CerpenSastra

Setetes Peluhku Untuk Negeri

Semilir angin pagi meraba kulitku, dingin kurasakan hingga masuk ke dalam tubuh. Diri ini tak goyah, tetap tegap melangkah membelah dinginnya pagi menuju tempat sejuta ilmu dimana aku bisa menanggalkan kebodohanku dan berkreasi tanpa henti. Sejenak aku hentikan langkah ini, tanaman hijau menyala yang terbentang di seberang jalan menarik perhatianku. Sungguh indah tampilannya, aku dekati dan aku sentuh bagian daunnya. Dingin dan segar, itulah yang aku rasakan. Tetesan embun pada dedaunan seolah memberikan setetes kesegaran pada otak ini. Aku rasakan kesegaran merasuk ke dalam tubuh hingga mengalir ke dalam tulang-tulangku. Sungguh, pemandangan pagi ini luar biasa dan bisa memberikan semangat pagi pada diriku. 

Kuayunkan langkah kakiku, bergegas menuju stasiun untuk berjumpa dengan kekasih hati yang dengan setia mengantarku berangkat dan pulang dari sekolah. Dia begitu panjang, ratusan orang bisa masuk ke dalamnya, dari pagi hingga malam tanpa lelah menyisir jalanan besi yang terbentang dua. Perjalanannya seperti berjalannya seorang raja, pemakai jalan yang lainnya akan berhenti sejenak tatkala dia lewat. Ya, itulah kereta api yang kehadirannya ditunggu ratusan manusia. 

Sejuta wajah terhampar di depan mata, seolah satu persatu wajah itu menyiratkan kepentingan masing-masing. Kadang aku rasakan kalau rutinitas seperti ini akan menghadirkan kepenatan tersendiri dan jika kita tidak memberikan warna yang beragam pada rutinitas harian, pasti stres datang melanda. Kadang aku berpikir, apa tujuanku dalam melakukan rutinitas ini? Mau aku bawa kemana derap langkah kaki ini?

“Ting-tung-ting….”

“Jalur dua, kereta api Argo Wilis menuju Bandung”

Suara informan stasiun membuyarkan sejuta lamunan dan pertanyaan yang menari-nari di otakku. Ternyata aku sudah sampai stasiun Gubeng, bergegas aku keluar dari kereta api. Pagi merayap seperti ini, ojek online adalah solusi untuk membela kemacetan kota Surabaya. Kutunggu abang ojekku di depan stasiun, selang empat menit kemudian dia telah datang menghampiriku.

Jarum jam menunjukan pukul 06.20, masih 10 menit lagi bel sekolah berbunyi.

“Han…” Ucap seseorang sambil menepuk pundakku.

“Hey Mar, baru datang kamu.” Ucapku.

Damar adalah sahabatku, dia teman sekelasku dan dia biasa menjadi partnerku dalam membuat project-project baru untuk riset sekolah.

“Teeeeettt…..” 

Bel sekolah telah berbunyi, seketika suasana sekolah menjadi hening, petualangan dunia ilmu siap dimulai.

“Kalian diskusi mengenai kondisi masyarakat Indonesia di era 1945, ditinjau dari bidang pendidikan, sosial dan ekonomi. Setelah itu, beberapa anak silahkan mempresentasikan hasil diskusinya.” Perintah Bapak Umar, guru Sejarah yang sangat berdedikasi tinggi.

Diskusi kelas berlangsung sangat seru, perdebatan dan pertahanan ide kadang memancarkan aura panas dari beberapa siswa. Banyak hal yang bisa aku petik dari pembelajaran hari ini. Era 1945 sungguh diwarnai kehidupan yang tragis, merah putih yang saat ini berkibar dengan gagah di angkasa adalah hasil tetesan darah rakyat di masa itu. Saat ini kita hanya sekedar menjaga supaya merah putih tetap kokoh berdiri. Apa yang sudah aku berikan untuk negeriku? Aku merenung dan tanpa kusadari, setetes air mata telah menghias di pipi.

Aku teringat dengan pidato bung Karno: “Beri aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.” Aku resapi kalimat itu perlahan, begitu kuatkah kekuatan pemuda untuk negeri ini? Oh, aku seorang pemuda tapi aku belum memberikan apa-apa untuk negeriku, padahal aku yakin kalau tanganku ini bisa mengubah negeri menuju kejayaan.

****

“Han, minta tolong ambilkan bukunya ayah di atas meja.” Perintah ayahku yang sedang bersantai di teras.

Aku beranjak ke ruang baca untuk mengambil buku yang dimaksud ayah. Kupandangi buku itu, ternyata mengenai biografi Bapak BJ. Habibie. Buku ini pasti menarik, sedikitnya aku tahu mengenai sepak terjang beliau di dunia IPTEK.

“Ini Yah bukunya.” Ucapku sambil memberikan buku itu. “Apa yang menarik menurut Ayah mengenai buku itu?” Tanyaku pada ayah.

“Sebenarnya buku ini sama seperti buku-buku yang pernah Ayah ceritakan kepadamu sejak engkau kecil.” Ucap Ayah. “Engkau masih ingat kan seperti ilmuwan Jabbir Ibnu Hayyan, Ibnu Sina, Al-Kindi, dan yang lainnya. Apa yang kau ingat tentang mereka?” Lanjut Ayah.

“Iya Yah, Raihan masih ingat masa dimana Ayah bercerita tentang tokoh-tokoh ilmuwan. Mereka sangat luar biasa, memberikan sumbangsih kepada masyarakat melalui temuan-temuan mereka.” Jawabku. “Dan untuk menjadi ilmuwan dibutuhkan suatu ilmu yang tinggi supaya bisa melahirkan karya yang bermanfaat untuk masyarakat.” Lanjutku.

“Kau benar sekali anakku.” Jawab ayah. “Begitu juga dengan Bapak Habibie, beliau dengan ilmunya yang sangat luar biasa, bisa memberikan hasil karyanya untuk negeri ini, yaitu pesawat N250.” Lanjut ayah.

“Raihan ingin seperti mereka. Raihan harus semangat menggali ide-ide baru supaya bisa menciptakan suatu alat yang bermanfaat untuk negeri ini.” Paparku.

“Cita-cita yang sangat luar biasa. Kamu memang harus pintar dan bisa memberikan ide-ide hebat kamu untuk negara karena masa depan negeri ini ada di tangan pemuda tangguh seperti kamu.” Jawab ayah.

Dialog antara aku dengan ayah kali ini memberikan suatu motivasi tersendiri. Aku sangat beruntung, lahir dan besar dalam keluarga yang sangat harmonis, yang memberikan keteladanan padaku dan tidak pernah menuntutku untuk menjadi yang pertama dalam studi di sekolah. Justru dari penanaman motivasi orang tuaku, aku tumbuh menjadi anak yang sadar akan pentingnya ilmu, dengan ilmu aku bisa mengubah dunia.

****

Deadline NYIA (National Young Inventors Award) semakin dekat, prototype masih kurang 30% penyelesaian. Pada riset ini, aku dan Damar dibimbing oleh bapak Tony untuk membuat alat detektor kebutuhan pupuk pada tanaman padi. Penciptaan alat ini terinspirasi dari masyarakat petani di daerahku yang kadang merasa kesulitan dalam penimbangan pupuk untuk kebutuhan tanaman padi. Aku berharap hasil temuanku ini bisa memberikan manfaat bagi masyarakat petani. 

“Coba kalian perkuat lagi sensornya supaya bisa memberikan hasil yang akurat pada penentuan kebutuhan pupuk untuk tanaman padi.” Seru Pak Tony. “Sekarang coba diuji untuk semua parameter.” Lanjut Pak Tony.

“Siap pak..” Ucap aku dan Damar bersamaan.

Aku dan Damar mulai serius untuk mengamati satu persatu parameter yang harus kita ukur. Hal yang sangat biasa dalam suatu riset adalah kegagalan, dibutuhkan suatu kesabaran dan ketelatenan untuk mencapai keberhasilan. Sudah berulang kali aku dan Damar menemukan kegagalan dalam pembuatan detektor pupuk ini, tapi kami tetap semangat untuk terus mencoba.

“Mantap Han, semua parameter yang kita ujikan telah berhasil.” Ucap Damar. “NYIA, I’m coming…” Seru Damar kegirangan.

Kerja kerasku dengan Damar selama tujuh bulan terakhir akhirnya membuahkan hasil, alat detektor pupuk telah berhasil kita ujikan dan siap untuk didemonstrasikan di hadapan juri NYIA-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Semoga alat ciptaanku kali ini bisa memberikan manfaat bagi petani dan mempermudah pekerjaan mereka. Naskah telah aku kirim ke NYIA-LIPI, tinggal menunggu pengumuman selama tiga minggu ke depan.

****

Hari yang mengguncang jantung telah aku tunggu dan akhirnya datang juga, hari ini adalah pengumuman lolos NYIA dan otomatis tim yang lolos akan diundang ke Jakarta untuk mendemonstrasikan prototypenya di hadapan dewan juri. Aku buka website LIPI, berdebar-debar jantungku membaca kata demi kata yang tertulis di website, belum terlihat namaku dan juga nama Damar.

“Nama kita kok belum muncul ya?” Ucap Damar dengan suara bergetar.

“Sabar, kita lihat keseluruhan.” Ucapku sambil terus menggerakkan mouse.

“Oh my God…. Alhamdulillah.” Teriak Damar kegirangan.

Alhamdulillah namaku dan Damar ada di barisan finalis yang diundang ke Jakarta untuk mendemostrasikan hasil karya. Sebanyak 40 finalis diundang untuk mengikuti rangkaian acara besar yang digelar oleh LIPI. Ada suatu keganjilan yang aku temukan di deretan judul riset yang lolos final. Ada satu judul yang menyiratkan bahwa alat yang mereka ciptakan itu memiliki fungsi yang sama dengan alat buatanku. Tim itu juga berasal dari SMA di area Surabaya. Padahal aku sudah searching jurnal-jurnal penelitian, belum ada inovasi untuk alat yang aku ciptakan ini. “Oh, ada apa sebenarnya?” bisikku dalam hati.

Aku melihat aura kegembiraan terpancar dari wajah Damar, aku paham betul dengan karakter sahabatku ini. Damar gampang down melihat kenyataan yang kadang tidak sesuai dengan hatinya. Aku hanya memendam dalam hati mengenai kegelisahanku ini. 

Bel pulang sekolah telah berbunyi, seperti biasanya aku berjalan kaki dari sekolah menuju stasiun. Hanya saat berangkat saja aku naik ojek online, tapi saat pulang aku berjalan kaki untuk pembakaran tubuh. Beberapa langkah dari sekolah, aku terpikir lagi dengan pengumuman lolos final NYIA. Kuhentikan langkahku dan langsung bergegas menuju laboratorium sekolah untuk melihat prototype yang akan aku demonstrasikan minggu depan.

“Oh tidak, sungguh ini tidak mungkin.” Ucapku lirih sambil gemetaran memandang prototype yang tidak aku kenali.

Aku berusaha tenang, aku cek satu persatu alat yang ada di hadapanku, kuperlakukan dia ibarat seorang manusia. Apa yang salah pada alat ini? Aku tak mengenali sama sekali? Apa yang salah dengan diriku? Apakah aku telah amnesia? “Tidak, ini bukan alat ciptaanku bersama Damar.” Bisikku dalam hati.

Kepalaku sempat berkunang-kunang, tak tahu langkah yang harus aku tempuh, padahal pameran sudah minggu depan. Bagaimana juga perasaan dan psikis Damar jika tahu mengenai hal ini. Aku tak tega jika harus berbagi mengenai tragedi ini. Ada apa di balik semua ini? Prototype ini adalah buah karya aku dan Damar di bawah bimbingan bapak Tony. Hanya kita bertiga yang mengetahui prototype ini. Aku dan Damar membawa nama sekolah, lalu apa yang harus aku lakukan? Siapa pelaku di balik kejanggalan ini? Damar? Bapak Tony?

****

Kompetisi bergengsi tingkat nasional yang diselenggarakan oleh LIPI akhirnya mencapai puncaknya, pameran karya dan presentasi hasil riset. Aku dan Damar serta bapak Tony bertolak dari Surabaya menuju Jakarta. Fisik maupun psikis telah aku persiapkan, segenap energi dan peluhku telah aku curahkan untuk riset yang spektakuler ini. Sekarang saatnya demonstrasi di hadapan orang-orang hebat, semoga tak ada kendala, aku pasrahkan semua hasil pada Allah.

“Itu stan kita Han, nomor 36.” Damar sangat antusias melihat stan untuk tim kita. Bergegas kami berdua menghiasnya dengan segala pernak pernik riset kita.

Aku sangat sadar bahwa pemuda yang diundang disini bukanlah pemuda yang biasa-biasa saja, mereka semua pemuda hebat. Kadang terbersit nyali yang ciut tatkala melihat prototype dan judul yang sangat luar biasa. Aku edarkan pandanganku ke semua sisi ruang pameran. “Oh, stan nomor 13” bisikku dalam hati dengan mata agak terbelalak, jantungku berdetak.

Presentasi mahakarya telah berlangsung, hingar bingar suara menghiasi ruangan, tampilan para finalis sangat luar biasa.

“Berikutnya, tampilan dari tim nomor 13 yang berasal dari Surabaya yang akan mempresentasikan hasil karyanya yang sangat luar biasa mengenai alat detektor pupuk untuk tanaman padi. Kepadanya kami persilahkan.” Ucap pembawa acara.

Presentasi berlangsung sangat seru dengan diiringi tangisanku di dalam hati, aku hanya bisa berdoa untuk yang terbaik.

“Han, bukannya itu alat kita.” Ucap Damar kepadaku.

Aku hanya tersenyum tipis.

“Han, jawab aku.” Ucap Damar sambil mengguncang tubuhku.”

“Tenangkan dirimu Damar.” Ucapku perlahan.

Hantaman pertanyaan dewan juri sangat bertubi-tubi untuk tim 13, kadang mereka diam terpaku tanpa bisa mengucap apa-apa. Rangkaian acara terus berlangsung dan tibalah tim kami untuk presentasi dan mempertahankan ide. Sejuta mata memandang ke arah kita, ada sejuta pertanyaan yang terpancar dari sorot mata mereka. Aku sangat paham dengan pertanyaan yang mereka siratkan. Presentasi aku lalui dengan lancar, Damar pun dengan lantang mempertahankan ide-ide tanpa dia tahu bahwa ada plagiator yang menyusup disini.

Puncak acara telah berlangsung dan sekarang saatnya pengumuman para jawara. Suasana hening menyelimuti, tersirat bahwa seluruh finalis melantunkan doa di dalam hati masing-masing. Sebelum pengumuman, salah satu dewan juri menyampaikan sambutannya dan juga suatu kesan mengenai kejanggalan yang ditemui. Oh, sungguh hatiku teriris-iris mendengar ucapan itu. Tak adakah arti dari tetesan peluhku selama tujuh bulan ini? Aku lihat, Damar sudah meneteskan air mata. Aku harus bangkit, aku harus berani mengungkap kebenaran. Aku berlari menghampiri podium.

“Segenap dewan juri yang kami hormati, kami adalah tim nomor 36 yang membawa karya kami yaitu alat detektor kebutuhan pupuk untuk tanaman padi.” Ucapku dengan lantang. “Ijinkan kami mengungkap kebenaran sebagai apresiasi atas mahakarya yang tercipta dari tetesan peluh.” Lanjutku.

“Para dewan juri dan hadirin yang kami hormati, berikut adalah dua alat detektor yang kami bawa. Yang pertama ini adalah alat detektor yang ditukar dengan sengaja dan yang kedua ini alat detektor asli milik kami, yang kami kerjakan selama seminggu akibat tragedi yang menimpah kami. Segenap energi kami kerahkan untuk menyelesaikan alat ini meski harus diiringi dengan tetesan peluh dan air mata.” Ucapku dengan tetesan air mata. Ratusan mata memandang ke arahku, aku lihat Damar memandangku dengan pandangan nanar.

“Sejak kami temukan kejanggalan pada prototype ini, kami mulai melacak dan mengumpulkan bukti-bukti untuk mengungkap kebenaran. Hingga akhirnya kami memperoleh info dari bapak penjaga sekolah, yaitu Bapak Amir. Sekitar sebulan yang lalu, Bapak Amir melihat sosok yang mencurigakan melintas di depan laboratorium ketika sekolah sudah sepi. Terlihat ada seorang pemuda membawa kardus besar menjauhi laboratorium dengan tergesah-gesah dan ada sosok wanita bersamanya. Bapak Amir tidak asing dengan sosok wanita itu karena dia adalah salah satu teman kami, wanita itu adalah Anggun. Ini bukti foto Anggun bersama pemuda itu.” Ucapku sambil menunjukkan foto yang sempat didokumentasikan Bapak Amir. “Memang foto ini tidak begitu jelas, tapi setidaknya bisa menjawab plagiarisme yang terjadi disini dan ijinkan kami untuk menghadirkan Anggun untuk mengungkap kebenaran. Satu hal lagi, alat detektor kami, terlulis huruf RD di bagian bawah sebagai inisial Raihan dan Damar.” Lanjutku.

Suasana kian hening, dewan juri terpaku mendengar orasi dariku. Suasana kian memanas tatkala aku hadirkan Anggun, salah satu teman sekolah kami yang ternyata teman dekat salah satu anak pada tim 13. Anggun menjelaskan semuanya di hadapan dewan juri. Anggun menjadi alat plagiarisme yang dilakukan tim 13, dia melakukan ini dengan alasan cinta terhadap kekasih. Anggun memanfaatkan perasaan Damar untuk menggali informasi mengenai alat detektor kami dan suatu ketika Anggun berhasil menukar alat kami dengan duplikat yang sama tapi palsu. Anggun menjelaskan semuanya dengan tetesan air mata, dia sangat menyesali karena tindakannya adalah sebuah pengkhianatan terhadap hak paten suatu mahakarya. Suasana kian memanas tatkala dewan juri membuktikan kebenaran alat detektor tim 13. Sejenak suasana hening, salah satu dewan juri melangkahkan kaki ke podium dan membacakan suatu analisa yang sangat luar biasa.

“Para peneliti muda, kalian sangat luar biasa. Ide cemerlang dan keberanian kalian dalam suatu kebenaran itulah yang bisa membangun negeri ini. Dari awal seleksi naskah, muncul suatu kejanggalan terhadap dua tim ini karena mereka mengajukan prototype yang sama. Hingga akhirnya keputusan dewan juri mengundang kedua tim ini untuk membuktikan kebenaran yang ada. Kami sangat mengapreasiasi kegigihan tim 36 untuk mengungkap kebenaran atas plagiarisme yang terjadi disini dan kami akan memberikan sanksi kepada tim 13 atas kecurangan yang telah dilakukan. Kami akui bahwa karya ini sangat luar biasa, manfaatnya sangat besar bagi dunia pertanian. Sehingga layak apabila karya ini mendapat penghargaan yang luar biasa pula. Dari ketiga medali emas yang akan kami berikan, salah satu tim penerimanya adalah tim dengan inovator alat detektor untuk kebutuhan pupuk tanaman padi dan tim yang berhak menerima adalah tim dengan nomor 36. Dan dengan tegas kami nyatakan bahwa kami mendiskualifikasi tim nomor 13 atas plagiarisme yang dilakukannya.” Ucap bapak tersebut dengan lantang menggelegar.

Gemuruh suara kebahagiaan campur aduk dengan air mata meledak di keramaian ruang presentasi. Sungguh semua di luar dugaan, perjuanganku bersama Damar selama tujuh bulan ini membuahkan hasil. Memang benar bahwa hasil tidak akan mengkhianati proses dan Allah Maha Tahu atas setiap tetes peluh yang sudah aku keluarkan untuk perjuangan ini. Semoga setetes peluh untuk negeriku bisa memberikan pencerahan masa depan negara.

BekelSego adalah media yang menyediakan platform untuk menulis, semua karya tulis sepenuhnya tanggung jawab penulis.

****

Baca Juga: Logika Pelakor

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button