Sport

Wajah Sepakbola Indonesia Andaikan Perserikatan dan Galatama Masih Ada

Sepak bola telah menjadi olahraga yang digemari oleh banyak orang. Tua, muda, pria, wanita, hingga lansia banyak yang menyukai olahraga yang satu ini. Olahraga ini menjadi hiburan bagi manusia dari berbagai kalangan. Seolah-olah, sepak bola telah menjadi obat bagi manusia untuk sejenak melepaskan kepenatan maupun sarana untuk menyatukan berbagai latar belakang.

Bagi pecinta sepak bola Indonesia, saat ini pasti sudah tidak asing lagi dengan kompetisi terakbar di bumi pertiwi ini. Ya, apalagi kalau bukan Liga 1. Liga 1 sejak awal musimnya di tahun 2017 diikuti oleh 18 tim raksasa tanah air dari seluruh penjuru Nusantara, mulai dari Sumatera, Jawa, Madura, hingga Papua.

Bila kita melihat dari sisi historis, kompetisi sepakbola Indonesia telah melalui berbagai fase dengan kehebatannya masing-masing. Mulai dari era Perserikatan, Galatama, Ligina, ISL, IPL, dan kini Liga 1. Ada yang beranggapan bahwa sepakbola Indonesia saat ini tidak lagi segarang dulu, terutama di era dualisme kompetisi. Dualisme yang saya maksud di sini bukan dualisme era ISL dan IPL lho ya, tetapi dualisme di era Perserikatan dan Galatama.

Keduanya sama-sama kompetisi papan atas sepakbola Indonesia pada era itu, ya sekitar dekade 80 hingga 90-an awal begitu. Di era itu, kedua kompetisi ini beriringan dengan sistemnya sendiri-sendiri. Sedikit yang saya tahu, Perserikatan itu liga amatir sedangkan Galatama itu liga semi-profesional.

Hampir semua tim Perserikatan pasti diawali huruf “P” atau Per, misalnya saja Persija Jakarta dan PSM Makassar. Berbeda halnya dengan Galatama yang menggunakan nama-nama yang lebih kreatif, misalnya saja Arema dan Semen Padang. Ya, maklumlah, kan buat branding perusahaan yang menaungi.

Saya pun berangan-angan, bagaimana jadinya jika di tahun 1994 Perserikatan dan Galatama ini tidak dilebur menjadi satu? Seperti apakah kompetisi sepak bola di Indonesia saat ini? Lebih baik atau sebaliknya?

Akan Ada Dua Kutub Liga Indonesia

Seperti yang sudah saya singgung di atas, bahwa Perserikatan dan Galatama merupakan dua kutub yang berbeda. Yang satu amatir, yang satunya semi-profesional. Jika keduanya masih bertahan hingga saat ini, liga Indonesia akan punya dua kutub yang berbeda. Namun, malah saling mengisi.

Perserikatan yang notabenenya merupakan klub asli suatu daerah, ia akan terus-menerus melatih generasi di daerahnya untuk memajukan sepakbola di daerahnya tersebut. Misalnya saja Persija Jakarta akan terus melatih generasi muda untuk menjadi bibit unggul klubnya. Dengan ini, regenerasi dari atlet sepakbola akan terus berjalan dan berputar.

Berbeda halnya dengan Galatama. Di liga ini klub akan bersaing sesuai klub modern saat ini. Bursa transfer, pinjaman, negosiasi akan menjadi ciri khas dari kompetisi ini. Pemain yang dikontrak, ya pasti mayoritas dari hasil kaderisasi dari Perserikatan. Belum lagi dengan pemain asing, yang mungkin fenomena ini tidak ada di Perserikatan. Jadi, keduanya saling mengisi kan?

Baca Juga:

Piala Indonesia Pasti Lebih Ramai dan Lama

Seperti yang kita tahu, Piala Indonesia merupakan kompetisi yang berisikan tim dari berbagai kasta di Indonesia. Jika Galatama dan Perserikatan masih ada, tentunya Piala Indonesia akan berisi pertandingan dari kedua kompetisi tersebut dari berbagai kasta. Bisa dibayangkan, betapa banyak tim-tim yang bertanding di Piala Indonesia.

Hal ini akan menjadi hiburan yang menarik bagi pecinta bola. Pasalnya semua klub bertanding dan memperebutkan status tim terbaik se-Indonesia. Juga sebagai ajang persaingan juga sih, mana yang terbaik. Apakah Galatama atau Perserikatan?

Namun, jika itu terjadi, waktu yang diperlukan untuk kompetisi ini tentunya lebih panjang. Tidak cukup hanya satu tahun kalender. Bahkan bisa jadi ini kompetisi dua tahunan. Wah, kalau gitu lebih lama dari Piala Indonesia tahun 2018 donk?

Indonesia akan punya dua tim nasional

Ketika memiliki dua kompetisi di kasta yang sama, Indonesia pastinya juga akan memiliki dua Timnas, yang satunya amatir, yang satunya lagi semi-profesional. Kedua timnas ini tentunya akan meramaikan kompetisi di kancah Internasional. Kita juga akan dimanjakan dengan nama-nama pemain yang beragam dan bermacam-macam. Jadi, sebagai pemirsa, kita tidak akan bosan dengan pemain yang itu-itu aja.

Atau juga bisa kemungkinan lain bahwa Indonesia hanya akan memiliki satu Timnas yang pemainnya berasal dari kedua kompetisi ini. Hmm, menurut saya ini bagus sekali sih. Mengingat bibit generasi yang banyak, kecil kemungkinannya Indonesia akan melakukan naturalisasi pemain asing. Ya, walaupun ini hanya sebatas kemungkinan ya sob. Yang jelas, generasi dari pemain bola akan banyak dan Indonesia tidak akan kekurangan atlet berbakat.

Masalah kompetisi Perserikatan dan Galatama yang akan berlarut-larut

Bukan hanya dampak positif yang terjadi jika kedua kompetisi ini masih ada hingga saat ini. Pasalnya, kedua kompetisi tersebut mempunyai urusan dapur masing-masing yang belum terselesaikan. Permasalahan tersebut hingga kini juga belum menemui jalan keluar, walaupun kini kedua kompetisi itu sudah hilang ditelan zaman.

Klub yang bermain di Perserikatan dapat bertahan hidup dengan menyusu pada APBD. Tanpa APBD mereka hanyalah klub tarkam biasa yang tak mungkin bertanding di level nasional. Besaran APBD pun berbeda-beda dan bisa jadi yang berjaya hanyalah tim ibukota provinsi saja, yang anggarannya besar.

Masalah lain yang mereka hadapi adalah fanatisme kedaerahan yang sangat kuat. Kemungkinan besar, saat pertandingan akan diwarnai sikap vandalis dari suporter tim. Kalau begini bisa saja cita-cita “Tidak Ada Sepakbola Seharga Nyawa Manusia” akan sulit tercapai.

Galatama pun juga menghadapi masalah yang tak kalah pelik. Tim yang bermain di Galatama mayoritas tim yang dimiliki suatu perusahaan. Karena yang bermain itu para cukong, tentunya perjudian dan jual beli kemenangan menjadi tontonan yang biasa.

Fanatisme yang dimiliki oleh Perserikatan pun tak mampu digoyahkan oleh Galatama. Walaupun Perserikatan hanyalah tim amatir, mereka membawa nama daerah. Berbeda dengan Galatama yang dianggap anak kemarin sore dalam kompetisi sepakbola tanah air. Pemasukan tim Galatama yang bergantung pada penjualan tiket, merchandise, jersey, dll tentunya akan sedikit sekali, karena tak punya suporter loyal.

Sehingga, tak mengherankan jika banyak klub Galatama yang terpaksa gulung tikar. Klub yang masih ingin bertahan biasanya akan menjual saham klub kepada perusahaan atau pihak lain. Misalnya saja Yanita Utama yang berubah menjadi Kramayudha Tiga Berlian atau Niac Mitra yang berubah menjadi Mitra Surabaya dan kini menjadi Mitra Kukar.

Baca Juga:

Liga Indonesia saat ini

Kini, hanya ada tiga klub asli Galatama yang masih bertahan, yaitu Barito Putera, Semen Padang dan Arema (baik Arema FC maupun Arema Indonesia). Klub-klub yang dulu menjadi musuh mereka sudah hilang dan menjadi klub siluman. Kita tak lagi dapat melihat superiornya klub Galatama di kancah Internasional dan klub Perserikatan kini dipaksa menjadi profesional.

Lalu, apakah jika Perserikatan dan Galatama masih ada hingga kini, sepakbola kita lebih baik? Oh, ternyata tidak juga. Tergantung bagaimana PSSI dalam mengelolanya. Daripada pusing, kita lihat saja Liga 1 sekarang dengan komentator khasnya “JEBRET.”

Baca Juga: 5 Fakta Menarik Tentang Sepak Bola Eropa

BekelSego adalah media yang menyediakan platform untuk menulis, semua karya tulis sepenuhnya tanggung jawab penulis.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button