Sudah tiga bulan kita tidak bertemu meski hanya lewat video call atau pesan teks saja rasanya belum cukup untuk menenangkan hati yang dipenuhi rindu. Mungkin ini rasanya bagi setiap pasangan yang menjalani hubungan jarak jauh.
Setelah aku menjemputnya di bandara, dia mengajakku untuk makan siang selain keinginan hati yang harus dituruti dengan bertemu perut juga harus dituruti dengan makan dan minum agar seimbang katanya. Aku terkekeh mendengarnya, dia selalu punya humor yang bisa membuatku tertawa.
Sesampainya di pantai, aku melihatnya berbeda saat kita makan siang tadi. Dia mulai dingin dan sibuk memainkan handphonenya. Perasaan gelisah terlihat di wajahnya ketika dia memulai percakapan.
“Din, aku mau bicara sesuatu.”
Aku diam memperhatikan ucapan selanjutnya.
“Kita cukup sampai di sini aja ya.”
“Maksudnya sampai di sini, apa?”
“Hubungan kita berakhir, maaf aku sudah tidak bisa melanjutkan hubungan ini lagi.”
“Kamu bercanda kan? Gak lucu ahh bercandanya.”
“Aku serius.”
“Kenapa? Kenapa harus berakhir?”
“Aku tidak sanggup untuk menjalani hubungan jarak jauh seperti ini. Sangat sulit untuk aku lakukan dari pada kita terus menerus salah paham, sering bertengkar karena hal-hal kecil. Semua ini membuat aku merasa tidak nyaman lagi, aku capek menjalani hubungan seperti ini.”
“Apa kita tidak bisa perbaiki hubungan ini? Mungkin kamu hanya lelah aja.”
“Apa kamu sedang dekat dengan orang lain?” lanjutku.
“Tidak ada.”
“Apa sulitnya untuk jujur?” Nadaku meninggi.
“Maafkan aku. Jaga diri baik-baik, ya.” ucapnya membalikkan badan dan berlalu pergi.
Aku membiarkannya pergi karena aku rasa itu lebih baik dari pada kita bertengkar, justru yang ada malah merusak semuanya. Hari yang saat itu cerah kini berubah mendung dan pekat, seakan mendukung situasi yang terjadi saat ini. Hatiku hancur melihat kepergiannya, laki-laki yang aku cintai kini tega menghancurkan hatiku. Aku melihatnya berjalan semakin jauh hingga tak terlihat lagi, dia yang pergi tanpa memikirkan perasaanku.
Air mata sudah tidak bisa dibendung lagi, kini mengalir deras membasahi pipi dan wajahku. Aku menjatuhkan tubuhku ke tanah, seakan tidak kuat dengan apa yang sedang terjadi hari ini. Rintikan hujan berjatuhan semakin lama semakin deras, aku masih menangis terisak seakan tidak peduli dengan hujan yang kini mulai membasahi tubuh. Tangisan yang semula terisak berubah menjadi keras.
“Kenapa kamu tega ninggalin aku? Di saat aku benar-benar percaya sama kamu, di saat aku benar-benar yakin sama kamu. Kenapa kamu hancurin semuanya? Kenapa? Apa salahku?”
Aku menutup wajahku dengan kedua tangan, tangisanku pun semakin keras, rasa sakit yang sudah tidak bisa kutahan. Teringat setiap kenangan antara aku dan dia. Kenangan yang membuat kita pernah bahagia bersama. Dia yang selalu ada di setiap hariku kini tega meninggalkanku entah karena apa. Sekarang kenangan itu benar-benar sudah menjadi kenangan yang harus aku lupakan.
“Reza…” ucapku saat merasa ada seseorang yang memayungiku.
Ternyata setelah kulihat bukanlah Reza. Tetapi Fery, teman sekelasku di kampus.
“Din…”
“Fer…kamu kok bisa di sini?”
“Aku tadi sempat ke rumah kamu tapi kata ibumu kamu ke sini, jadi aku ke sini.”
“Apa kamu lihat semuanya?”
“Maaf Din, aku lihat semuanya. Tadinya aku ingin samperin kamu tapi gak jadi nunggu momen yang tepat.”
Aku terdiam meskipun masih menahan isakan.
Hujan mulai mereda, awan hitam berganti menjadi putih bersama langit biru. Cantik sekali, begitu pun matahari yang masih memancarkan cahayanya tapi tidak bagiku yang merasakan terpuruk dan tergores luka ini.
“Lihat Din, tadi hujan sekarang berganti cerah kembali. Cantik ya, langitnya.”
Aku memandang langit yang Fery ucapkan.
“Saat aku melihatmu tadi aku kagum denganmu.”
“Kagum, kenapa?”
“Aku kagum denganmu, karena kamu bisa menghadapi ini semua dengan cara yang dewasa. Din, kita tidak pernah bisa memaksakan seseorang untuk selalu ada di sisi kita. Sebaik apapun kamu mempertahankan seseorang itu, namun ketika dirinya meminta untuk melepaskan dan kamu melepaskan itu adalah cara mencintai dengan tulus.”
“Aku masih gak ngerti kamu ngomong apa?”
“Reza kan, laki-laki yang kamu pertahankan tapi dirinya meminta untuk terlepas dan kamu melepaskannya walau kamu merasakan sakit yang harus kamu tanggung karena menerima permintaannya, itu adalah cinta tulus yang kamu berikan untuknya Din. Aku tahu kamu melepaskannya karena ingin dia bahagia kan?”
Air mataku mengalir lagi. Aku sudah tidak bisa menahannya keluar dari kelopak mata. Fery mencoba menenangkanku. Tangisanku semakin lama semakin keras. Rasa sakit yang kini mulai menjalar ke seluruh tubuh.
“Menangis lah Din, menangis lah sepuasmu setelah itu cukup untuk tidak menangis lagi. Kamu harus bangkit, meski kamu terjatuh kamu harus bangkit lagi. Masih ada rintangan di depan sana yang harus kamu lalui. Semua akan baik-baik saja Din, sudah ya tenangin diri kamu.”
“Kepergian Reza memang menyakitkan bagi kamu, tapi jadikan itu sebagai pelajaran Din. Bahwa untuk apa kita memaksakan seseorang untuk selalu ada di sisi kita tapi semesta tidak mengizinkan dia untuk ada bersama kita. Sudah ya Din, jangan menangis lagi hanya untuk hal seperti ini, kamu harus bangkit Din. Buktikan kalau kamu bisa tanpa dia.”
Mendengar ucapan Fery, membuatku tersadar bahwa apa yang dikatakan Fery benar. Aku menyeka air mata dan mulai bangkit kembali. Terlihat bentuk garis lengkung di wajahku.
Za, aku sangat mencintaimu tapi aku harus berbuat apa ketika kamu meminta lepas dariku. Aku bisa apa ketika kamu meminta pergi hanya itu yang bisa aku berikan. Menerima keputusan kamu, aku tahu ini rasanya sangat menyakitkan, sungguh sangat menyakitkan untukku. Tapi aku ingin kamu bahagia, mungkin dengan cara aku melepasmu, kamu akan menemukan seseorang yang kamu harapkan dan melepaskanmu adalah caraku mencintaimu dengan tulus. Aku ikhlas kamu pergi. ucapku dalam hati.
“Makasih ya Fer, makasih kamu selalu ada buat aku.”
“Iya Din, sama-sama.”
Aku dan Fery menikmati senja ditemani suara deburan ombak pantai. Senja selalu menjadi sebuah pertanyaan untuk hari esok, mau apa kita setelahnya? Adakah sesuatu yang harus dikejar atau diselesaikan? Semua itu hanya kita yang tahu jawabannya. Bersama senja kita belajar untuk bisa menerima dan mengikhlaskan sesuatu yang datang dan pergi, sesaat menghampiri dan kemudian berlalu pergi.
Za, aku sudah tidak akan menangisimu. Meskipun entah nanti aku menangisimu. Aku berharap tangisanku bukan tentang kesedihan tapi karena aku bahagia pernah ada bersamamu, aku pernah mengukir kisah denganmu, dan aku pernah menjadi yang tercinta dalam hatimu. Aku bahagia pernah memilikimu.
Kini saatnya, aku harus menerima dan mengikhlaskan semua yang sudah terjadi di antara kita. Terima kasih sudah pernah mengisi hari-hariku, terima kasih pernah menjadikanku cinta yang ada dihati kamu, terima kasih sudah menyayangiku dan mencintaiku.
Langit sudah mulai gelap, aku dan Fery memutuskan untuk pulang tapi aku membawa pikiranku yang sedikit mengganggu dengan sebuah pernyataan yang Fery berikan padaku.
Baca Juga: Doa Sepatu Butut
BekelSego adalah media yang menyediakan platform untuk menulis, semua karya tulis sepenuhnya tanggung jawab penulis.