Mati Rasa
Sedalam perut bumi kasih ini menghujam
Magma di dalam benakku tenang tak gelegak
Aku sunyi dalam kisah kusam
Meski kalut menyemaki otak dan saling berparak
Kesiap sepi masih jua melirik masam
Apa harus menanggung malu diarak serak
Â
Bilakah bilangan kosong dalam dada terhitung
Angka-angka hampa senantiasa tertabung
Teriakan-teriakan sepi bunyi
Genggaman-genggaman terasa mati
Cinta menaburi puisi
Meski empati tidur di setiap baitnya
Simpati lelap dalam pusara aksara
Â
Miskin nian risik angin lengang saat gelap
Bising hilang nyaring
Dengking kurang lengking
Cuap tiada bercakap
Derap dekap terasa gagap
Mati bunyi!
Â
Teman
Adalah lirih sahabat setia
Menjadi lilin membakar diri
Untuk cahaya menjangkau kamu
Retina tempatku menatap dari jendela benak
Â
Apakah ruang tersisa
Dari berbagai kenang paling akrab
Bersua ketika ingin tertawa
Atau sekadar menjemput sendu kala terdengar
Lagu-lagu kebangsaan
Â
Sisihkan pendar dan debar
Lirik hola halo teks-teks terakhir
Untuk kubaca saat sepi mencabik hati
Sebagai taman bermain do’a malam
Teman tererat sepanjang sejarah
Â
Mata Suara
Zaman semakin sulit di tubuh do’a-do’a
Semua kesukaran menjunjung sembahyang paling kusyu’
Mesin-mesin akal kehilangan kompresi
Sedang mata melautkan harapan
Di tangan cintalah segala tenteram dan cukup tergenggam
Â
Zaman semakin sulit bagi yang lemah
Tak terbit mentari untuk yang fakir dan tiri
Setan-setan tambah gigih memalsu laku
Di mana? Di mana para pecinta untukku mencari suaka?
Â
Mantra-mantra nenek moyang semakin panjang
Mewariskan silsilah penghisap darah
Tubuhku tumbal untuk para jagal
Jiwaku sesaji untuk segala anomali negeri
Pancar! Berpendarlah cahaya:
Â
Hai, ini irah halrihal imub nipmimep!
Kasih, palremeg gnay urab irah iainurak.
Hu, hu, hu, hu, hu…
Â
Oh Kasih,
Mesin aku, aku mesin-Mu.
Â
Malam Minggu
Karena melawat pusara nanti
Saat kumandang adzan untuk kedua kali
Pada rembulan lima belas tiada bermuka duka
Jangan ada sesal yang merampas kekal
Â
Terkadang terdengar kabar jauh bertabur keluh
Petasan dan terompet meledaki jiwa disulut penuh
Jenuh
Â
Di mana-mana,
Kesendirian
Kesedihan
Kesepian
Diringkus malam minggu
Â
HUH, tapi purnama sudah lama mati
Sejak kau
Lepaskan rangkul
Malam minggu kawin lari
dengan kekasih baru
Â
Restu
Aku sungguh ingin tersenyum selebar-lebarnya
Melaju menuju pintumu
Lalu memberi restu
Kepada tolak dan tampik
Menggambarkan haru sekaligus sedih yang unik
Dan meluruhkan segala beban apik
Â
Aku sungguh akan tertawa
Tiada berduka
Hanya do’aku terasa asing
Dan kuselami bahagia yang aneh
Serta sendu biru untukmu
Â
Bahkan jika memungkinkan terbahak
Untuk harapan yang pernah koyak
Akan kuizinkan pedih dan asin kawin
Di bawah terang bulan
Dengan bingkai foto yang melulu selfie
Gitar yang lupa bunyi
Kopi basi
Â
Yogyakarta, 2017 – 2018.
Baca Juga:Â Senja Berpuisi di Beranda Rumahku
BekelSego adalah media yang menyediakan platform untuk menulis, semua karya tulis sepenuhnya tanggung jawab penulis.