Manusia adalah mahkluk pekerja (homo faber). Dengan bekerja ia dapat memperoleh nafkah untuk meneruskan keberadaan dirinya termasuk juga merealisasikan diri. Paus Yohanes Paulus II dalam ensiklik Laborem Exercens menulis: ‘Kerja itu yang membedakan manusia dengan binatang lainnya. Mahkluk hidup selain manusia tidak bekerja. Hanya manusialah yang mampu bekerja, hanya manusia yang bekerja, dan dengan kerja ia dapat mengisi hidupnya.’ Kerja pertama-tama ‘demi manusia’ bukan manusia ‘demi kerja’. Ia ada bukan untuk kerja, tetapi kerja adalah salah satu ciri yang menandai adanya demi kelangsungan hidupnya.
Namun, tidak bisa dinegasikan kadang kala terjadi sebaliknya, yakni manusia ada demi kerja, sehingga ia berlarut-larut dalam pekerjaannya atas tuntutan produktif dan tidak lagi mampu menarik diri untuk bersama dengan dirinya sendiri dalam ketiadaan kehadiran yang lain.
Super Vita Activa
Budaya produktif adalah salah satu fenomena baru yang menandai masyarakat kontemporer. Masyarakat saat ini dituntut untuk selalu menghasilkan sesuatu (achievement society). Setiap orang didorong untuk berlomba-lomba mengejar, mencari, menghasilkan, dan mendapatkan sesuatu apa pun itu. Ia dipaksa untuk selalu ‘bisa, mampu, dan dapat serta harus mencapai sesuatu.’ Bisa dikatakan ‘keharusan produktif’ adalah proyek besar yang mesti dikerjakan dan diselesaikan setiap pribadi. Sebab, orang akan merasa malu ketika dirinya masih stagnan dan ada dalam keadaan impoten. Sementara yang lain sudah menghasilkan banyak hal dan hidup dalam kelimpahan.
Pencapaian dan prestasi dari masyarakat yang hidup dalam budaya produktif dapat ditemukan dalam banyak hal. Dalam bidang industri aneka produk super canggih dihasilkan seperti mesin, robot, internet, dan sebagainya. Bidang ekonomi juga muncul banyak orang kaya, sukses, dan berhasil dalam usaha dan pekerjaan mereka. Sementara di bidang akademis, lahir orang-orang cerdas dan pintar yang mana banyak menghasilkan karya tulis, misalnya dalam bentuk buku, jurnal, dan opini yang diterbitkan di berbagai majalah nasional maupun internasional. Semuanya itu merupakan epifani wajah prestasi masyarakat saat ini yang berangkat dari hasrat dan tuntutannya untuk selalu produktif.
Tuntutan produktif di satu sisi kondusif untuk melangsungkan kehidupan manusia. Ia dapat hidup baik, sejahtera, dan mapan secara ekonomis berkat hasil kreativitas dan prestasinya. Di lain sisi, tuntutan untuk selalu menghasilkan sesuatu kerap menghantar orang pada vita aktiva yang berlarut-larut (super vita activa). Manusia terus menerus bekerja tanpa henti agar mencapai target yang telah ditetapkan. Misalnya, ia harus mengorbakan banyak waktu istirahat untuk digunakan demi menambah penghasilan. Waktu yang biasanya dikhususkan untuk tidur dipakai untuk bekerja. Waktu untuk membiarkan diri berada sendiri dalam ketiadaan yang lain (alone with alone) dialihkan untuk menyelesaikan apa yang belum tercapai. Sehigga akhirnya seseorang tidak lagi menjadi pribadi disiplin (disciplinary society) dan pribadi yang patuh, tetapi individu superaktif atau mahkluk super vita activa.
Menurut Byung-Chul Han (1959) seorang filsuf Jerman asal Korea Selatan yang mempunyai minat besar dalam meneliti masyarakat kontemporer; prestasi berlebihan, produktivitas berlebihan, dan pencapaian berlebihan sebagai akibat dari super vita activa membuat orang jatuh pada kelelahan (the burnout society), depresi, dan berkepribadian ambang. Gejala itu bukan ‘infeksi’ tetapi ‘infark’ yang tidak disebabkan oleh negatifitas imunologi seseorang, tetapi oleh kepositifan berlebihan. Baginya, masyarakat saat ini sedang memasuki pusaran demarkasi, eksploitasi diri, dan kehancuran karena didorong oleh tuntutan bertahan dan tidak gagal serta ambisi efisiensi.
Tuntutan produktif entah disadari atau tidak, menggiring orang masuk dalam lingkaran ‘keharusan bekerja’. Tuntutan produktif membuat manusia supersibuk dan superaktif karena desakan untuk ‘harus menghasilkan sesuatu’. Tentang ini J. Sudrijanta menegaskan bahwa ‘masyarakat kontemporer itu selalu ingin bekerja meski mengalami keletihan dan kehabisan kekuatan’ (2009:128). Tuntutan kerja membuat masyarakat saat ini menjadi tuan sekaligus budak atas dirinya sendiri. Sebagai tuan, ia memerintahkan dirinya untuk melakukan sesuatu dan sebagai budak ia bekerja sedemikian rupa; patuh dan disiplin terhadap kehendak diri agar dapat mencapai apa yang diharapkan.
Tuntutan produktif mendorong masyarakat kontemporer menciptakan ‘perusahaan’ di dalam dirinya sendiri. Sebagai ‘perusahaan’ ia bekerja dengan penuh kesungguhan; mengerahkan segala potensi diri hingga sumber dayanya terkikis demi mewujudnya keinginan tuan yang adalah dirinya sendiri. Sebagai tuan dan budak dalam perusahannya sendiri, tuntutan produktif menyebabkan masyarakat saat ini terlempar dalam jurang kehancuran diri. Ia kehilangan kebahagian, meski secara ekonomis pun intelektual berkelimpahan. Ia mengalami kehausan ketenangan bahkan spiritual karena terlalu larut dalam pekerjaan.
Keharusan produktif secara perlahan semakin menelantarkan manusia dari hakikat mulia adanya sebagai homo faber. Ia tidak lagi bekerja demi dirinya, tetapi dirinya ada demi kerja sehingga ia tenggelam dalam pekerjaannya. Berlarut-larut dalam pekerjaan akhirnya bermuara pada kelelahan. Manusia menjadi lelah sendiri di atas segala pencapaian yang ada. Ia tidak dapat menikmati dengan baik segala jenis prestasinya, tetapi malah yang paling merasa asing dengan semuanya itu.
Baca Juga:
Kembali ke vita contemplativa
Di tengah gejolak super vita activa yang menimbulkan aneka persoalan seperti kelelahan, dan seterusnya. Adalah mendesak bagi masyarakat kontemporer ‘haus’ untuk kembali ke dalam diri. Ia mesti memiliki kerinduan untuk mengaktifkan kembali vita contemplativa. Vita contemplativa artinya hidup kontemplatif; sebuah aktivitas kelenyapan diri dan pelepasan diri. Di mana, seseorang bergerak ke luar dari diri. Ia meninggalkan sarang pikiran yang melekatkan sesuatu dan semua aktivitas yang tiada henti mengikat diri atas dasar keharusan ‘segera selesai dan tercapai’. Hidup kontemplatif adalah sebuah momen di mana aku membiarkan segala sesuatu sebagaimana adanya.
Pada dasarnya, hidup kontemplatif tidak hanya sekadar istirahat atau relaksasi, tetapi lebih dari itu yakni melampaui diri sendiri kepada sesuatu Yang Lain. Kontemplasi artinya beranjak merambah ‘dunia seberang’, mencari Dia dan mendekatkan diri kepada-Nya. Manusia ‘pergi’ dari keinginan, kehendak, dan daya upaya diri akan sesuatu yang berlebihan kepada Dia Yang Diam, Hening dan Tanpa Yang Lain. Hidup kontemplatif adalah bertamasya dan bercengkerama dengan Tuhan di ‘seberang’ sana. Seberang yang dimaksudkan ialah itu yang di luar aku dan pada saat bersamaan adalah aku itu sendiri. Artinya, seberang adalah kembali ke dalam diriku sendiri.
Baca Juga:
Perjalanan menuju ‘seberang’ adalah ziarah penuh keheningan. Pendakian itu dimulai dengan keheningan, dijalani dalam keheningan, dan berakhir pula dalam keheningan. Semuanya serba keheningan. Karena perjalanan itu sepenuhnya dalam hening, maka doa dan meditasi menjadi sarana penting yang dapat membantu seseorang masuk ke dalam diri. Doa dan meditasi bisa membawa manusia berlama-lama dalam kedalaman diri, bermukim di seberang sana, dan bercakap-cakap dengan Tuhan yang bertahta di palung hatinya.
Seni berlama-lama atau hidup kontemplatif adalah sebuah strategi ampuh bagi masyarakat saat ini dalam menahan hasrat diri untuk selalu produktif yang menyebabkan aneka krisis hidup. Berlama-lama dalam keheningan dapat menuntun kita menemukan sesuatu di luar diri yang dapat dijadikan komitmen dan pedoman hidup.
Selain itu, membenamkan diri dalam keheningan membantu kita mampu memaknai setiap peristiwa hidup, prestasi diri, dan aneka pencapaian yang ada. Sehingga, hidup kontemplatif itu mutlak perlu sebagai sebuah strategi perlawanan terhadap super vita activa yang menjauhkan kita dari kesejahteraan, kebahagian, dan ketidakhampaan makna hidup.
Baca Juga:Â 4 Langkah Mengalahkan Burnout dalam Kehidupan dan Dunia Kerja
BekelSego adalah media yang menyediakan platform untuk menulis, semua karya tulis sepenuhnya tanggung jawab penulis.