Dua tahun lalu atau 1 Oktober 2022, sepak bola Indonesia dihantam tragedi memilukan usai laga Derbi Jatim antara Arema FC melawan Persebaya Surabaya.
Laga yang berlangsung di Stadion Kanjuruhan yang berjalan aman lancar, berubah menjadi kerusuhan usai peluit tanda berakhirnya laga dibunyikan wasit.
Suporter tuan rumah yang turun ke lapangan untuk menyemangati para pemain Arema FC usai kalah 2-3 direspon berbeda oleh petugas pengamanan. Kerusuhanpun terjadi. Bentrok antara penonton dan petugas keamanan tidak dapat terhindarkan.
Kronologi peristiwa Tragedi Kanjuruhan Malang
Kronologi kejadian bermula dari keputusan panitia pelaksana pertandingan yang mengirimkan surat ke Polres Malang, meminta rekomendasi untuk pertandingan yang dijadwalkan pada pukul 20.00 WIB. Namun, Polres Malang menyarankan perubahan jadwal menjadi pukul 15.30 WIB dengan alasan keamanan.
Meskipun PT Liga Indonesia Baru (PT LIB) menolak permintaan tersebut karena alasan penayangan langsung dan ekonomi, Polres Malang tetap melakukan persiapan keamanan dengan menambah jumlah personel yang disiagakan.
Pertandingan berakhir dengan skor 2-3 untuk kemenangan Persebaya. Menurut kesaksian yang dilansir dari BBC, empat orang Aremania turun ke lapangan setelah peluit panjang berbunyi. Seorang pemain berupaya menenangkan, tapi polisi ikut menghampiri dan memukuli suporter tersebut dengan tongkat hingga terjatuh.
Tindak kekerasan aparat memicu kemarahan Aremania lain. Mereka berbondong-bondong melompati pagar pembatas menuju lapangan. Polisi membalas dengan memukul mundur para suporter.
Situasi memanas dan polisi mulai menggunakan gas air mata untuk mengendalikan kerumunan. Tragisnya, hal ini menyebabkan penonton berdesakan di pintu keluar stadion, mencari udara segar untuk menghindari gas air mata, yang berujung pada tragedi yang memilukan.
Sebanyak 135 orang tewas dalam kejadian memilukan tersebut. Sebagian besar karena kehabisan oksigen dan trauma fisik akibat terhimpit. Selain itu, ratusan lainnya mengalami luka-luka, baik fisik maupun psikologis.
Baca Juga:
Hukuman kepada para pelaku
Dua hari setelah tragedi Kanjuruhan, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mencopot Kapolres Malang AKBP Ferli Hidayat.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menduga terdapat pelanggaran HAM oleh aparat kepolisian maupun TNI dalam tragedi Kanjuruhan. Sedikit-dikitnya, hal itu terekam saat aparat menendang dan memukuli Aremania yang sedang berjalan.
Enam orang akhirnya ditetapkan sebagai tersangka, yakni Ketua Panpel Arema FC Abdul Haris, Security Officer Arema FC, Suko Sutrisno, eks Danki 1 Brimob Polda Jatim AKP Hasdarmawan, eks Kasat Samapta Polres Malang AKP Bambang Sidik Achmadi, Kepala Bagian (Kabag) Ops Polres Malang Kompol Wahyu Setyo Pranoto dan Dirut PT LIB Akhmad Hadian Lukita.
Abdul Haris divonis hukuman 1 tahun 6 bulan penjara oleh majelis hakim, lebih rendah dari tuntutan jaksa yang menghendaki hukuman penjara 6 tahun 8 bulan. Sementara, Suko Sutrisno divonis 1 tahun penjara. Awalnya, Suko dituntut 6 tahun 8 bulan.
AKP Hasdarmawan yang divonis penjara 1 tahun 6 bulan. Sedangkan Kompol Wahyu Setyo divonis 2,5 tahun penjara oleh Mahkamah Agung (MA).
Terakhir, Bambang Sidik divonis ringan MA 2 tahun penjara. Keduanya awalnya divonis bebas di tingkat pengadilan negeri.
Baca Juga:
Tragedi Kanjuruhan Malang merupakan sejarah kelam sepak bola Indonesia
Insiden ini menjadi salah satu peristiwa terburuk dalam sejarah sepak bola Indonesia. Aksi penembakan gas air mata dari polisi dan lemahnya pengawasan dari panitia penyelenggara, menyebabkan 135 orang yang tewas dan ribuan orang luka-luka, menjadikan peristiwa ini tidak dapat dipandang sebelah mata.
Tragedi Kanjuruhan Malang memicu reaksi keras dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, organisasi sepak bola, dan masyarakat luas. Investigasi dilakukan untuk mengungkap penyebab dan pihak-pihak yang bertanggung jawab atas insiden ini. Tragedi Kanjuruhan Malang menjadi bahan refleksi dan pembelajaran bagi dunia sepak bola Indonesia untuk meningkatkan standar keamanan dan keselamatan di stadion.
Duka mendalam dirasakan oleh seluruh bangsa Indonesia atas kehilangan nyawa yang tidak tergantikan ini. Semoga tragedi ini menjadi yang terakhir dan kita dapat belajar dari kesalahan masa lalu untuk menciptakan masa depan yang lebih aman bagi semua penggemar olahraga.
Baca Juga:Â Hasil Survey Ticketgum; Indonesia di Luar 10 Besar Negara Fanatik Sepak Bola, Netizennya Tidak Dihitung?