Mengambil Kisah Ketegaran Hidup Dari Novel Bidadari Bermata Bening
Informasi Novel Bidadari Bermata Bening
- Judul: Bidadari Bermata Bening
- Penulis: Habiburrahman El Shirazy
- Penerbit: Republika
- Cetakan: Kedua, Mei 2017
- Halaman: 337 halaman
- ISBN: 978-602-0822-64-8
Sinopsis Novel Bidadari Bermata Bening
“Imam, engkau dikenal sebagai ahli hikmah, berilah aku satu atau jualah satu saja kepadaku,” Kata Sybili kepada Imam Junaid. “Engkau takkan mampu membayarnya. Jika aku jual kepadamu. Namun, jika aku memberikannya cuma-cuma kepadamu, engkau takkan menyadari nilainya karena mendapatkannya begitu mudah. Lakukanlah apa yang telah aku lakukan. Benamkanlah dulu kepalamu di lautan, dan jika engkau menunggu dengan sabar niscaya enkau akan mendapatkan mutiaramu. (hal.229)
Habiburrahman El Shirazy yang biasa disapa dengan panggilan Kang Abik adalah penulis novel Bidadari Bermata Bening. Seperti pada novel-novel sebelumnya, seperti Ayat-Ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih maupun Bumi Cinta, novel Bidadari Bermata Bening ini bergenre novel islami yang sarat akan nilai-nilai keislaman. Kang Abik memang selalu menghadirkan kisah percintaan yang dikemas manis namun tetap mengikuti kaidah agama Islam.
Novel ini berkisah tentang kehidupan gadis ayu keturunan Jawa-Palestina bernama Ayna yang telah yatim piatu. Di sebuah pesantren di daerah Magelang, Jawa Tengah pimpinan Kyai Sobron Ahsan Muhsin dan Bu Nyai Nur Fauziah, kisah Ayna bermula. Di pesantren inilah Ayna mengemban ilmu sambil menjadi Khadimah-pembantu perempuan-. Meskipun Ayna “nyambi” di pesantren, ternyata Ayna mampu menjadi gadis yang tidak hanya cantik dan baik budi, tetapi cerdas dan cekatan dalam belajar. Ia berhasil lulus Aliyah dengan prestasi yang membanggakan dan mengharumkan pesantrennya, yakni juara tertinggi dalam UN bidang IPS se-Provinsi Jawa Tengah.
Namun ternyata, dimanapun ada kebahagiaan dan keberhasilan, selalu ada orang yang iri dan dengki. Neneng, gadis cantik yang duduk satu kelas dengan Ayna tidak menerima keberhasilan Ayna sebagai prestasi yang membanggakan. Ia justru memfirnah Ayna dengan menyatakan bahwa Ayna mendapat bocoran soal sebelum ujian. Selain itu, Neneng juga memfitnah Ayna dengan menyebut Ayna adalah anak haram dari hasil hubungan gelap ibunya yang dulunya adalah seorang TKW di Arab.
Tentu saja, Ayna tidak menerima prasangka dan tuduhan Neneng yang jelas-jelas adalah fitnah keji yang di dalam agama Islam disebut qadzaf. Ayna meminta neneng meminta maaf kepadanya di hadapan teman-temannya. Namun, Neneng yang mempunyai sifat egois, ia tidak mau dan terus saja mengeluarkan kata-kata tidak pantas kepada Ayna. Sehingga, terjadilah pertengkaran antara dua santriwati itu. Ayna rupanya mempunyai keahlian bela diri, ia menghindari serangan Neneng dan membalas perlakuan Neneng dengan tendangan memutar yang tepat mengenai pinggang Neneng. Neneng jatuh terjerembap dengan kondisi wajahnya yang menghantam batu bata. Ia terpaksa dilarikan ke Rumah Sakit.
Ayna adalah gadis dengan hati yang sabar dan jernih. Ia tidak rela jika almarhumah ibunya menjadi bahan ejekan fitnah Neneng. Di hadapan Kyai Sobron dan Bu Nyai Fauziah, dengan penuh sopan santun sebagai seorang santriwati ia membela kehormatan ibunya.
“Ummi, mohon maafkan saya kalau saya dianggap bersalah. Saya siap menanggung hukuman apapun yang diberikan kepada saya. Namun jujur, saya merasa tidak bersalah sama sekali. Saya tidak melakukan apa-apa kecuali membela kehormatan ibu saya.” (hal.25)
Seorang Kyai memang harus memberikan tauladan yang baik bagi santri-santrinya. Dengan pikiran jernih dan mendengarkan penjelasan dari Ayna serta melihat bukti video kejadian dimana Ayna berselisih dengan Neneng, Kyai Sobron akhirnya menilai secara objektif bahwa Ayna tidak bersalah. Namun, keluarga Neneng tidak terima dengan keadaan yang menimpa putri kesayangannya tersebut. Mereka mendatangi pesantren dan meminta pertanggungjawaban Ayna, bahkan paman Neneng yang seorang polisi pun ikut serta guna menjebloskan Ayna ke dalam penjara. Akan tetapi, kebenaran ternyata mampu menghantarkan kebaikan serta keselamatan bagi Ayna. Justru Neneng yang harus dicurigai kejujurannya karena ia mendapatkan bocoran soal ujian dari Roni, pemuda yang menjadi kekasih Neneng yang tinggal tidak jauh dari pesantren.
Kehidupan Ayna di pesantren berjalan sebagaimana biasanya dengan masih mengabdi sebagai Khadimah keluarga Kyai Sobron dan Bu Nyai Fauziah. Perayaan kelulusan di pesantren pun tidak banyak merubah suasana hati Ayna. Keluarga ibunya tidak ada yang datang di acara spesial tersebut. Ayna tahu bahwa Pakdhe dan Budhenya tidak begitu perhatian kepadanya. Penghargaan prestasi sebagai wisudawan terbaik di pesantren pun hanya dirayakan Ayna bersama teman-temannya. Bagi Ayna yang telah lama tinggal di pesantren, Kyai Sobron dan Bu Nyai Fauziah adalah orang tua bagi dirinya. Sehingga, saat dirinya diminta memberikan pidato sebagai wisudawan terbaik di hadapan bupati dan pejabat penting lainnya, Ayna dengan rasa hormat meminta Kyai Sobron mewakili kedua orang tuanya yang telah tiada.