Pendidikan

Memahami 3 Poin Penting Pemikiran Ki Hajar Dewantara Terhadap Sistem Pendidikan Indonesia

Pemikiran Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan memberikan harapan baru untuk kemajuan bangsa Indonesia, bukan hanya pada masa awal kemerdekaan, masa kemerdekaan, dan masa pasca kemerdekaan; tetapi juga ketika bangsa ini mengalami carut-marut pendidikan pada masa sekarang.

Ki Hajar Dewantara atau Raden Mas Suwardi Suryaningrat, putra dari Pangeran Suryaningrat, cucu dari KGPAA Paku Alam III, adalah satu di antara putera terbaik bangsa yang berupaya menjalin dan menyambung kembali peradaban bangsa Indonesia melalui gerakan pendidikan dengan Perguruan Nasional Taman Siswa atau Nationaal Onderwijs Instituut.

Ki Hajar Dewantara melalui pemikiran-pemikirannya, meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional yang bercirikan kebangsaan dan kebudayaan nasional. Dia berupaya membangun kembali kesadaran bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, bermartabat, dan berperadaban tinggi setara dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

Dialah Bapak Pendidikan Nasional yang pemikiran-pemikirannya patut dipertimbangkan kembali untuk mengatasi carut-marut pendidikan nasional pada era globalisasi sekarang ini.

Baca Juga:

Budaya Indonesia harus diwariskan kepada generasi yang akan datang

Ki Hajar Dewantara melihat pendidikan dengan perspektif antropologis, yaitu bagaimana warga masyarakat meneruskan warisan budaya kepada generasi berikutnya dan mempertahankan tatanan sosial.

Tentang hal ini Ki Hajar menyatakan bahwa “pendidikan adalah tempat persemaian segala benih-benih kebudayaan yang hidup dalam masyarakat kebangsaan”. Dengan demikian, segala unsur peradaban dan kebudayaan tadi dapat tumbuh dengan sebaik-baiknya dan dapat diteruskan kepada anak cucu yang akan datang.

Ki Hajar Dewantara bukanlah seorang yang terjebak dalam romantisme kejayaan masa lalu yang hanya memikirkan pewarisan budaya melalui pendidikan. Kalaupun aspek ini ditekankan oleh Ki Hajar, penyebabnya adalah anak-anak bangsa ini pernah mengalami dan merasakan sebagai generasi yang hilang. Ki Hajar memandang penting pewarisan budaya ini sebagai cara menyambung kembali peradaban bangsa yang pernah terdistorsi.

Ki Hajar juga nemikirkan kemajuan budaya bangsa yang harus selalu bertumbuh. Menurut Ki Hajar, pendidikan merupakan proses akulturasi budaya, dalam pengertian, masyarakat tidak hanya menyerap warisan budaya tetapi juga memadu-kan berbagai unsur budaya tanpa menghancurkan unsur inti atau tema utama kebudayaan, dalam hal ini kebudayaan nasional (Cultureel Nationalisme).

Ki Hajar Dewantara (1964:19) memunculkan Asas Tri-Kon, bahwa pertukaran kebudayaan dengan dunia luar harus dilakukan secara Kontinuitet dengan alam kebudayaannya sendiri, lalu Konvergensi dengan kebudayaan-kebudayaan lain yang ada, dan akhirnya, jika sudah bersatu dalam alam universal, bersama-sama mewujudkan persatuan dunia dan manusia yang Konsentris. Konsentris berarti bertitik pusat satu dengan alam-alam kebudayaan sedunia, tetapi masih tetap memiliki garis lingkaran sendiri-sendiri. Inilah suatu bentuk dari sifat Bhinneka Tunggal Ika.

Ki Hajar Dewantara sangat arif dalam menyikapi pengaruh budaya Barat, dia menganjurkan untuk bersikap selektif terhadap unsur budaya Barat. Dia menyadari bahwa dia pernah mengenyam pendidikan Barat, baik ketika di ELS (Sekolah Dasar untuk orang Eropa) maupun ketika mengalami masa pembuangan di Belanda bersama dua sahabat karibnya, Dr. Douwes Dekker dan dr. Cipto Mangunkusumo.

Bahkan menurut kesaksian Bambang Sukawati Dewantara, dalam bukunya yang berjudul “Mereka yang Selalu Hidup: Ki Hajar Dewantara dan Nyi Hajar Dewantara”, dituliskan bahwa Ki Hadjar Dewantara, yang pada waktu itu bernama Raden Mas Suwardi Suryaningrat, sangat senang ketika mendengar kabar dari ayahnya, Suryaningrat, bahwa dia diperbolehkan masuk ELS atas ijin dari Meester Abendanon.

Pendidikan nasional harus dapat mengangkat derajat negara dan rakyat

Ki Hajar Dewantara memiliki pemikiran bahwa pendidikan nasional harus berdasarkan pada garis hidup bangsanya dan ditujukan untuk keperluan peri kehidupan, yang dapat mengangkat derajat negeri dan rakyatnya, sehingga bersamaan kedudukan dan pantas bekerjasama dengan lain-lain bangsa untuk kemuliaan segenap manusia di seluruh dunia. Pemikiran ini menunjukkan bahwa Ki Hajar Dewantara adalah seorang yang sangat menghargai pluralisme atau kemajemukan. Dia juga seorang yang berpikiran futuristik.

Sistem pendidikan nasional yang digagas Ki Hajar Dewantara 50-an tahun yang lalu adalah sistem pendidikan yang tanggap dan mampu menjawab tatanan dunia yang mengglobal, yang dipacu oleh proses pemisahan waktu dari ruang.

Pembebasan waktu dan ruang yang oleh Giddens (1990) dan Sastrapratedja (2001) disebut sebagai disembedding merupakan faktor dari proses modernisasi dan membawa implikasi pada universalisasi yang memungkinkan jaringan global berbagai hubungan antarbangsa melintasi ruang dan waktu.

Apa yang terjadi pada masa sekarang ini tampaknya sudah diprediksikan oleh Ki Hajar Dewantara sehingga dalam konsep pendidikan nasional yang digagasnya diusulkan asas Tri-Kon, yakni kontinuitetkonvergensi, dan konsentris. Asas ini dimaksudkan sebagai cara untuk mengubah paradigma dan pola berpikir dalam menyikapi kemajemukan budaya nasional maupun internasional melalui pendidikan dan pengajaran.

Wawasan kemajemukan ini membuka peluang bagi berkembangnya sikap toleran, inklusivisme, dan non-sektarianisme yang merupakan wujud konkret dari Bhinneka Tunggal Ika.

Utamakan pendidikan budi pekerti

Ki Hajar Dewantara juga memandang penting pendidikan budi pekerti. Menurut dia, pendidikan ala Barat yang hanya berorientasi pada segi intelektualisme, individualisme, dan materialisme tidak sepenuhnya sesuai dengan corak budaya dan kebutuhan bangsa Indonesia.

Warisan nilai-nilai luhur budaya dan religiusitas bangsa Indonesia yang masih dihidupi dan dijadikan pedoman hidup keluarga-keluarga di masyarakat Indonesia harus dikembangkan dalam dunia pendidikan. Nilai-nilai luhur tersebut memperlihatkan kearifan budi pekerti yang memperlihatkan harkat dan martabat bangsa.

Pendidikan dalam konteks pemikiran Ki Hajar tidak cukup hanya membuat anak menjadi pintar atau unggul dalam aspek kognitifnya. Pendidikan haruslah mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki anak seperti daya cipta (kognitif), daya rasa (afektif), dan daya karsa (konatif). Pendidikan juga harus mampu mengembangkan anak menjadi mandiri dan sekaligus memiliki rasa kepedulian terhadap orang lain, bangsa, dan kemanusiaan. Dengan demikian, pendidikan akan mampu membawa anak menjadi seorang yang humanis dan lebih berbudaya.

Baca Juga:

Sebagai suatu bangsa, Indonesia memiliki sejarah yang sangat tua, bahkan lebih tua dari bangsa adi daya seperti Amerika dan Australia. Peradaban bangsa Indonesia telah mulai bertumbuh semenjak pada Abad ke-4 sesudah Masehi. Bangsa Indonesia dalam perspektif historis pernah mengalami distorsi peradaban selama 350 tahun akibat penjajahan Belanda sehingga mengalami kemunduran dalam berbagai segi.

Ki Hajar Dewantara atau Raden Mas Suwardi Suryaningrat, putra dari Pangeran Suryaningrat, cucu dari KGPAA Paku Alam III, adalah satu di antara putera terbaik bangsa yang berupaya menjalin dan menyambung kembali peradaban bangsa Indonesia melalui gerakan pendidikan dengan Perguruan Nasional Taman Siswa atau Nationaal Onderwijs Instituut.

Baca Juga: Revitalisasi Pendidikan: Menggabungkan Teknologi dan Inovasi untuk Masa Depan

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button