CerpenSastra

Pamit

Aku menghentikan langkahku di penghujung jalan. Aku jatuh terduduk dengan lemas. Seolah seluruh persendianku tak bisa lagi diajak kompromi untuk melanjutkan langkahku. Sesungguhnya bukan kelelahan tubuh yang  kurasakan, lebih kepada keletihan jiwa. Hatiku lelah menjalani hidupku, lelah memikirkan getirnya kehidupan. Perlahan aku menyeka peluh yang luluh mengalir di keningku. Lalu kucoba menatap di kejauhan, nampak beberapa orang lalu-lalang di jalan kecil ini.

Wajah-wajah yang letih terpanggang matahari demi mengais segenggam beras untuk anak istrinya. Wajah-wajah lelaki perkasa yang seharusnya ceria memikul tanggung jawabnya, namun kegetiran hidup dan sulitnya mengais rupiah di negeri sendiri membuat wajah-wajah itu terlihat kuyu, letih, dan kehilangan asa. Mungkin sudah banyak sekali usaha dilakukannya, mencoba peruntungan seperti sebuah takdir yang harus dijalani semua orang di kota ini. Seperti diriku, mencoba mengerjakan pekerjaan apa saja, kadang pekerjaan yang tidak diperuntukkan untuk wanitapun aku kerjakan.

Aku teringat betapa aku harus menggendong bongkahan batu kali yang sudah terpecahkan untuk kubawa ke dekat truk-truk pengangkut. Tak kupedulikan betapa pedihnya bahuku menahan beban yang sedemikian beratnya, menjelang sore kuterima upahku sebesar lima puluh ribu rupiah, namun dipotong mandor sepuluh ribu, tak apa, aku sadari ada hal-hal yang terpaksa harus kuterima dalam hidup, yang tak bisa kutolak. Aku menerima garis hidup demi membesarkan anakku. Ah, anakku. Tiba-tiba ingatanku melayang jauh kepada anakku yang aku kasihi. Asih, anak semata wayang yang kulahirkan dalam rangkaian sejarah hidupku. Ah, aku tak menyalahkan siapa-siapa. Tidak menyalahkan Tuhan yang mengijinkan kami hidup dalam kemiskinan. Jika anakku, Asih, tidak bisa menerima hidup yang berkekurangan itu, sebagai ibu aku bisa memakluminya. Aku hanya menyesali mengapa aku harus miskin sehingga tak bisa memberikan kelimpahan untuk anakku. 

Aku teringat masa-masa ketika aku menyambut kelahiran buah hatiku itu. Seorang bayi mungil yang sehat tanpa cacat, dengan tangisan yang melengking nyaring dan terdiam ketika kusorongkan puting susuku ke mulut si kecil. Mulut mungil itu bergerak cepat menghisap setiap tetes air susuku. Aku bangga dan terharu bisa memberikan yang terbaik dari hidupku. Air susu ibu yang memberi kehidupan. Kuelus kepala anakku dengan penuh sayang. “Cepatlah besar, Nak. Ibu ingin melihatmu menjadi anak yang pintar dan sehat. Bahagiamu adalah bahagia ibumu juga.” Bisikku pelan. Dan ketika teriakan putriku itu menggelegar memekak telinga, “Berikan aku uang, Ibu! Aku butuh! Dengar tidak?!”

Aku tersentak. Sekuat itukah suaranya sekarang? Aku hanya bisa mengelus dada. “Uang? Bukankah uang itu ditabung untuk biaya sekolahmu, Nak? Ibu mengumpulkan sepeser demi sepeser supaya kamu bisa jadi orang pintar.”

“Ah. Aku tak peduli, Bu. aku tidak mau jadi orang pintar. Di negeri ini orang bodoh juga bisa hidup, asal punya uang banyak, sini uangnya!”

Sekuat apapun aku mempertahankan uangku, tak urung aku kalah kuat dibanding anakku, Asih. Bayi yang pernah kususui dengan penuh cinta kini bertumbuh kuat dan sehat. Kaki dan tangannya penuh tenaga mendorong dadaku yang tirus, hingga aku jatuh terduduk tanpa bisa melawan. Kuserahkan genggaman uang yang kuikat dengan karet gelang, kuserahkan dengan terpaksa, lalu terseok-seok aku melangkah meninggalkan putriku, putriku yang sudah berubah tega karena terkotori oleh kemajuan jaman, putriku yang tak lagi menghargai sebuah perjuangan, putriku yang sudah kehilangan keteladanan manakala matanya hanya tertuju pada kemapanan, kelimpahan, kenyamanan yang bisa diraih segelintir orang tanpa kesulitan. Jaman yang berbeda dengan jamanku, jaman yang mewarnaiku penuh tekanan, getir, pahit dan kejam, semua orang melangkah terseok untuk menggapai sesuatu, semua tangan menengadah dalam doa, sabar menanti pertolongan Yang Kuasa, aku tak pernah bisa mengucap sebuah permohonan kepada orang tuaku manakala buku tulisku hampir habis, karena aku harus mengais mengaduk-aduk tempat sampah sambil menahan harap adakah sebuah buku tulis tak terpakai yang tak sengaja dibuang sang empunya? Jika aku menemukannya, hatiku bersorak bagaikan menemukan bongkahan emas murni. Mengapa aku melakukan itu? Karena orang tuaku tak mampu membelikan buku tulis untukku, setapak demi setapak aku mencoba menempuh perjalanan pendidikanku, hingga langkah itu harus terhenti di penghujung kelas 5 Sekolah Dasar. Aku sudah besar, tak pantas lagi aku bersekolah, aku sudah dipandang layak untuk melakukan pekerjaan yang sama seperti orang tuaku, seperti saudara-saudaraku, seperti orang-orang di sekelilingku, menjadi seorang pemulung. Itu permulaan profesiku, hingga tahun-tahun ke depan seiring bertambahnya usiaku, aku mencoba merambah ke berbagai bidang pekerjaan, kasar dan sederhana tentunya, aku melakukannya demi sebuah kehidupan. Kehidupan yang kuimpikan dimana segala kecukupan aku bisa rasakan, kecukupan yang mengalir dari tempat Maha Tinggi yang kadang terlalu ajaib untuk aku pikirkan, bagaimana mungkin aku wanita renta dan rapuh ini bisa mengecap kebahagiaan dan berucap syukur hanya karena mendapatkan sebungkus nasi dan sepotong tempe dengan hanya menukar dengan beberapa recehan rupiah saja? Aku bisa bahagia karena aku berani mengatakan itu cukup buatku. Aku kadang heran kenapa Asih, anakku tak bisa berucap seperti aku?

Aku menyeka air mataku yang terus mengalir di pipiku yang mulai penuh kerutan. Ketika hujan turun setetes demi setetes, lalu semakin deras, perlahan aku mengulurkan jemariku, mencoba meraih dan merasakan kesejukan air hujan. Lalu perlahan bibirku berbisik, “Anakku, jika engkau melihat hujan turun, cobalah untuk menghitung setiap tetesan air yang jatuh. Sebanyak itulah ibu bersyukur memiliki kamu, Nak.”

Kembali aku melanjutkan langkahku. Entah harus ke mana aku sekarang ini. Dengan berat mengayunkan kakiku. Hatiku sakit bagai teriris belati tajam. Tidak ada yang lebih diinginkan seorang wanita kecuali diberikan kesempatan untuk memiliki dan menyayangi seorang anak. Tuhan telah mengabulkan keinginanku. Tuhan telah memberi Asih kepadaku. Hanya Tuhan yang tahu besarnya cinta dan kasih sayang yang kumiliki pada Asih. Seluruh kehidupanku adalah anakku. Aku rela memberikan segala yang kumiliki untuk kebaikannya. Aku rela melakukan apa saja yang diperlukan agar anakku bisa mendapatkan hidup yang layak. Dan persis itu pulalah yang tidak mampu aku berikan padanya. Kehidupan yang layak. Kemiskinan menghantui kami bagaikan wabah penyakit yang tidak kenal belas kasihan. Aku tidak bisa memberikan kekayaan seperti orang tua lain. Tapi aku mampu memberikan bekal-bekal kehidupan yang bisa ia gunakan ketika ia dewasa kelak. Bekal kehidupan yang akan bisa membawanya menuju kehidupan yang lebih baik. Jauh lebih baik dari yang bisa aku berikan sekarang ini. Rasanya tiada habis nasihat yang selalu aku berikan padanya sejak Asih kecil.

“Kerja keras, Asih. Doa dan kerja keras akan membawamu ke tempat mana pun yang kau inginkan,” Aku berkata padanya, “Peliharalah kerendahan hati, jangan sombong. Berapapun pendapatan yang kau terima di pekerjaanmu nanti, terima dengan penuh syukur. Selalu bersyukur dalam segala langkah hidupmu, maka Tuhan akan selalu melimpahimu dengan rejeki.”

Baca Juga: Sehangat Coklat Panas di Kota Dingin

Air mataku kembali mengalir. Anakku yang paling kukasihi lebih dari apapun di dunia ini. Betapa mudahnya kau menepis semua nasihat ibumu dan menganggapnya hanya angin lalu. Tapi aku tidak pernah dan tidak akan pernah membencimu, Nak. Cukup kuelus dada ini, menelan rasa kecewa yang menyesak di hati. Berdoa dalam hati agar Tuhan bisa membukakan hati dan mata anakku. Berdoa agar anakku bisa berubah dan bisa melanjutkan hidupnya dengan penuh kebahagiaan.

Masih teringat jelas di ingatanku, hari-hari yang indah dimana kami sering duduk berdua di teras rumah ketika matahari mulai terkantuk-kantuk. Asih duduk di anak tangga dengan buku cerita di tangannya yang mungil. Membacakan isi buku cerita itu padaku, sementara aku menyisir rambutnya yang halus nan panjang perlahan. Suara mungilnya terbata ketika ia menemukan kata sulit di dalam buku itu. Matanya yang bersinar indah, menatapku dengan penuh keingintahuan, dan aku dengan sabar menjelaskan apa arti kata sulit itu padanya. Senyum lebar mengembang di wajahnya ketika ia akhirnya mengerti. Kepalanya kembali tertunduk, berkonsentrasi untuk meneruskan bacaannya.

“Nanti Asih sudah besar, Asih akan menjadi orang pintar dan kaya, bu.” Asih kecil pernah berkata seperti itu padaku, “Ibu tidak perlu lagi lelah bekerja seperti sekarang ini. Semuanya Asih yang membiayai.” Ia bergelantungan di lenganku. Ocehannya membuatku tak kuasa menahan senyum. Anakku yang lucu, anakku yang cantik, anakku yang pintar. Entah apa yang membuatnya berubah seperti ini. Aku tahu dari dulu ia anak yang pintar. Asih tidak pernah mengalami kesulitan yang berarti di sekolahnya. Hanya ketika ia menginjak bangku SMA, ia mulai berubah. Ia tidak lagi giat belajar seperti dulu. Pemikirannya mengenai apa yang benar seakan mulai bergeser.

Apa yang bisa aku lakukan sekarang? Seluruh tubuhku seakan ikut meluluh mengikuti rasa sakit di hatiku. Asih sudah cukup besar sekarang. Aku tidak bisa lagi memaksakan kehendakku padanya. Tidak bisa lagi menghukumnya apabila ia melakukan kesalahan. Aku hanya bisa memberikan nasihat padanya. Nasihat yang kuharap dapat ia terima dan ia jadikan bekal untuk masa depannya kelak.

Langkahku terhenti di persimpangan jalan. Tak terasa, hujan tidak lagi turun. Aku menengadahkan kepalaku, menatap langit malam.

“Tuhan, dengarlah doaku, jaga selalu anakku, jauhkan ia dari segala marabahaya dunia ini.” Bisikku dalam hati. Mataku terpejam, kuhirup udara segar malam dalam-dalam. Entah mengapa, hati ini mendadak damai. Seakan beban yang selama ini kupikul, terangkat begitu saja. Mungkin ini cara Tuhan menenangkan jiwa hamba-Nya. Kuserahkan masa depan Asih di tangan-Nya. Hanya itu yang bisa aku lakukan sekarang. Hanya itu yang seorang ibu mampu lakukan untuk anaknya.

Baca Juga: AMAZING SARAH AND HER LITTLE THINGS

Kembali aku mengayunkan langkahku. Keningku berkerut sesaat melihat sinar yang sangat terang tiba-tiba muncul di hadapanku. Hanya untuk sesaat aku menyadarinya, sampai aku merasa tubuhku melayang tinggi, sempat aku mendengar seseorang menjerit. Tapi aku seakan tidak peduli. Jiwaku perlahan melambung ke langit, diketinggian.

Semuanya terjadi begitu cepat. Orang-orang sibuk berlari ke sana dan ke mari. Sebuah kendaraan berhenti di depan tiang listrik, dengan bagian depannya yang penyok dan mulai berasap. Aku berdiri di tengah kerumunan orang yang ingin tahu. Saling berbisik, saling menceritakan kejadian yang baru saja terjadi. Dari bisikan-bisikan itu, aku mengetahui kalau sebuah kendaraan sedang melaju kencang dan menabrak seorang wanita, sebelum pada akhirnya kendaraan itu oleng dan menabrak tiang listrik. Aku mengalihkan pandanganku pada seorang pria yang terduduk di aspal sambil menekan kain basah bernoda merah di kepalanya. Tidak jauh dari situ ada beberapa paramedis yang sedang mengangkat tubuh seorang wanita yang tidak bernyawa lagi. Kakiku bergerak mendekati paramedis yang sedang sibuk bekerja itu. Keningku berkerut. Tanganku terulur, ingin mengetahui siapa korban wanita itu. Tapi jeritan seorang gadis di kerumunan belakang menghentikanku. Semua orang menoleh termasuk aku. Seorang gadis menjerit histeris seraya menyeruak kerumunan. Memaksa untuk mendekat. Dan nafasku tercekat seketika. Gadis itu adalah Asih. Gadis itu adalah anakku sendiri. Air matanya berderai dengan jeritan histeris yang mampu membuat siapapun yang mendengarnya teriris hatinya.

“Ibu!” Ah, teriakan itu, aku pernah mendengarnya tatkala dia terluka, tatkala dia ketakutan akan gelap, tatkala dia melihatku pulang dari mengais rupiah. Betapa aku merindukan suara itu. Terlalu lama, Asih, terlalu lama tak kudengar suaramu yang mengkuatirkan ibumu, nak. Aku mencoba mengulurkan tangan untuk mengelus rambut anakku, merengkuhnya dalam pelukanku, namun aku tak menyentuh apapun, ringan dan hampa. Sejenak aku terkejut, entah mengapa seperti ada batas antara hiruk pikuk itu dan aku yang berdiri tak jauh dari mereka. Aku berteriak, aku meminta pertolongan dalam ketakutanku, aku seperti terkurung dalam nuansa yang tak kumengerti.  “Asih, Ini ibu, nak. Lihatlah ibu, Asih. Lihatlah!” Aku mencoba menggapai Asih, tak juga dia bereaksi, Asih sibuk memeluk tubuh wanita yang mirip denganku, wanita yang berlumuran darah di sekujur tubuhnya, yang terdiam membeku seolah tak peduli dengan semua yang terjadi. Anakku menangis meraung-raung sambil memeluk wanita itu.

Perlahan aku mendekat, siapakah wanita itu? Asih terlihat begitu sangat mencintainya. Ah, parasnya mirip denganku, kerutan di dahinya juga menggambarkan kerutanku, wajah yang lelah. Wajah yang lusuh, akukah itu? Kuusap wajahku, kuraba degup jantungku. Sunyi, semua tiba-tiba tak bersuara. Tak ada lagi detak di nadiku. Aku tahu, aku tahu. Itu jasadku. Anakku memeluk jasadku, kupejamkan mataku, mencoba menikmati pemandangan mengharukan itu, “Ibu bisa merasakan cintamu, anakku, tak ada kata yang terlambat. Biarkan aku menikmati kasihmu, air matamu dan semua rasa kehilanganmu.” Kuusap kepala Asih perlahan lalu kubisikan kata, “Ibu pamit, Nak. Ibu selalu menyayangimu, ingatlah kasih ibu itu seperti embun pagi, seperti angin, seperti musim yang selalu datang menepati janji, seperti itulah cinta ibu selalu untukmu.”

 

Baca Juga: Getaran Hati Dalam Pena

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button