Angkatan Sastra Baru di Indonesia, Dari Angkatan Balai Pustaka Hingga Angkatan 2000 (Part 1)

Sastra lama telah berakhir eranya walau karya sastra lama maaih diciptakan dan digunakan hingga saat ini. Misalnya pantun, peribahasa, teka-teki bahkan mantra. Akan tetapi ada sedikit perubahan dan menandakan era baru sastra Indonesia telah mulai. Contohnya saja pantun yang dulunya anonim, sekarang pantun dibuat dan disebutkan penciptanya. Walau begitu hasil sastra lama tetap berpengaruh pada muncul sastra baru dalam kazanah sastra Indonesia.
Tonggak sastra baru Indonesia dimulai tahun 1920-an dengan munculnya pengaruh karya sastra Eropa dan Amerika yang mana mereka menunjukkan namanya sebagai pencipta dan juga bentuk karya-karyanya yang lebih majemuk.
Baca Juga:
Sastra baru Indonesia memiliki ciri yang berbeda dengan sastra lama atau klasik. Ciri-ciri sastra baru tersebut yakni:
- Temanya tentang kehidupan masyarakat keseharian atau masyarakat sentris yang isinya berupa adat istiadat, pekerjaan, dan persoalan rumah tangga.
- Telah mendapat pengaruh dari sastra Barat yakni Eropa dan Amerika dalam hal tema cerita dan tokoh-tokohnya.
- Pengarangnya dinyatakan dengan jelas dan tidal lagi anonim.
- Bentuk karya sastra berupa puisi, roman novel dan drama.
Sastra baru berkembang sesuai perkembangan politik dan dinamika kehidupan masyarakat. Beberapa ahli menggolongkan periode sastra baru Indonesia ada 6 angkatan sastra. Berikut 6 angkatan sastra baru dalam.kazanah sastra Indonesia dari Balai Pustaka hingga angkatan 2000. Yuk simak penjelasan berikut ini.
1. Angkatan Balai Pustaka atau Angkatan 1920-an
Karya sastra yang diciptakan tahun 1920 hingga 1930 digolongkan ke dalam angkatan 1920 atau angkatan Balai Pustaka. Penamaan angkatan 1920 karena karya sastra berupa novel yakni Azab dan Sengsara karya Merari Siregar diterbitkan pertama kali di tahun 1920.
Karya periode ini juga disebut angkatan Balai Pustaka karena karya tersebut kebanyakan diterbitkan oleh penerbit pemerintah kolonial Belanda yakni Balai Pustaka dan hingga kini milik pemerintah. Ada juga yang menyebutkan Angkatan Siti Nurbaya sebab novel tersebut paling laris dan digemari masyarakat. Novel tersebut karya Marah Rusli dan sudah difilmkan.
Balai Pustaka berperan besar menciptakan bacaan bagi masyarakat dengan mencetak berpuluh novel dan buku sastra daerah. Novel-novel tersebut berbahasa melayu yang menjadi cikal bakal bahasa Indonesia. Bahasa yang digunakan pun campuran bahasa Melayu dan Bahasa Indonesia awal dengan tercetusnya Sumpah Pemuda tahun 1928.
Karya yang diterbitkan bertemakan sosial seperti kesetiaan istri kepada suami atau orang tua, kepatuhan kepada adat, hasrat dan pentingnya belajar dan rasa sayang dan hormat kepada sesama manusia.
2. Angkatan Pujangga Baru atau Angkatan 1930-an
Angkatan Pujangga Baru digunakan untuk karya-karya yang terbit tahun 1930-1940-an. Penamaan Pujangga Baru itu sesuai dengan media massa berupa Majalah Pujangga Baru yang terbit 1933. Tokoh angkatan ini ialah Sutan Takdir Alisyahbana, Amir Hamzah, Sanusi Pane, Armijn Pane dan juga J.E Tatengkeng. Mereka adalah sastrawan yang juga pengelola majalah Pujangga Baru. Karya sastra yang muncul berupa novel, drama dan puisi.
Beberapa karya tersebut yakni novel Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisyahbana atau biasa disebut STA, novel Belenggu karya Armijn Pane, buku puisi berjudul Nyanyi Sunyi dan Buah Rindu karya Amir Hamzah, buku puisi Asmara Hadir dan Rindu Dendam karya JE Tatengkeng. Ada juga karya Sanusi Pane yakni buku puisi Madah Kelana dan Pancaran Cinta juga drama berjudul Sandyakala ing Majapahit.
Karya sastra periode ini berbeda dengan karya angkatan Balai Pustaka. Karya angkatan Pujangga Baru mulai memancarkan jiwa yang dinamis, individualistis dan tidak lagi mempersoalkan tradisi sebagai tema sentral. Mereka juga mengangkat semangat nasionalisme, peran wanita dan kaum muda dalam pembangunan bangsa seperti dalam karya Layar Terkembang, mengangkat kehidupan nyata seperti perselingkuhan yang dulu dianggap tabu untuk di ketahui dalam novel Belenggu, mengandung romantisme berupa kerinduan dan rasa sedih serta religius.
Bahasa yang digunakan pun sudah seperti bahasa Indonesia sekarang. Hal ini disebabkan semangat nasionalisme dengan adanya Sumpah Pemuda yang mengakui bahasa Indonesia sebagai bahasa di wilayah calon republik ini.
Baca Juga:
3. Angkatan Chairil Anwar atau Angkatan 1945
Angkatan 1945 disebut juga Angkatan Chairil Anwar karena tokoh terkenal dalam periode ini dengan perjuangannya yang besar dalam menampilkan perbedaan dengan karya-karya yang ada sebelumnya.
Ada juga yang menyebutkan sebagai Angkatan Kemerdekaan sebab waktu itu Indonesia memproklamasikan kemerdekaan dan penuh dengan semangat dan perjuangan yang menggebu-gebu. Semua seolah berteriak keras menyampaikan rasa kesal dan gembira. Menghempaskan luka dan meradang melawan penjajahan yang akan kembali dilakukan kaum kolonial.
Angkatan ini memiliki karya yang kontras dan berbeda dengan angkatan sebelumnya. Dengan hiruk pikuk perjuangan kemerdekaan yang sesuatu perlu disampaikan dengan lugas, keras dan cepat akhirnya muncul puisi singkat dan juga cerita pendek atau cerpen. Ada juga novel dan drama dengan tema perjuangan dan kemerdekaan.
Angkatan 1945 memiliki ciri karya yakni (1) bebas, tidak terbelenggu oleh aturan apapun, (2) individualistis, bersifat mandiri dan tidak bergantung pada orang lain (3) universalitas, berlaku untuk semua orang di seluruh dunia, dan (4) realistis, sesuai dengan kenyataan sehari-hari di masyarakat.
Angkatan ini sangat tegas menyampaikan sikap baik sikap hidup maupun sikap dalam berkarya dengan menyampaikan Sikap Kepercayaan Gelanggang yang dimuat dalam Majalah Siasat rubrik Gelanggang tahun 1950 untuk menunjukkan sikap para anggota angkatan 1945.
Ada beberapa tokoh dan karyanya dalam angkatan 1945. Mereka yakni Chairil Anwar dengan Deru Campur Debu, Tiga Menguak Takdir karya Asrul Sani, Chairil Anwar dan Rivai Apin, novel Atheis karya Achdiat K. Mihardja, Idrus dalam cerpen Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma dan masih banyak lagi. Pengarang angkatan tersebut ada Usmar Ismail, Rosihan Anwar, El Hakim, Suman Hs, Utuy Tatang Sontani dan juga Pramudya Ananta Toer.
Baca Juga:
4. Angkatan 1966
Angkatan ini dicetuskan oleh HB Jassin, sang Paus Sastra Indonesia dengan melahirkan buku Angkatan ’66. HB Jassin suka mengumpulkan dan mengkliping karya sehingga terkumpul banyak dan didokumentasikan dalam Pusat Dokumentasi HB Jassin. Angkatan ini lahir dengan kondisi negara yang ramai akibat pemberontakan gagal dalam peristiwa Gestapu atau Gestok.
Kondisi politik yang kacau akibat teror dan merajalela paham komunisme. Akibat pemberontakan PKI yang gagal 1965, karya angkatan ini bertemakan protes sosial, protes terhadap keadaan sosial masyarakat dengan ekonomi yang sulit dan protes terhadap kondisi politik pemerintah yang kacau.
Beberapa tokoh angkatan ini yakni Taufik Ismail dengan karya Tirani dan Benteng. Iwan Simatupang dengan karya Kering dan Merahnya Merah. Bur Rasuanto dengan novel Tuyet, Toha Mohtar dengan karya Pagar Kawat Berduri, Pulang dan Daerah Tak Bertuan.
Angkatan ini memperjuangkan pembubaran PKI dengan segala underbownya termasuk Lekra. Banyak karya sastra periode ini yang diberangus dan dilarang terbit karena dianggap pengarangnya terkait PKI seperti Pramudya Ananta Toer dan Utuy Tatang Sontani.
Ciri karya sastra angkatan ini berbeda dengan angkatan sebelumnya baik dalam tema maupun bahasa yang digunakan.
Demikian angkatan dalam sastra Indonesia. Semoga bermanfaat dan salam literasi.
Baca Juga: 12 Jenis Karya Sastra Lama dan Contohnya, Dari Mantra Hingga Hikayat
BekelSego adalah media yang menyediakan platform untuk menulis, semua karya tulis sepenuhnya tanggung jawab penulis.