Benarkah Guru Pemegang Otoritas Tertinggi Dalam Dunia Pendidikan?


Ilustrasi guru sedang mengajar (pixabay,com/14995841)

Guru dalam dunia pendidikan sejak dahulu memang dijadikan sebagai salah satu sosok yang paling berpengaruh dalam keberhasilan belajar siswa, sehingga dalam hal ini guru menjadi sosok yang harus benar-benar dihormati, ditaati, dan diikuti oleh siswa. Siswa tidak diperkenankan untuk berbuat semena-mena terhadap guru, tidak boleh sama sekali berinteraksi dengan guru layaknya interaksi siswa dengan temannya, dan perintah sang guru tidak boleh dilanggar, meskipun itu harus mengorbankan harapan dan masa depan siswa. Bahkan tidak jarang pula muncul anggapan yang menurut saya itu agak ganjil, yakni guru harus dihormati dan diperlakukan secara terhormat melebihi orang tua siswa.

Saya bukan tidak setuju dengan anggapan diatas! Karena pada kenyataannya memang benar adanya bahwa memang guru harus dihormati, sebagai contoh dalam sejarah Indonesia abad ke-8 terutama di kerajaan Mataram Kuno terdapat sebuah lukisan yang menggambarkan bagaimana hubungan siswa dengan gurunya pada saat itu, seperti sang Brahma (guru dalam agama Hindu) duduk di tengah dengan dikelilingi murid-muridnya, muridnya tinggal bersama sang guru, dan sang guru tidak menerima gaji lantaran telah ditanggung oleh sang murid.

Namun, dalam hal ini bukan berarti guru menjadi pusat daripada kebenaran, bukan pula sebagai pusat pengendali nasib baik dan buruknya siswa di masa yang akan datang, melainkan sebagai pembimbing untuk menghantarkan minat dan bakat masing-masing siswa.

Siswa yang hormat dan patuh terhadap guru memang baik, namun bukan berarti seorang guru mengharuskan siswa untuk hormat terhadapnya sehingga tercipta sebuah anggapan, bahwa jika ada siswa tidak hormat pada guru artinya siswa tersebut adalah siswa yang bandel, susah diatur, dan wajib menerima hukuman. Sampai disini saya mulai tidak setuju, karena pada kenyataan yang para guru memaksa siswa untuk hormat sedangkan guru sendiri menghiraukan kebutuhannya, kebebasan berpendapat, dan menghiraukan bahwa siswa juga manusia yang ingin dihormati dan dipahami.

Kembali ke topik, apakah guru otoritas tertinggi dalam pendidikan? Jika memang ia otoritas tertinggi, lantas apakah akan tidak ada implikasi buruk terhadap siswa? Saya rasa ini yang perlu kita renungkan! Bahwa andai guru adalah otoritas tertinggi, sehingga siswa dipaksa untuk hormat, tidak boleh berinteraksi dengan guru layaknya berinteraksi dengan teman sebaya, dan siswa harus menjaga jarak. Apakah dengan cara demikian itu tidak akan memberi dampak buruk terhadap siswa, seperti siswa tidak percaya diri, tidak berani untuk bertanya, dan tidak berani untuk berkonsultasi dengan guru tentang masalah-masalah individu maupun sosial siswa?

Baca Juga:

Guru yang sejati adalah mereka yang mampu membimbing siswa dengan menghormati dan menghargai serta mereka yang mampu mengarahkan siswa pada arah yang sejalan dengan bakat praktis siswa. Selanjutnya, menurut AS Neill seorang pendiri Summerhill School yang terkenal akan pemikiran-pemikiran pendidikan alternatifnya, Neill berpendapat bahwa guru yang baik memang harus mampu menuntun, menghargai, menghormati, dan menjalin komunikasi atau interaksi dengan baik, meskipun itu harus bertaruh dengan harga diri, karena antara guru dengan siswa itu setara, guru tidak lebih tinggi dan siswa pun sama.

Artinya, konsep guru yang digagas oleh Neill ini menegaskan bahwa guru bukanlah otoritas tertinggi dalam pendidikan, karena dalam dunia pendidikan guru juga siswa dan siswa juga guru. Sekilas pendapat Neill itu mustahil, karena ibarat bagaimana mungkin suara anak usia 9 tahun sama dengan orang dewasa, namun ini bukan omong kosong kawan! Hal ini dapat kita lihat dimana Neill dipanggil oleh murid-muridnya dengan nama panggilan asli tanpa embel-embel apapun serta kita juga dapat melihat dimana Neill pernah diusir oleh Billy muridnya sendiri di acara ulang tahun, alasannya karena Neill tidak diundang (A.S Neill 2005:266).

Jikapun guru dijadikan sebagai otoritas tertinggi dalam dunia pendidikan, maka hal ini tentu melenceng jauh dengan konsep pendidikan yang digagas oleh Ki Hajar Dewantara, yakni tut wuri handayani. Dalam konsep pendidikan yang digagas oleh Ki Hajar Dewantara itu dijelaskan, bahwa dalam lingkungan taman siswa istilah guru tidak digunakan, melainkan ia disebut sebagai pamong (Abdi) yang tugasnya adalah menciptakan hubungan antara pamong dan siswa dengan cinta kasih, saling percaya, jauh dari otoriter, dan jauh dari situasi memanjakan.

Selanjutnya, Ki Hajar Dewantara juga menjelaskan, bahwa pamong dilarang untuk memaksakan anak untuk mengikuti suatu bidang ilmu yang tidak sejalan dengan kodrat alam siswa (Kristi Wardani 2010:233). Artinya pamong atau guru yang dimaksud Ki Hajar mereka yang mampu mengajar siswa agar menjadi manusia yang merdeka batinnya, merdeka pikirannya, dan merdeka tenaganya, serta jangan sekali-kali menjadikan siswa sebagai objek dalam pendidikan, karena guru ibarat juru tani terhadap yang harus berperasaan terhadap tanamannya, bukan malah sebaliknya tanaman ditaklukkan oleh kemauan dan keinginan juru tani.

Baca Juga:

Mungkin esay ini terkesan menyimbang jika disandingkan dengan konsep guru dalam pendidikan-pendidikan pada umumnya yang menjelaskan bahwa guru adalah orang tua ruh yang wajib juga ditaati perintah-perintahnya, sehingga tidak jarang oknum-oknum guru melakukan aksi pencabulan terhadap siswanya dengan dasar siswa harus hormat dengan guru.

Terdengar menggelitik, bagaimana konsep guru menjadi semelenceng itu! Entah apapun itu responnya, saya tidak begitu peduli. Karena, ini bukan masalah bagaimana nasib harga diri guru jika siswa tidak hormat dengan sang guru, melainkan tentang dampak negatif terhadap siswa jika guru dianggap sebagai otoritas tertinggi dalam pendidikan.

Mari kita perjelas! Andaikan guru sebagai otoritas tertinggi dalam dunia pendidikan sehingga ia boleh menuntut siswa untuk menghormatinya dan menuntut siswa untuk mengikuti segala saran-sarannya meskipun itu tidak sejalan dengan bakat praktis siswa, maka hal ini tentu akan menghambat siswa untuk berkembang.

Selanjutnya, andai guru adalah otoritas tertinggi, maka otomatis akan tercipta sebuah jarak antara guru dengan siswa, sehingga siswa enggan/tidak berani untuk bertanya secara langsung, tidak berani untuk berkonsultasi tentang masalah-masalah individual dan sosial siswa, alhasil ia pun berkonsultasi dengan orang yang mungkin tidak tepat, bukanya mencarikan solusi terbaik untuknya justru malah menghasut siswa dengan perilaku buruk.

Sampai sini, saya akan mengajukan sebuah pertanyaan. Apa yang anda cari dari menjaga jarak dengan siswa? Apa yang anda inginkan setelah siswa tunduk dan patuh dengan anda? Apa yang anda inginkan jika siswa mengikuti saran anda yang mungkin saja itu tidak sejalan dengan bakat praktis atau kodrat alam siswa? Apakah dengan terciptanya otoritas tertinggi sehingga anda dapat semena-mena menghajar, membentak, membunuh karakter, dan mencabut bakat terpendamnya? Mustahil! saya katakan, jika anda mengaku sebagai guru yang baik, yang mengajarkan moral, akan tetapi menggunakan cara yang amoral.

Baca Juga: 9 Pengalaman Berharga Menjadi Guru, Tidak Terlupakan!

BekelSego adalah media yang menyediakan platform untuk menulis, semua karya tulis sepenuhnya tanggung jawab penulis.


Explorer

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *