Seorang pria putus asa tersesat di hutan
Tak ada yang mencari
Untuk membawanya kembali
Di tengah malam hampa ia sering merasa takut
Ketika burung-burung riuh berkicau di atas pohon
Menyesatkannya terbang di antara kabut
Tak ada yang menemaninya bicara
Berjuang melawan pusaran gulita dengan malang
Pria putus asa lenyap dan menghilang
***
Seorang pemuda saat ini tengah berdiri dengan kaki letihnya. Keringat yang membasahi sekujur tubuhnya mempertegas kesan bahwa hasratnya telah tenggelam dalam kesia-siaan. Segerombol angin yang tiba-tiba menamparnya, membuat tubuhnya kembali tersadar dan sedikit bergairah lagi.
Oleh karena ia tak tahu di mana letak makam pujaan hatinya, ia kemudian menatap langit dan mencoba menangkap angin yang berembus. Sembari menajamkan indera penciumannya, pemuda itu berharap jika mungkin saja bersama angin yang berembus, akan tersebar sekelebat wewangian.
Pemuda itu merasa yakin bahwa dari makam pujaan hatinya yang meninggal beberapa hari lalu, pasti masih menyimpan aroma wewangian yang ditebarkan angin ke hidungnya. Hal itu merupakan cara terakhir yang barangkali bisa membantunya untuk meraih hasrat bertemu pujaan hatinya sejak tiba dari negeri seberang.
Wanita pujaan hatinya itu meninggal secara mendadak dan terkesan tidak wajar pada Kamis malam. Kematiannya sempat menggemparkan semua orang. Hingga beritanya tersebar di media cetak maupun elektronik. Saat ini, pihak berwajib masih berupaya mencari penyebab kematian tidak wajar si wanita cantik yang juga dikenal baik hati itu.
Setelah melihat berita kematian wanita pujaan hatinya, pemuda itu bergegas meninggalkan negeri seberang untuk kembali ke kampungnya. Tak lupa ia membawa serta selembar koran yang di dalamnya terdapat berita kematian wanita pujaan hatinya itu. Hanya selembar koran itu yang menghuni tas kecilnya sejak dari negeri seberang, hingga langkahnya sampai ke makam perkuburan sore itu.
Angin terasa bertiup tak menentu, berputar-putar dan sesekali meliuk lincah mengitari petak-petak makam yang terdapat di area perkuburan yang luas itu. Namun, tiupan angin yang tak menentu itu tak kunjung menebarkan wewangian ke indera penciuman, seperti yang diharapkan pemuda itu sebelumnya.
Hari beranjak petang. Cahaya matahari yang tersisa segelintir kala itu tampak meredup di ufuk barat. Suara azan maghrib mulai terdengar sayup, seketika mampu mengisi kekosongan udara yang lembab. Namun pemuda itu belum juga menemukan petunjuk di mana letak makam pujaan hatinya itu berada.
Baca Juga: Sehangat Coklat Panas di Kota Dingin
Sisa-sisa keimanan yang masih mengisi lubuk hatinya, serta-merta menyuruhnya untuk berdoa. Ia pun patuh. Kedua telapak tangannya menengadah, sembari mulutnya komat-kamit melantunkan beberapa potongan ayat yang masih samar diingatnya. Kemudian tiba-tiba hatinya menjadi tenang.
Pemuda itu kembali menatap langit dan mencoba menangkap aroma angin yang kini terasa begitu asing sampai ke indera penciumannya. Dari banyaknya petak makam yang ada, mata pemuda itu menangkap sebuah makam yang begitu indah. Angin semakin gencar menebarkan wewangian ke hidungnya, dan ia yakin wewangian itu pastilah berasal dari sebuah makam yang indah itu.
Meski merasa sedikit merinding, namun dalam lubuk hati pemuda itu telah menaruh keyakinan bahwa makam yang indah itulah yang dicarinya, makam pujaan hatinya. Tiba-tiba pandangan pemuda itu mendadak gelap, tubuhnya ringan dan terasa terhempas ke suatu tempat yang tidak diketahuinya dengan pasti.
Tetes air hujan membangkitkan kesadarannya, bahwa pemuda itu masih belum mati. Matanya masih dapat melihat dan mengenali sebuah makam indah yang mencuri perhatiannya tadi, yang diyakininya sebagai makam sang pujaan hati. Dengan sisa tenaga yang ada, pemuda itu bergegas mendekat untuk mengetuk pintu makam yang indah itu.
Tok..tok..tok..
Pemuda itu menunggu jawaban dengan harap-harap cemas. Namun beberapa saat sudah berlalu, tak ada respon dari dalam makam yang indah itu. Ia tak menyerah, kembali diketuknya pintu makam itu.
Tok..tok..tok..
Masih saja senyap, tak ada respon apa pun dari penghuni di dalamnya. Pemuda itu menjadi sedikit ragu, salahkah dugaannya? Apakah makam yang indah itu bukan milik pujaan hatinya yang telah mati beberapa hari yang lalu? Di tengah keraguannya itu, tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka.
Dari dalam makam yang indah itu, tampak ruangan yang sangat gelap. Pemuda itu nyaris tak bisa melihat apa pun. Namun di tengah-tengah ruangan yang gelap itu, sebuah cahaya terang tiba-tiba muncul dan menyilaukan mata pemuda itu, membuatnya reflek memejamkan mata. Cahaya itu perlahan meredup, si pemuda akhirnya bisa membuka matanya kembali.
Baca Juga: Abstrak
Saat kedua mata pemuda itu terbuka sempurna, ia melihat sesosok wanita cantik memakai gaun merah panjang berhiaskan payet berwarna senada. Rambutnya yang sedikit bergelombang terurai panjang sepinggang. Namun, mata wanita itu syarat akan kesedihan dan kekosongan. Wanita itu tak lain adalah pujaan hati yang sedari tadi dicarinya. Alangkah bahagianya hati pemuda itu. Kini, ia bisa dengan bebas melepas segala kerinduan yang terperangkap di dalam benaknya selama ini.
“Ratna?” panggil pemuda itu.
Namun tak ada respon apa pun dari wanita itu. Ia tetap berdiri tegak pada tempatnya. Hanya pandangannya saja yang terus tertuju pada pemuda itu, dengan tatapan yang kosong.
“Kenapa kau di sini, Ratna? Ayo kuantar pulang!”
Masih tak ada respon apa pun dari wanita itu. Pemuda itu menjadi bingung. Ia pun berusaha mendekat untuk meraih tangan pujaan hatinya itu. Rindunya yang sudah menggunung, tak mampu lagi ia tanggung.
“Kau masih ingat aku, bukan? Kekasihmu.”
“Ya.” Akhirnya wanita itu memberikan respon, meski hanya sepatah kata. Pemuda itu tak menyerah. Ia kembali mengajak pujaan hatinya untuk berbincang. Rasanya sudah lama sekali ia tak mendengar suara wanita itu. Suara yang selama ini begitu dirindukannya.
“Bukankah kau masih mengharapkan aku di hidupmu?”
“Tidak!”
“Lho, kenapa?”
“Tak ada lagi hidup, aku sudah mati.”
“Tetap saja, kita dulu pernah berjanji untuk sehidup semati, bukan?”
Hening. Lagi-lagi tak ada respon dari wanita itu. Keadaan malam semakin senyap. Hanya desiran angin dan beberapa suara serangga malam yang terdengar.
“Jawablah, Ratna! Meski telah lama dan jauh aku berada di negeri seberang, namun cintaku padamu tak pernah sedikit pun berkurang.”
“Omong kosong!”
“Aku tak pernah sekalipun berdusta, Ratna. Tidakkah kau mengingat bagaimana kemesraan yang biasa kita lakukan dulu. Kita masih sering bertemu dan bercumbu rayu, sebelum pada akhirnya aku terpaksa pergi merantau. Itu pun kulakukan semata-mata untuk mempersiapkan masa depan kita. Semua itu masih kau ingat, bukan? Aku yakin kau tak pernah sedikit pun melupakan kenangan kita.”
“Semua itu tak ada artinya lagi bagiku.”
“Lho, kenapa begitu?”
“Cinta Tuhanlah yang lebih berarti dari segala-galanya. Cinta Tuhan pulalah yang pada akhirnya memutuskan hubungan kita. Cinta manusia tak lebih dari menjatuhkan iman, sebelum benar-benar ada ikatan. Dan aku tak pernah tahu menahu apa yang telah kau lakukan selama jauh di negeri seberang. Apakah kau benar-benar merawat benih-benih kesetiaan? Untuk itu, kupikir tak ada gunanya lagi aku bertahan.”
“Maafkan aku, Ratna!”
“Sudahlah, tak ada lagi pintu maaf. Minta maaflah kepada Tuhan!”
Pemuda itu terduduk lemah. Pujaan hatinya telah kembali masuk ke dalam makam. Pintu makam yang indah itu perlahan tertutup. Si pemuda hanya bisa memandanginya dengan perasaan campur aduk. Ia tak bisa mencegah kepergian wanita itu. Semua di luar pemikirannya. Wanita yang selama ini menjadi pujaan hatinya itu, telah berubah. Ia tak bisa berbuat apa-apa sekarang.
Malam semakin pekat. Dingin dari sisa-sisa air hujan semakin melekat. Telinga pemuda itu mendadak berdengung. Tatapannya pun mulai kabur. Angin berembus pelan. Tiba-tiba semuanya menjadi sunyi. Pemuda itu sudah tak sadarkan diri.
Keesokan paginya, saat matahari masih malu-malu menunjukkan sinarnya, seorang petugas penjaga areal perkuburan menemukan sesosok pemuda tengah tergolek lemah di samping makam yang di atasnya dipenuhi rumput-rumput tinggi menjulang. Nisan di makan itu kosong, tak ada identitas yang jelas.
Di samping makam itu, ada sebuah lubang makam baru. Petugas penjaga areal perkuburan itu celingukan menoleh ke kanan, ke kiri, dan ke seluruh sudut areal perkuburan. Dengan sekuat tenaga, petugas penjaga areal perkuburan itu mendorong tubuh si pemuda hingga jatuh terperosot ke dalam lubang makam yang baru.
“Pemuda yang malang.”
Baca Juga: Angin Akhir Tahun
BekelSego adalah media yang menyediakan platform untuk menulis, semua karya tulis sepenuhnya tanggung jawab penulis. |