Amanda Zahra vs Fafa: Hakikat Kekerasan Seksual terhadap Perempuan


Amanda Zahra

Pengguna media sosial terutama Twitter tentu sudah tidak asing mendengar nama Amanda Zahra. Ia mulai dikenal ketika kasus perselingkuhan mantan suaminya (Guido Ilyasa) dengan artis yang sedang naik daun yaitu Arawinda Kirana terkuak ke publik pada 28 Oktober 2022. Publik pun menaruh simpati kepadanya. Amanda dengan username-nya @amndzahra bertansformasi dari pengguna biasa menjadi selebtwit. Namanya terpantau sering muncul pada trending topik Twitter. Pada 4 April 2023, ia kembali menjadi hot topik Twitter. Kali ini dibarengi dengan keyword lain yaitu Fafa. Apa hubungan dua orang tersebut?

Berawal dari postingan Amanda tentang pelecehan seksual, Fafa dengan nama pengguna @heiifafa mengingatkan seseorang yang meng-quote tweet postingan tersebut bahwa Amanda memiliki fans yang garang. Alhasil, banyak pengguna Twitter yang marah dengan komentar tersebut. Salah satu pengguna yang membela mendapat balasan dari Amanda. “HER HEADER”, katanya. Dua kata tersebut berhasil membalikkan keadaan. Pengguna Twitter berbondong-bondong membela Fafa. Pasalnya tidak ada yang salah dengan header Fafa.

Namun, pengguna lain masih kokoh membela Amanda karena Fafa ditengarai sebagai seseorang yang membela pelaku pelecehan seksual. Hal ini diketahui dari persetujuannya dengan komentar “Misal gue lagi jalan di komplek rampok sambil nenteng duit 1 milyar. Trus dirampok. Masa gue bilang “ya kalian kalo mentalnya ga ngerampok, gabakal ngambil duit gue dong” gabisa cuy. Dunia ga berjalan kek gitu. Duit disimpen baik-baik, rampok juga jangan nyoba nyoba. Gitusih..”. Dari situlah warga Twitter mulai mengutarakan pendapatnya tentang pelecehan seksual.

Pelecehan seksual merupakan salah satu bentuk kekerasan seksual. Berdasarkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbud), kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan dengan aman dan optimal. SIMFONI-PPA mencatat bahwa selama 2023 ini terdapat 7.239 kasus kekerasan seksual. Korban berjenis kelamin laki-laki sebanyak 1.293 sedangkan perempuan sebanyak 6.541.

Data di atas menunjukkan bahwa mayoritas korban kekerasan seksual adalah perempuan. Mengapa hal tersebut bisa terjadi?

Hawa nafsu

Banyak orang beranggapan bahwa kekerasan seksual terjadi karena wanita memakai pakaian ketat dan seksi. Bagaimana dengan fakta di lapangan? Berdasarkan survei nasional 2018 yang dilakukan oleh Koalisi Ruang Publik Aman terhadap 12.341 responden, perempuan dilecehkan saat memakai rok atau celana panjang (17,47%), baju lengan panjang (15,82%), baju seragam sekolah (14,23%), baju longgar (13,80%), berhijab pendek/sedang (13,20%), baju lengan pendek (7,72%), baju seragam kantor (4,61%), berhijab panjang (3,68%), rok atau celana selutut (3,02%), baju atau celana ketat (1,89%), rok atau celana pendek (1,31%), tulban atau tutup kepala (0,70%), jaket (0,50%), celana jeans (0,46%), baju agak transparan (0,44%), tank top atau tanpa lengan (0,36%), berhijab dan bercadar (0,17%), dan dress (0,08%).

Data tersebut jelas menunjukkan bahwa kekerasan seksual terhadap perempuan terjadi bukan karena pakaian wanita tapi murni karena hasrat seksual laki-laki.

Baca Juga: 

Budaya patriarki

Budaya patriarki sudah mendarah daging di Indonesia. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), patriarki adalah perilaku mengutamakan laki-laki daripada perempuan dalam masyarakat atau kelompok sosial tertentu. Budaya patriarki dapat mengekang ruang gerak perempuan. Perempuan diharuskan tunduk pada laki-laki. Hal tersebut dapat berakibat negatif pada perempuan itu sendiri.

Budaya patriarki yang kuat membenarkan laki-laki bertindak semaunya terhadap perempuan termasuk kekerasan seksual. Kekerasan ini bahkan terjadi sejak usia remaja. Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) 2021 menunjukkan bahwa 8 dari 100 perempuan usia 13-17 tahun mengalami kekerasan seksual dalam bentuk apapun sepanjang hidupnya. Selain itu, 7 dari 100 perempuan usia 18-24 tahun mengalami kekerasan seksual dalam bentuk apapun sebelum usia 18 tahun. Oleh karena itu, budaya patriarki perlu ditiadakan.

Baca Juga: 

Kurangnya pendidikan seksual

Seks masih dianggap sebagai hal yang tabu di Indonesia. Pendidikan seks hanya berlaku untuk orang dewasa saja. Kenyataannya, saat ini seks dapat mudah diakses oleh siapapun termasuk anak-anak. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mengungkapkan bahwa 66,6% anak laki-laki dan 62,3% anak perempuan di Indonesia menyaksikan kegiatan seksual (pornografi) melalui media online.

Data tersebut mengacu pada SNPHAR 2021. Oleh karena itu, pendidikan seksual perlu diajarkan sejak dini. Orang tua menjadi pihak pertama yang perlu mengajarkan pendidikan ini, diikuti oleh lembaga pendidikan formal.

Perempuan sebagai pihak yang sering mengalami kekerasan seksual perlu membekali dirinya tentang pendidikan seksual. Perempuan perlu mengetahui hal-hal basic tentang kekerasan seksual. Hal-hal yang dianggap biasa di masyarakat seperti catcalling, lelucon berbau seks, dan sentuhan tubuh tanpa persetujuan merupakan ciri-ciri kekerasan ini.

Jika hal tersebut terjadi, perempuan tidak perlu merasa terintimidasi. Melaporlah kepada pihak berwajib. Jika tidak segera mendapat respons maka viralkan kasus tersebut. Saat ini media sosial sudah menjadi sarana untuk mengontrol kinerja aparatur negara.

Kekerasan seksual sering terjadi pada perempuan dan pelaku kebanyakan adalah laki-laki. Namun, beberapa kasus tertentu justru perempuanlah yang menjadi pelaku. Oleh sebab itu, kita perlu berpikir rasional dan berpandangan objektif. Baik laki-laki maupun perempuan memiliki tanggung jawab untuk mencegah kekerasan seksual.

Hal ini sudah dijelaskan dalam agama. Tuhan menganjurkan kita untuk menjaga pandangan, menjaga kemaluan, dan menutup aurat (bagian dari tubuh manusia yang wajib ditutupi dari pandangan orang lain dengan pakaian).

Baca Juga: 

    1. Mengapa Perempuan Belum Merdeka?
    2. Menilik Kasus Agnes Gracia: Aktualisasi Kenakalan Seksual di Era Teknologi

BekelSego adalah media yang menyediakan platform untuk menulis, semua karya tulis sepenuhnya tanggung jawab penulis.


Explorer

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *