CerpenSastra

INSTAGRAM

CINTA saya hanya sebatas caption instagram. Entah, sudah berapa banyak postingan dan beragam caption – soal cinta – itu bertengger di akun instagram saya. Teks-teks itu tumpah begitu saja. Tanpa rem. Atau mungkin dengan rem yang blong. Saya tak paham. Saya sungguh tak bisa mengerti, kenapa jemari saya yang lentik itu lentur membikin kalimat-kalimat, yang bahkan satu kata pun tidak saya mengerti maskudnya. Apakah manusia selalu tidak mengerti dengan perbuatannya sendiri yang keluar dari alam bawah sadarnya? Atau mungkin, manusia suka berpura-pura tidak mengerti dengan perbuatan-perbuatannya? Ah, pertanyaan. Hari itu, sungguh, pertanyaan-pertanyaan saya dihadang laju jemari, dihantam ketukan-ketukan dari hati saya sendiri yang menggebu.

Hari itu, saya sudah tujuh kali menambahkan gambar di akun instagram saya. Mula-mula, saya tidak percaya terhadap apa yang telah saya lakukan. Tapi cinta tetaplah cinta. Cinta memilih takdirnya sendiri. Huruf-huruf di tuts itu habis dihantam jemari saya. Saya kasihan pada kata. Saya kasihan pada aksara. Tapi apa yang mampu mengalahkan kekuatan cinta?

Gambar 1. Sebuah meja makan. Sebuah piring di atasnya. Kosong. Saya menulis sebuah paragraf. Tidak terlalu panjang:

“Aini, mungkin jika kau di sini, piring itu tak sia-sia. Lihatlah piring itu. Sudah? Sudahkah kau lihat piring itu? Ya, tepat sekali. Serupa itulah hati saya sekarang. Saya lelah Aini, saya lelah mengejar. Seseorang telah lelah menjadi paku.”

Gambar 2. Sebuah potret pohon akasia di tengah taman kota. Daun-daunnya gugur. Daun-daunnya kering. Saya tulis lagi sebuah paragraf. Panjang. Panjang sekali.

“Aini, di tengah imaji saya tentangmu, di dasar ketabahan saya, di antara beberapa pohon yang saya inginkan menjadi teman. Pohon akasia itulah yang menjadikan saya lebih baik hari ini. Di tengah taman kota buta yang tak bisa melihat cahaya lantaran gelap mata hati orang-orang di sini. Saya tak bisa lagi menyarankan sesuatu padamu. Tak bisa lagi memberi sesuatu yang faedah, mungkin. Kau tahu, Aini, di taman itulah saya menunggumu. Di taman itulah kau tak kunjung datang. saya lelah. lelah sekali menunggumu yang begitu batu.

Gambar 3. Sebuah potret bangku. Tepatnya separuh bangku. Di taman yang sama. Terlihat kosong. Padahal, ada saya di sana yang telah memotretnya. Untuk gambar ini, saya menulis dua paragraf dan, sekali lagi, buatmu, Aini:

“Demikianlah, Ni. Aku mencintaimu dengan benci sekujur tubuhku. Sebelum cinta menjadi teenlit. Dengarlah. Suaramu yang baik dan buruk lakuku akankah satu, jadi kabut di atas kepala masing-masing atau pental hentikan raungku?

Ni, di batas kota ini, di antara cerita purba yang lalim dan jebak pahlawan. Aku ingin memeluk suaramu sekali lagi. Sekali, sekali, dan lagi. Demikianlah, Ni. Aku mencintaimu dengan benci tubuh sungkurku.”

Gambar 4. Ini lebih seram lagi. Sebuah potret asusila. Pelacuran. Dekat taman tempat saya menunggumu. Tempat itu memang tidak kentara sebagai lokalisasi. Karena memang tempat itu hanya warung-warung berjejer di pinggir jalan. Tapi, astaga. Tidak kusangka di sebuah kota yang sering dielu-elukan sebagai kota santri, ternyata ada sebuah tempat pelacuran diam-diam. Maka saya menuliskan caption seolah-olah satire dengan bentuk puisi:

“BUNGA RAYA //kalau malam nanti /kau tak datang, /kucari kau ke pusat hening /: tempat bayi-bayi bergeming. //di bawah langit rantau, /di tiap kelok risau, //penamu membayang /menggambar luka menggenang.//”

***

Related Articles

AH, Aini. Saya ingat benar bagaimana kamu mengirimkan sebuah pesan padaku kala itu. Pesan singkat, sesingkat-singkatnya: “Pulanglah.”

Apakah kamu tidak merasa kasihan kepada saya, Aini? Jauh-jauh saya pergi ke kotamu untuk menemuimu. Bukan kata singkat yang menyayat yang kuinginkan. Ah, Aini. Begitu tega kamu.

Tahukah kamu, Aini, setelah kamu kirimkan pesan itu kepada saya, apa yang saya lakukan? Saya ikuti maumu, Aini. Saya pulang. Apa yang lebih sakti dari titah seorang dambaan hati?

Saya paham, saya mungkin tak taat agama seperti kamu dan keluargamu. Saya paham, saya hanya seorang yang suka berkelana. Maka, kutulis puisi ini untuk sebuah caption Gambar 5 (di kota yang lain di depan sebuah Universitas Islam ternama:

“PENCARIAN //antara aku dan gila. /ketika sepi mati. /dipukul menit ampel dan jombang. /tentang pelacur dan santri. //pergi. /15 aku datang. /menuju ahmad yani ke 12. /dari biji sejarah. /tentang paksa dan perkosa. /lelaki diperkosa diri sendiri. //pergi. /sepi mati di langit ibu /pendidikan yang dikulum imf. //antara aku dan gila. /keluarga dari makna theis dan atheis. //pergi. /sakit menjadi jenaka. /tentang tangan dan palu yang berdiskusi. //antara takut yang pura-pura takut. /dari makna alam tanpa alam. //ning datang /serupa purabaya yang bermain. /pergi.//”

Kamu ingat bagaimana saya bisa sampai ke kotamu? Saya tak tahu pasti, kamu ingat atau tidak. Bukankah kamu yang bilang kalau kita bertemu di sebuah tempat wisata religi di kota lain. Tapi, apa yang terjadi. Kamu malah menghilang. Kontakku kamu blokir. Tapi, cinta tetaplah cinta. Sakit telah menjadi jenaka, bukan, jika cinta telah melanda? Ah, Aini.

Lalu, selang beberapa menit. Saya tak tahu lagi harus melakukan apa. Ada beberapa hal yang membuat saya lemas. Apakah cinta juga membuat lemas? Tapi, inilah yang terjadi. Saya lihat-lihat lagi postingan-postingan saya sebelumnya. O, sungguh. Mengapa semua postingan instagram saya mengarah pada kamu? Apa yang membuatmu sangat berharga? Dan apa yang membuat saya tak berharga di hadapanmu? Apakah benar selama ini yang pepatah katakan bahwa cinta tak harus memliki? Saya sungguh lemas. Tak tahu harus berbuat apa lagi. Dan… saya menemukan solusi untuk menghilangkan kekalutan ini: stalking IG-mu.

Astaga, baru saya ingat. Saya tak tahu aku IG-mu. Untung saja saya kenal sahabatmu dan menanyakannya padanya.

“Akun IG Aini, kau tahu?” ucapku pada temanmu lewat pesan WhatsApp.

“Coba cek namanya.” Jawab temanmu sekenanya.

“Sudah.” Jawab saya lagi. Agak kesal.

“Nama lengkap?”

“Sudah juga.”

“Kamu tahu nama lengkapnya, nggak?” tanya temanmu seolah-olah saya bukanlah pecinta sejati.

“Nurul Aini, kan? Sudah juga. Tapi tak ada.”

“Sebentar.” Katanya.

Selang beberapa menit, dia mengirim pesan lagi pada saya, “dee_inn.”

Saya tak membalas lagi. Langsung saya ketik di pencarian nama akun itu. Dan, ternyata isinya penuh dengan gambar bunga.

Karena saya belum percaya benar kalau itu akun IG-mu, saya stalk sampai pada pertama kali kamu memposting sebuah gambar. Yap. Benar. Itu kamu, tapi bercadar. Hanya mata. Mata yang nyala. Mata yang penuh cahaya. Astaga, Aini. Kenapa saya terus saja memujimu, padahal saya tak tahu kamu suka dipuji atau tidak. Maafkan saya, Aini.

Saya lihat semua postinganmu. Saya baca semua captionnya. Dan… saya benar-benar terhenyak. Sakit dada saya. Sebuah potret tangan membawa karangan bunga. Tentu, itu tanganmu. Benar-benar perih dada saya membaca kalimat ini pada captionnya: “Seberkas sinar di sudut pelupuk mata menyilaukan lembut. Sepertinya mentari masih ingin terlelap, namun apalah. Telah terpatri tuk selalu mengiringi semesta… Bersama Cinta Sang Pengasih nan Indah, biarkan jiwa ini berucap ‘Assalamu’alaykum, selamat pagi, Syurga’.”

Siapakah Syurgamu Aini? Siapa? Astaga.

***

SUDAHLAH. Saya tak sanggup lagi. Tapi, jemariku terus menulis. Jemariku tak tahan lagi. Biar ini menjadi sebuah caption pada gambar yang ku posting di IG selanjutnya:

“Saya terpaksa melukis bunga di atas sesobek kertas rusuh. Membayangkan kebahagiaan dari dengung bossanova Jawa yang jauh. Sepi berlabuh. Kau melangkah lamat-lamat. Jejak-jejak berdesak. Saya terpaksa melukis bunga di atas sesobek kertas rusuh. Sambil memeluk wajahmu yang selalu mendekat itu. Yang selalu jauh. Sepi berlabuh. Jejak-jejak berdesak. Jauh. Jauh sekali.”

Baca Juga: Kisah Penulis yang Resah Mencari Judul Cerpen

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button