Ramalan Jayabaya, Suatu Kenyataan di Masa Lalu dan Prediksi Masa Depan
Setiap menjelang pemilu selalu saja ramalan Jayabaya dibaca dan dikaji. Diotak-atik untuk mencari siapakah tokoh pemimpin negeri ini nanti. Sama dengan pemilu tahun 2024 nanti. Ramalan Jayabaya selalu dikaitkan, tak terkecuali pembaca Bekelsego. Mencermati tulisan tentang mitos jangka Jayabaya, tertarik saya untuk membaca ulang buku lama saya berjudul Ramalan Jayabaya (Bagian Akhir) Indonesia Masa Lampau, Masa Kini dan Masa Depan (Suwidi Tono, Visi Gagas Komunika, Jakarta) dan Rahasia Ramalan Jayabaya Ranggawarsita dan Sabdopalon (Andjar Ani, Aneka Ilmu, Semarang)
Apa yang disampaikan oleh Mas Prabu barulah awal dari ramalan Jayabaya bagian akhir bait 117. Bunyinya mbesuk yen ana kreta lumaku tanpa turangga, tanah Jawa kalungan wesi, prahu lumaku ing dhuwur awang-awang, kali gedhe ilang kedhunge, pasar ilang kumandhange, yaiku pratandhane tekane zaman, kababare jangka Jayabaya wus amrepeki (kelak bila ada kereta berjalan tanpa kuda, tanah Jawa berkalung besi, perahu berjalan di angkasa, sungai besar hilang lubuknya, pasar kehilangan gaungnya, itulah tanda akan tibanya zaman, di mana ramalan Jayabaya tengah mendekati kenyataan).
Baca Juga:
Bila kita perhatikan kereta tanpa kuda sudah muncul, berupa mobil yang dijalankan oleh mesin. Tanah Jawa berkalung besi munculnya berupa rel kereta api yang terbuat dari besi dari ujung barat Jawa hingga ujung timur. Perahu di angkasa berupa pesawat terbang sudah ada saat ini.
Sungai hilang lubuknya maksudnya sungai mengalami pendangkalan sehingga tidak ada lubuk (bagian sungai yang dalam). Semuanya mengalami sedimentasi dan sungai-sungai dangkal sehingga terjadi banjir. Pasar kehilangan gaung maksudnya pasar sudah beralih ke minimarket, supermarket dan pasar online. Gaung pasar adalah adanya transaksi berupa tawar menawar harga. Sekarang sudah tak ada tawar menawar. Semua harga sudah ditulis. Tinggal ambil dan bayar. Bukankah ini sebuah kenyataan yang ada?
Keraguan Mas Prabu tentang ramalan Jayabaya memang beralasan. Namun setidaknya kita bisa mengetahui bahwa itu baru awalnya saja bahwa ramalan itu menjadi suatu kenyataan. Sebenarnya jika kita mau membaca kedua buku tersebut, akan sedikit jelas bahwa ramalan itu menjadi kenyataan. Bukan hanya tentang tanah Jawa namun Indonesia secara umum. Mau tau?
Baiklah. Berikut saya kutipkan satu bait yang sangat jelas berisi sejarah negeri ini. Entah benar ataukah mereka menggunakan ramalan dan mencoba ngepaske (menyamakan) dengan ramalan Jayabaya. Terserah, mana yang dianut. Tapi itulah kenyataannya.
Bait 128 berikut, tutupe warsa Jawa lu nga lu (wolu/telu sanga wolu/telu), warsa srani nga nem nem (sanga enem enem), alangan tutup kwali lumuten, kinepung lumut seganten. Tutup tahun Jawa delapan/tiga sembilan delapan/tiga, tahun masehi sembilan enam enam (1966), tertutup kuali berlumut (topi baja), terkurung oleh lumut laut.
Bait 129 berikut, iku balane semut ijo kang kelangan ngangrang, sapta linuweng ing sumur jalatundha, kang kebak isi baya, iku tandha praptaning zaman, jaman wong sugih krasa wedi, wong padha dadi priyayi, senenge wong jahat, susahe wong becik. Itulah pasukan semut hijau yang kehilangan semut merah, tujuh dimasukkan sumur jalatundha, yang banyak buayanya, itulah lambang datangnya zaman, orang kaya merasa takut, orang banyak mengaku-aku jadi priyayi, orang jahat semakin senang, orang baik semakin susah.
Jika kita memperhatikan bait-bait tersebut, jelas disebutkan tahun masehi 1966 yang terjadi semut ijo kelangan ngangrang. Kelompok tentara dengan topi baja yang berbaju hijau harus berhadapan dengan kelompok tentara merah yang dilambangkan ngangrang. Tahun tersebut 1965-1966 terjadi pergantian kekuasaan dari orde lama ke orde baru dengan adanya peristiwa kudeta oleh pasukan merah. Dibuktikan dengan dibuangnya jasad tujuh korban penculikan dan pembunuhan yang sekarang jadi pahlawan revolusi dan dibuang di sumur tua (jalatundha). Sekarang dikenal dengan Luang Buaya, Jakarta.
Militer menjadi sangat berkuasa. Banyak anggota dan yang dituduh anggota partai terlarang, tanpa proses peradilan, dibunuh dan mengambang di sungai-sungai. Atau dikubur bersamaan dalam satu lubang. Selanjutnya korupsi merajalela, orang kritis dibungkam, banyak yang mengaku priyayi (bergelar ningrat dan bertitel tinggi) tapi tidak berperilaku sebagaimana mestinya.
Bahkan di bagian akhir dari ramalan Jayabaya juga disebutkan pemimpin negeri ini yang bisa membawa bangsa dan negara ini menjadi baik dan jaya kembali. Disebutkan asal dan ciri-cirinya. Makanya tidak heran jika masyarakat yang percaya ramalan tersebut, selalu mengaitkan pilihan pemimpin negeri ini dengan ramalam Jayabaya tersebut. Apalagi di musim menjelang pemilu seperti saat ini. Selalu Ramalan Jayabaya dibuka dan diotak-atik biar gathuk.
Baca Juga:
Entahlah. Yang jelas ada hal yang bisa diambil pelajaran dari adanya ramalan Jayabaya tersebut. Pertama, aja sirik aja gela. Jangan iri dan kecewa. Janganlah kita iri hati dan dengki pada sesuatu. Jangan kita iri dengki pada orang lain. jangan kecewa jika yang kita usahakan belum mencapai hasil maksimal, Jangan juga kecewa jika orang yang kita dukung kalah.
Kedua, wong nyilih mbalekake, wong utang nyaur. Orang meminjam akan mengembalikan, orang berhutang akan membayar. Berbuat baiklah. Sebab berbuat baik akan kembali pada diri kita sendiri. Orang meminjam akan mengembalikan. Orang berhutang membayar. Jika kita berbuat buruk atau baik, sama saja kita meminjam atau berhutang. Kebaikan dan keburukan akan kembali pada diri kita. Pas dengan ungkaapan dalam ramalan Jayabaya tersebut.
Oleh karena itu, kita ambil pelajaran dari ramalan tersebut. Masalah itu benar atau tidak kita hargai sebagai karya anak bangsa dalam membaca zaman. Semoga bermanfaat.
Baca Juga: 6 Tradisi Unik Saat Imlek, Wajib Dinikmati!
BekelSego adalah media yang menyediakan platform untuk menulis, semua karya tulis sepenuhnya tanggung jawab penulis.