. Prajurit keraton menggunakan pejagan ini untuk menjaga keamanan masjid. Gedung pejagan ini jugalah yang menjadi Markas Asykar Perang Sabil untuk membantu TNI melawan agresi Belanda pada saat revolusi perjuangan mempertahankan kemerdekaan.

Perhatian sultan terhadap Masjid Gedhe ini sangat besar. Tahun 1933 atas prakarsa Sultan Hamengkubuwono VIII lantai serambi masjid diganti dengan tegel kembangan yang indah, yang sebelumnya lantai serambi terbuat dari batu kali. Atap masjid juga diganti dari sirab dengan seng wiron yang lebih tebal dan kuat. Tahap berikutnya tahun 1936 Sultan Hamengkubuwono VIII mengganti lantai dasar masjid dengan marmer dari Italia.

Arsitektur Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta

Arsitektur masjid Gedhe Kauman Yogyakarta ini, berarsitektur tradisional Jawa, yang didominasi oleh atap limasan yang bertingkat (tumpang) tiga. Di Jawa dikenal sebagai “Tajuk lambang teplok”. Atap teratas berfungsi sebagai kubah. Nuansa Jawa makin terasa kental dengan adanya bangsal (bangunan tanpa dinding) di bagian depan.

Masjid dan bangunan penunjang lainnya berdiri diatas tanah 16.000 m2. Bangunan selain masjid adalah Pagongan disisi selatan dan utara masjid yang digunakan untuk menyimpan perkakas gamelan, Pejagan di kiri kanan agak depan untuk tempat jaga, Pengulon untuk tempat tinggal imam dan ulama, kantor DKM, KUA dan makam. Sayang, di depan Pagongan dan Pejagan terkesan kumuh, karena diisi oleh pedagang minuman dan makanan ringan.

Memasuki ruang ibadah terasa aura magis, kemungkinan disebabkan oleh penyinaran yang tidak optimal ditambah tidak adanya langit-langit, langsung atap yang ditutup kayu berplitur gelap. Banyaknya lampu antik yang bergantungan melengkapi kesan magis. Tak kurang 34 lampu antik bergelantungan, 19 di ruang ibadah utama dan 15 di serambi.

Baca Juga:

Seperti umumnya bangunan publik di Jawa, pada arsitektur masjid Gedhe Kauman Yogyakarta akan dijumpai banyak tiang yang memancarkan aura kekuatan. Tak kurang dari 24 tiang berjajar dibangsal dan 36 tiang berbaris di ruang ibadah utama, semuanya terbuat dari kayu jati berumur ratusan tahun (konon 400 – 500 tahun).

Arsitektur masjid Gedhe Kauman Yogyakarta merupakan suatu proses panjang dari akulturasi budaya jawa dan Islam selama berabad-abad. Sejarah masjid Gedhe Kauman Yogyakarta ini, juga merupakan bukti perjuangan bangsa Indonesia dalam perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia.

Baca Juga: Akulturasi Budaya Jawa dengan Islam Melalui Ketupat


Like it? Share with your friends!

Legend