PuisiSastra

Rindu dan Puisi Lainnya

Pinta Maniak Rindu

 

Pagi hari begitu cerah,

Udara perlahan cukup panas.

Titik-titik hujan sudah malas mengetuk jendela,

Atau membasahi sudut jalan dan kota.

Artinya musim berganti lagi,

Cerita baru sudah menanti.

 

“Tak sabar”, katanya.

Namun lembaran kertas di atas meja enggan membuka lembarnya.

Katanya terlalu banyak maniak rindu,

Diam-diam masih bernegosiasi dengan sang waktu.

Mereka masih rindu dan ingin bertemu.

“Sebentar lagi saja”, pintanya.

 

Bila sudah kenyang bertemu,

Maniak rindu akan mempersilakan waktu membuka lembaran baru,

Tanpa rindu.

 

 

Kembali Bertemu

 

Melihatmu di depan pintu,

Membawaku pada perasaan dahulu.

Satu dari kita pergi,

Terus menghindar tanpa permisi.

Katamu tak cinta lagi.

Sisi-sisi melankolis menahanku kembali,

Enggan bertanya kenapa.

 

Tahun demi tahun tak berjumpa.

Kini aku di sini,

Berbesar hati bahwa takdir ini milik kita.

Berusaha biasa saja,

Tapi ternyata air mata sibuk meronta.

Padahal kelihatannya kamu biasa saja.

Berarti memang hanya aku.

 

Kamu melenggang masuk.

Masih biasa saja.

Sampai akhirnya,

“Hai”.

Napasku pun tercekat.

 

Buku Darimu

 

Sampul sedikit tertekuk,

Ujungnya mulai menguning.

Bau khasnya saat dibuka kesukaanku,

Itulah buku darimu.

 

Saat itu amat kusayang,

Membukanya dengan kehati-hatian,

Menyimpannya di tempat terbaik.

Dipandangi lamat-lamat,

Mengingat kamu saat itu.

 

Kini buku itu sudah bersama buku-buku lain.

Melihatnya sudah tak seistimewa dulu.

Membacanya tak membuatku tersipu,

Atau jatuh cinta karena mengingatmu.

 

Tapi, pesan yang kamu tulis di belakang buku

Tak dapat dihapus, ataupun dibuang.

Catatanku apalagi,

Semakin menyatu dan rasanya sendu.

 

Mengapa aku seperti kembali ke masa itu?

Padahal awalnya bukan ini maksudku.

Bagaimana bila kita kembali bertemu?

Hancurkah semua pertahananku?

Luruhkan tetes air mataku?

 

Kuharap tidak.

Karena sudah sekeras ini usahaku melupakanmu.

 

 

Terbiasa Tak Bersama

 

Harusnya kita yang sudah tak bersama sekian lama membuatku terbiasa.

Tak ada kamu yang menyapaku di daun pintu harusnya bukan masalah besar.

Ha-rus-nya.

Aku malah menangis saat kamu terlihat biasa saja.

Telingaku berdenging mendengar suaramu.

Suara favoritku.

 

Saat tak sengaja bersitatap, rasanya ingin lari saja.

Saat bertemu di suatu tempat, ingin pura-pura tak tahu itu kamu.

Tapi bagaimana?

Kita berada di lingkungan yang sama.

Jarak pandang kita terbatas tembok dan jendela.

Mencoba agar tak terjebak di situasi hanya berdua.

 

Aku mencoba begitu,

Agar terlepas dari kamu.

 

 

Harusnya

 

Hari ini rasanya dingin

Salah satu alasannya karena hujan.

Alasan lainnya tentu karena mengingatmu

Melihat bagaimana manisnya kita dulu.

Rasanya tak nyata,

Saat perpisahan kita hanya berupa pesan yang tidak kamu balas.

 

Harusnya saat itu aku mendatangimu dan bertanya,

Bukan hanya menghujani pikiranku dengan skenario-skenario.

Harusnya saat itu aku terus mengirimkan pesan sampai kau balas.

Harusnya saat itu aku tidak pengecut.

 

Harusnya, harusnya, harusnya.

Kata itu hanya untuk orang menyesal,

Dan itu adalah aku.

 

 

Agar Bukan Kamu Lagi

 

Biarkan waktu ini berjalan lambat.

Dirasakan tiap detiknya,

Diingatkan tiap saat yang dilalui.

Supaya tidak menyesal,

Supaya yang tak terulang tetap ada di ingatan.

 

Maka menangislah dalam penyesalan.

Maka tertawalah akan segala kebaikan.

Syukur saja pun tak cukup,

Terima kasih pun tak semenarik itu.

 

Dan akhirnya hanya ada doa-doa.

Agar waktu setelahnya berjalan baik-baik saja.

Agar tiap tangis adalah bahagia.

Agar tiap peluh dibayar dengan semestinya.

Agar tidak lagi menyesal.

Agar dapat mencintai,

Dan dicintai dengan selayaknya.

 

 

Sudah Cukup, Hati

 

Sepertinya aku rindu sampai memaknai dalam abu-abu.

“Tenang hati, tenang,” rapalku dalam hati.

Mimpi semalam terasa nyata,

Lewat skema-skema yang diharapkan,

Dari doa-doa yang disematkan,

Kuharapkan bahwa tak usah takut lagi.

 

Dari hari-hari yang sepi,

Dalam tangkapan mata yang tak seirama ini,

Ada titik-titik yang kuharap dimulai kembali.

“Pelan-pelan, semua tak selalu sesuai dengan yang kau pikirkan,” bisikku sambil menatapnya.

 

Mungkin sebentar lagi,

Mungkin beberapa langkah lagi,

Dan pastikanlah.

 

Sampai nanti akhirnya ternyata menyakiti hati,

Maka berhentilah.

Berhentilah dari harapan-harapan semu.

Berhentilah dari diam-diam dalam doamu.

Cukup kali ini dan sadarlah.

Dan katakan bahwa,

“Kamu sudah berusaha, hati. Saatnya kamu istirahat”.

 

Baca Juga: HUJAN DI PENGHUJUNG SENJA

BekelSego adalah media yang menyediakan platform untuk menulis, semua karya tulis sepenuhnya tanggung jawab penulis.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button