Review Joker: Folie a Deux, Eksperimen yang Gagal Total dari Warner Bros


Joker - Folie a Deux (instagram/hablandodecineblog)

Film Joker: Folie a Deux sejatinya bukan sebuah film yang kehadirannya dinantikan oleh penikmat perfilman. Namun, kehadirannya di belantika layar lebar tetap disambut banyak atensi penggemar. Para penggemar karakter yang digambarkan sebagai seorang sosiopat ini nyatanya tetap menyambut sekuel ini dengan ambisius.

Sayangnya, alih-alih memberi impresi bagus kepada pihak-pihak yang sempat menantikannya, Joker: Folie a Deux justru menawarkan sebaliknya. Ia tidak menimbulkan kesan yang begitu mendalam seperti film pertamanya. Kelanjutan kisah Arthur Fleck ini justru memberi kekecewaan tersendiri buat para penikmat perfilman.

Eksperimen Todd Phillips dan Warner Bros yang mencoba memberi warna baru pada sekuel Joker ini harus dibayar mahal dengan hasil akhir yang terasa kurang ‘wah’. Keberanian bereksperimen di di film ini harus dibayar mahal dengan eksekusi yang terkesan kurang sempurna. Lantas, bagaimana Joker: Folie a Deux layak dicap sebagai sebuah sekuel yang gagal dalam banyak aspek?

Kembali Tonjolkan Unsur Psikologi yang Kental

Ketika Todd Phillips mengumumkan bahwa Joker akan mendapatkan sekuel, para fans tentu menantikan sebuah film yang kental akan unsur psikologinya. Setidaknya itulah yang tergambar di film pertamanya. Joker 2019 begitu kental menyajikan unsur psikologi, di mana penonton diajak menyelami karakter Arthur Fleck yang berjuang keras melawan penyakit mental yang diakibatkan trauma masa kecilnya.

Judul yang dipilih, ‘Folie a Deux’ yang berarti ‘Kegilaan Bersama’ pada akhirnya juga menjadi semacam petunjuk bahwa film ini akan dibawa ke arah yang sama. Pada akhirnya, Todd Phillips tidak berbohong. Joker: Folie a Deux adalah sebuah film yang memang banyak memuat unsur psikologi di dalamnya. Film ini mengajak penonton mengenal lebih dalam sosok Arthur dan kehidupan barunya di penjara Arkham.

Todd yang dibantu oleh Scott Silver sebagai penggarap naskah sukses menyuntikkan elemen mencekam yang mewarnai hari-hari Arthur di Arkham. Pengarakteran Arthur di film kedua Joker ini benar-benar nyaris tanpa celah. Penonton sukses dibuat terbawa ke dalam situasi bagaimana rasanya menjadi seorang yang depresi, kesepian dan kehilangan harapan hidup lewat sosok Arthur.

Sisi positifnya, setelah diajak menyelami karakter Arthur dalam kesepiannya yang mendalam, penonton dibawa ke dalam situasi berbeda. Pertemuannya dengan Lee Quinzel, seorang psikolog yang terobsesi dengan sosok Joker pada akhirnya mengubah pribadi Arthur. Lewat naskah yang mereka buat, Scott Silver dan Todd Phillips sukses menggambarkan dengan tepat bagaimana pribadi Arthur berubah menjadi lebih periang pasca pertemuannya dengan Lee.

Penggambaran suasana riang dalam hati Arthur itu tergambar lewat suasana musikal yang tersaji hampir di setiap momen film pasca perkenalan Lee kepada penonton. Perubahan suasana hati Arthur yang begitu signifikan, dari seorang yang depresi, kemudian menemukan lagi arti cinta berhasil digambarkan dengan baik oleh Todd Phillips. Walau musik-musik yang disajikan agak kurang memorable, paling tidak, musik-musik yang hadir mampu memberi kesan pada penonton bahwa pribadi Arthur sudah mengalami perubahan di sini.

Baca Juga:

Eksperimen yang Menghancurkan

Terkadang, sebuah eksperimen bisa menjadi sebuah kesuksesan yang besar untuk sebuah film. Berkaca dari film pertamanya, eksperimen juga merupakan sebuah elemen penting yang membuat Joker (2019) meledak di pasaran. Ketika tidak ada yang menyangka Joker bakal difilmkan, film ini tiba-tiba muncul dan menggebrak dunia perfilman.

Eksperimen pulalah yang mendasari Todd Phillips pada akhirnya merilis film kedua dari waralaba yang tidak ia sangka bakal menjadi sebuah waralaba ini. Todd bilang bahwa film kedua ini akan jadi sebuah film dengan sesuatu yang baru. Sutradara kelahiran New York itu tidak bercanda. Masuknya Lady Gaga ke dalam proyek ini membawa Joker ke dalam ranah musikal, sebuah sesuatu yang baru untuk sebuah film psikologi semacam ini.

Secara khusus, unsur-unsur musikal yang tersemat di dalam film ini dimaksudkan untuk memberi kesan mendalam terhadap kondisi psikologi Arthur Fleck itu sendiri. Ia masuk ke dalam Joker: Folie a Deux sebagai gambaran bahwa jiwa Arthur kini lebih bahagia dengan kehadiran Lee. Namun tetap saja, kehadiran unsur musikal ini membawa petaka.

Scene ‘nyanyi-nyanyian’ yang disuntikkan Todd Phillips ke dalam sekuel Joker (2019) ini malah memberi kesan film ini inkonsisten. Ia tidak lagi menjadi sebuah film dengan ide yang segar sebagaimana pendahulunya. Bahkan, ada banyak yang bilang bahwa Joker: Folie a Deux malah menjiplak konsep Disney yang kerap menyuntikkan konsep semacam ini ke dalam film-filmnya.

Kehadiran Lady Gaga sekalipun tidak mampu membawa kesuksesan yang diharapkan untuk Joker: Folie a Deux. Malahan, kehadiran penyanyi kawakan itu, menurut banyak orang justru menjadi salah satu alasan mengapa film ini gagal. Karakter Lee yang ia perankan adalah karakter Harley Quinn terburuk menurut banyak fans.

Digendong Joaquin Phoenix

Tidak dapat dipungkiri kalau Joaquin Phoenix adalah orang yang seharusnya paling besar mendapat apresiasi atas kesuksesan Joker (2019). Bahkan, akting sang pria 49 tahun itu membawanya meraih penghargaan Oscar sebagai aktor terbaik pada tahun 2020 silam. Phoenix pulalah yang menjadi alasan mengapa Joker pada akhirnya mendapat sekuelnya.

Sayangnya, di saat penampilan Joaquin Phoenix layak mendapat apresiasi, tidak begitu dengan Joker: Folie a Deux. Alih-alih kembali menjadi film yang meledak di pasaran, film ini justru menjadi sebuah sekuel yang buruk. Aktor Phoenix menjadi satu-satunya elemen yang sanggup mempertahankan film ini sebagai sebuah film yang masih layak ditonton dan diapresiasi.

Kembali berperan sebagai Arthur Fleck yang kini menjalani kehidupan barunya di penjara yang jauh lebih menyedihkan dibanding kehidupan lamanya, Phoenix sukses memerankan karakter Arthur dengan sempurna. Ia sukses membawakan karakter Arthur yang kini kelihatan lebih depresi, suram dan menyedihkan ketimbang di film sebelumnya.

Baca Juga:

Suasana pun berubah ketika Arthur bertemu dengan Lee yang membawa kebahagiaan ke dalam hidupnya. Phoenix lagi-lagi memainkan peran yang begitu sempurna dalam perubahan suasana psikologis Arthur ini. Ia sukses menggambarkan Arthur yang kembali menjadi periang setelah pertemuannya dengan Lee.

Satu hal yang sukses dari unsur musikal dalam film ini lagi-lagi adalah peran Phoenix yang ternyata bisa diajak menyanyi, berduet dengan Lady Gaga. Totalitas kembali ditunjukkan Phoenix lewat kemauan besarnya untuk menyanyi. Walau tidak menghasilkan kesuksesan besar sebagaimana film pertamanya, akting Phoenix adalah satu-satunya aspek yang sukses menyelamatkan film ini dari kegagalan total.

Itulah dia ulasan Joker: Folie A Deux, sebuah film yang bisa dibilang gagal, tetapi tetap bisa dinikmati oleh pecinta film dengan tema psikologi yang kuat. Meski film ini meyuguhkan elemen yang justru menghancurkan filmnya, secara keseluruhan, Todd Phillips berhasil memberikan amanat dan pesan mendalam lewat film ini. Bagaimana dengan anda sendiri? Tertarik menonton Joker: Folie A Deux?

Baca Juga: Review Film Fantasi Netflix ‘The School For Good and Evil’, Petualangan Seru Negeri Dongeng dan Akademi Sihir

BekelSego adalah media yang menyediakan platform untuk menulis, semua karya tulis sepenuhnya tanggung jawab penulis.


Explorer