Social & Culture

Kisah Inspiratif Perjuangan Marsinah Melawan Ketidakadilan, Diusulkan Menjadi Pahlawan Nasional Oleh Presiden Prabowo

Setiap peringatan Hari Buruh Internasional atau May Day, nama Marsinah tak pernah absen dari ingatan para aktivis, serikat buruh, dan masyarakat yang peduli pada hak-hak pekerja. Ia adalah sosok pahlawan buruh Indonesia yang menjadi simbol perjuangan melawan penindasan dan ketidakadilan dalam dunia kerja.

Nama Marsinah kembali mencuat ketika Presiden Prabowo Subianto menyebut namanya. Dalam acara peringatan Hari Buruh Internasional 1 Mei 2025, Presiden Prabowo Subianto menyatakan dukungannya terhadap usulan agar Marsinah mendapatkan gelar Pahlawan Nasional dari kaum buruh.

Bagaimana perjuangan Marsinah hingga diusulkan menjadi Pahlawan Nasional? Berikut kisah inspiratif dari Marsinah, Sang pejuang hak-hak buruh.

Profil singkat Marsinah

Marsinah lahir tanggal 10 April 1969. Anak nomor dua dari tiga bersaudara ini merupakan buah kasih antara Sumini dan Mastin. Sejak usia tiga tahun, Marsinah telah ditinggal mati oleh ibunya. Bayi Marsinah kemudian diasuh oleh neneknya Pu’irah, yang tinggal bersama bibinya Sini di desa Nglundo, Nganjuk, Jawa Timur.

Pendidikan dasar ditempuhnya di SD Karangasem 189, Kecamatan Gondang. Sedang pendidikan menengahnya di SMPN 5  Nganjuk. Sedari kecil, gadis berkulit sawo matang itu berusaha mandiri. Menyadari nenek dan bibinya kesulitan mencari kebutuhan sehari-hari, ia berusaha memanfaatkan waktu luang untuk mencari penghasilan dengan berjualan makanan kecil.

Ketika menjalani masa sekolah menengah atas, Marsinah mulai mandiri dengan mondok di kota Nganjuk. Selama menjadi murid SMA Muhammadiyah, ia dikenal sebagai siswa yang cerdas. Semangat belajarnya tinggi dan ia selalu mengukir prestasi dengan peringkat juara kelas. Jalan hidupnya menjadi lain, ketika ia terpaksa harus menerima kenyataan bahwa ia tidak punya cukup biaya untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.

Berbekal ijazah SMA, Marsinah kemudian berusah mencari pekerjaan. Ia mengirimkan sejumlah lamaran ke berbagai perusahaan di Surabaya, Mojokerto, dan gresik. Akhirnya ia diterima di pabrik sepatu BATA di Surabaya tahun 1989. setahun kemudian ia pindah ke pabrik arloji Empat Putra Surya di Rungkut Industri, sebelum akhirnya ia pindah mengikuti perusahaan tersebut yang membuka cabang di Siring, Porong, Sidoarjo. Marsinah adalah generasi pertama dari keluarganya yang menjadi buruh pabrik.

Baca Juga:

Marsinah adalah pelopor perjuangan kaum buruh dalam menuntut hak

Marsinah dikenal sebagai seorang pendiam, lugu, ramah, supel, tingan tangan dan setia kawan. Ia sering dimintai nasihat mengenai berbagai persoalan yang dihadapi kawan-kawannya. Kalau ada kawan yang sakit, ia selalu menyempatkan diri untuk menjenguk. Selain itu ia seringkali membantu kawan-kawannya yang diperlakukan tidak adil oleh atasan. Ia juga dikenal sebagai seorang pemberani.

Paling tidak dua sifat yang terakhir disebut, pemberani dan setia kawan,. inilah yang membekalinya menjadi pelopor perjuangan. Pada pertengahan April 1993, para buruh PT. CPS (Catur Putra Surya). pabrik tempat kerja Marsinah, resah karena ada kabar kenaikan upah menurut Sudar Edaran Gubernur Jawa Timur.

Dalam surat itu termuat himbauan pada para pengusaha untuk menaikkan upah buruh sebesar 20% dari upah pokok. Pada minggu-minggu tersebut, Pengurus PUK-SPSI PT. CPS mengadakan pertemuan di setiap bagian untuk membicarakan kenaikan upah sesuai dengan himbauan dalam Surat Edaran Gubernur.

Keresahan tersebut akhirnya berbuah perjuangan. Pada tanggal 3 Mei 1993 seluruh buruh PT. CPS tidak masuk kerja, kecuali staf dan para Kepala Bagian. Sebagian buruh bergerombol dan mengajak teman-teman mereka untuk tidak masuk kerja.

Hari itu juga, Marsinah pergi ke kantor Depnaker Surabaya untuk mencari data tentang daftar upah pokok minimum regional. Data inilah yang ingin Marsinah perlihatkan kepada pihak pengusaha sebagai penguat tuntutan pekerja yang hendak mogok.

Tanggal 4 Mei 1993 pukul 07.00 para buruh PT. CPS melakukan unjuk rasa dengan mengajukan 12 tuntutan. Seluruh buruh dari ketiga shift serentak masuk pagi dan mereka bersama-sama memaksa untuk diperbolehkan masuk ke dalam pabrik. Satpam yang menjaga pabrik menghalang-halangi para buruh shift II dan shift III. Tidak hanya di tempat Marsinah bekerja, unjuk rasa para buruh menular ke seluruh provinsi.

Wakil para pengunjuk rasa kemudian melakukan perundingan dengan manajemen pabrik. Perundingan berjalan dengan hangat. Dalam perundingan tersebut, sebagaimana dituturkan kawan-kawannya. Marsinah tampak bersemangat menyuarakan tuntutan.

Dialah satu-satunya perwakilan dari buruh yang tidak mau mengurangi tuntutan. Khususnya tentang tunjangan tetap yang belum dibayarkan pengusaha dan upah minimum sebesar Rp. 2.250,- per hari sesuai dengan kepmen 50/1992 tentang Upah Minimum Regional. Setelah perundingan yang melelahkan tercapailah kesepakatan bersama.

Tanggal 5 Mei 1993, 13 buruh dipanggil kodim Sidoarjo. Ke 13 buruh itu dipaksa untuk menandatangani surat PHK. Para buruh terpaksa menerima PHK karena tekanan fisik dan psikologis yang bertubi-tubi. Dua hari kemudian menyusul 8 buruh di-PHK di tempat yang sama.

Marsinah sadar betul bahwa peristiwa yang menimpa kawan-kawannya adalah suatu keniscayaan di negeri milik pengusaha ini. Dari kliping-kliping surat kabar yang diguntingnya, dari keluhan-keluhan kawan-kawannya se pabrik, dari kemarahan-kemarahan yang teriakkan, dan dari apa yang ia lihat dengan mata kepala sendiri, semuanya memberinya pengetahuan tentang ketidakberesan yang melanda segala lapisan dalam masyarakat kita.

Baca Juga:

Kemarahannya meledak saat mengetahui perlakuan tentara kepada kawan-kawannya. “Saya tidak terima! Saya mau (melapor) ke paklik saya yang jadi jaksa di Surabaya!” teriak Marsinah gusar. Dengan gundah ia raih surat panggilan kodim milik salah seorang kawannya, lantas pergi.

Ke mana perginya Marsinah? Tidak ada yang tahu. Yang pasti, Sejak saat itu Marsinah tidak lagi terlihat di pabrik tempat ia bekerja.

Mayatnya ditemukan di gubuk petani dekat hutang Wilangan, Nganjuk tanggal 9 Mei 1993. Ia yang tidak lagi bernyawa ditemukan tergeletak dalam posisi melintang. Sekujur tubuhnya penuh luka memar bekas pukulan benda keras. Kedua pergelangannya lecet-lecet, mungkin karena diseret dalam keadaan terikat.

Tulang panggulnya hancur karena pukulan benda keras berkali-kali. Di sela-sela pahanya ada bercak-bercak darah, diduga karena penganiayaan dengan benda tumpul. Pada bagian yang sama menempel kain putih yang berlumuran darah. Mayatnya ditemukan dalam keadaan mengenaskan.

Sumber:

  • D&R, Edisi 980627-045/Hal. 24 Rubrik Liputan Utama
  • Refleksi Tiga Belas Tahun Pejuang Buruh Perempuan (Kasus Tragedi Marsinah), Musfirotun Yusuf, 2008

Baca Juga: Eksploitasi Buruh di Berbagai Bidang, Mulai Freelancer Hingga Kasus Kim Soohyun

Fransisca Dewi

Doyan traveling, dan kuliner

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button