K-Popers Wajib Tahu! Rahasia Korea Selatan Mencetak Idola-idola Viral
Era digital membuat semua orang bisa dengan mudah jadi idola, maupun mengakses bintang yang dianggap layak jadi panutan. Di antara sekian banyak tokoh atau kelompok yang menginspirasi, kita jadi saksi betapa gencarnya produksi dan promosi ragam karya kreatif dari Korea Selatan.
Sejak awal abad 21, hallyu atau “gelombang korea” mendominasi pasar entertainment, dimulai dari drama korea, kemunculan boyband dan girlband, reality show, dan yang lainnya. Kita bisa menyebut mereka “K-Pop” yang hingga kini konsisten memproduksi idola, bahkan sukses jadi pujaan orang-orang di seluruh dunia.
Ada banyak orang, mungkin saja kamu, atau temanmu, yang akan dengan bangga menyebut “Korea Selatan” sebagai salah satu negara terfavorit. Pesona negeri ginseng memang sanggup membat banyak orang jatuh cinta. Tak sedikit pula yang rela jadi “agen“ K-Pop. Orang-orang semacam ini secara sukarela mempromosikan boyband dan girlband favorit, sehingga idola mereka bisa viral di sejumlah platform media sosial.
Karena peran para “agen”, saya yang pada awalnya tak terlalu peduli soal K-Pop, jadi tahu bahwa Blackpink sedang viral setelah merilis MV bertajuk Pink Venom. Bagaimana bisa tidak tahu, MV mereka di Youtube trending karena para penggemar yang kompak dan rela menonton mereka, sehingga jumlah viewers membeludak. Sekilas mengenal Blackpink, saya tak bisa membantah bahwa hasil karya mereka benar-benar mempesona
K-Pop yang selalu viral juga membuat saya jadi tahu boyband dan girlband lainnya, semisal IKON, BTS, NCT, dan Red Velvet. Eksistensi para idola K-Pop ini bahkan sudah mendunia, misalnya bisa duet dengan penyanyi-penyanyi barat populer.
Mengapa Popularitas K-Pop Bisa Mendunia?
Tak bisa dipungkiri, Korea Selatan sukses memproduksi banyak karya kreatif populer sehingga semua orang semakin tertarik dengan hal lainnya: budaya, sosial, pendidikan dan realita masyarakat di sana. Karena K-Pop, banyak orang jadi tahu bahwa Korea Selatan masuk kategori negara maju, memiliki fasilitas publik serba mapan dan tampak setara baik di desa maupun di kota.
Berfokus pada bisnis kreatif, kita lantas terkesima dengan keberadaan talent-talent yang dikemas apik, memprioritaskan penyajian kualitas, bukan jualan skandal atau gosip. Ketika seorang artis tersandung gosip, justru karirnya akan terancam dan ia harus segera meredam penberitaan tersebut dengan image baik.
Budaya fokus pada kualitas dan kreativitas itulah yang kemudian melahirkan sejumlah paket produk kreatif yang sungguh memanjakan mata, menghibur batin, pun memperkaya wawasan. Drama-drama Korea, boyband, girlband dan semua yang berbau entertainment digarap serius, dengan keringat dan kerja keras, serta profesionalisme.
Makanya ragam produk kreatifnya menjadi layak diapresiasi sejak Hallyu muncul pada era 80-an. Begitu pun dengan para pekerja seninya, mereka menjadi sangat layak untuk awet jadi idola yang mendunia sebagai dampak dari konsisten “jualan” produk berkualitas.
Dalam proses kerja kreatif yang terus berlangsung itu, konsumen yang terdiri dari seluruh warga dunia itu berpeluang menikmati ragam produknya dengan bebas lelah, terjangkau dan tanpa rugi—kecuali rugi waktu, itu pun karena pemirsanya sendiri yang tak terampil manajemen waktu ketika sedang menikmati drakor atau K-Pop.
Kampanye “Love Myself” Ala BTS
Sayangnya, sejumlah orang ada saja yang masih “gagal” berbudaya global. Memandang K-Pop yang fenomenal, mereka malah menggulirkan suara-suara nyinyir bernada meremehkan semisal menyebut “plastik”, “kafir”, “lelaki cantik”, “hobi bunuh diri”, “homo”, “banci”, “porno” dan pandangan stereotif negatif lainnya. Padahal mereka pun tahu, bahwa anjing menggonggong, kafilah berlalu. Siapa yang anjing, siapa kafilah, mereka pun tahu.
Nah, kamu dan saya seharusnya sepakat, bahwa kita adalah bagian dari rombongan yang menolak berpikiran tertutup. Kita tetap ingin menyerap segala hal yang positif, dan menjauhi praktik produksi pikiran dan respons negatif. Terkait keberadaan K-Pop, “kafilah” pernah tercerahkan dengan pidato boyband terkemuka bernama “BTS”.
Tepatnya pada 24 September 2018, leader tampan BTS didampingi member lainnya yang juga tampan, diberi kesempatan berpidato di majelis Perserikatan Bangsa-Bangsa. Otomatis pidatonya itu berpeluang disaksikan bukan hanya oleh anggota PBB dan tamu undangan, tapi juga didengarkan oleh seluruh warga dunia. Sebab, pidato tersebut direkam secara digital, disiarkan dan diberitakan oleh jurnalis di seluruh dunia.
Di sana para member BTS tampil dengan setelan rapi, pakai jas, tapi dengan gaya sebagaimana anak muda yang tengah jadi idola. Singkatnya, mereka tampak rapi, terhormat dan memesona. Tapi mereka tak hanya jual ketampanan, di forum terhormat itu ada intelektualitas yang gamblang dipertontonkan.
Kim Namjoon berpidato bahasa Inggris tingkat expert, pronoun-nya bagus, intonasinya pas, percaya dirinya cukup, public speaking-nya juga terukur. Penampilan luar itu menyempurnakan konten pidato berdurasi sekitar tujuh menit yang banyak membahas soal kampanye mereka bertajuk “Love Myself”.
Apa yang dibahas? Secara garis besar, Namjoon membicarakan tentang keberadaan anak-anak muda berikut potensi mereka yang unik dan beragam. Sayangnya, semangat muda itu kerap terhambat oleh ketidakpercayaan diri, problema kehidupan, maupun disebabkan lingkungan.
Maka dari itulah, ia mengajak para pemirsa dan pendengar di seluruh dunia untuk berdisiplin mengapresiasi dirinya sendiri, agar menjadi leluasalah kita menjabarkan mimpi, leluasa pula kita bergerak untuk berbagi inspirasi dan manfaat satu sama lain.
Saya pribadi sangat terharu dan tersentuh dengan pidatonya. Mungkin karena di situasi ini, saya sedang merasa hilang, terpuruk dan jadi pecundang. Betapa belakangan ini saya seperti hidup tak punya arti dan minim manfaat buat sesama. Tapi pemikiran buruk itu agak terobati dengan mendengarkan pidato beliau.
Saya paham, pidato tinggallah pidato. Ia sejatinya hanyalah rangkaian kata yang disampaikan dengan kemasan yang menarik, sehingga kita bisa fokus mendengar dan menyerap pesannya. Pidato itu bahkan tak membuat saya langsung dapat uang atau penghargaan. Tapi melalui pidato itu, saya jadi tersadar lagi, bahwa seharusnya hidup dijalani dengan penerimaan dan rasa syukur.
Kembali ke topik awal, perihal K-Pop yang awet jadi idola, ini tak lepas dari peranan sistem yang kompak dan konsisten dalam menjaga kualitas. Persaingan untuk menjadi idola K-Pop memang sangat keras. Para idola yang saat ini sudah menjadi pusat perhatian dunia, sebelumnya telah ditempa dengan proses yang panjang dan konsisten, termasuk melewati proses training dan seleksi yang super ketat.
Meski masih banyak kisah kelam dari cerita perjuangan atau mereka yang gagal dan terbuang, sistem produksi idola ini mesti diakui efektif dan sangat menguntungkan. Dari Namjoon BTS, kita juga bisa belajar, bahwa sesempurna apapun sang idola, mereka tetaplah manusia yang harus selalu belajar untuk mencintai dirinya sendiri. Kewajiban untuk mencintai diri sendiri, tentu saja juga berlaku untuk kita, dan semua orang di seluruh dunia.
Baca Juga: Antara K-Pop, K-Drama, dan K-Beauty, Mana yang Lebih Populer?
Tambahan, awal kemuncilan nya entertainment korea di jadikan program pemerintah yg di biayai oleh pemerintah hingga pemerintah bisa meraup untung yg sangat tinggi dari bidang entertainment
Nah, ini rahasia selanjutnya. Ketika bisnis kreatif digarap serius dan sudi berproses, hasilnya justru bisa mendulang cuan yang tak putus-putus. Terima kasih wawasannya… Wa Ipah… hehe