Lebaran dan Budaya Konsumerisme Berlebihan di Masyarakat, Antara Tradisi dan Tren!

Tidak lama lagi, Lebaran atau Hari Raya Idulfitri yang senantiasa dinanti oleh umat Muslim, akan tiba. Idulfitri dimaknai sebagai hari kembalinya kesucian diri dan kemenangan bagi umat Islam, khususnya bagi yang telah menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan selama sebulan penuh.
Secara normatif, Lebaran merupakan tanda bagi tiga hal.
Esensi lebaran sesungguhnya
Secara normatif, Lebaran merupakan tanda bagi tiga hal.
- Sebagai bentuk ungkapan syukur atas segala nikmat dan karunia selama satu tahun penuh yang telah diberikan Allah Swt.
- Sebagai tanda telah genap dan sempurnanya jumlah hitungan hari puasa di bulan Ramadhan.
- Sebagai bentuk pengagungan Asma Allah. Hal ini sesuai dengan ayat Al-Qur’an yang berbunyi: “dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS 2: 185)
Ayat di atas jelas mengkonfirmasi bahwa tujuan utama Idulfitri adalah sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah atas nikmat Ramadhan yang telah dianugerahkan kepada kaum muslimin. Sebagai perwujudan rasa syukur maka menjelang Lebaran terdapat kewajiban membayar zakat bagi yang mampu, dan juga infak serta sedekah bagi yang berlebihan.
Tradisi ini di sebagai bentuk kepedulian sosial yang tinggi kepada kaum dhuafa, agar dapat berlebaran seperti yang lainnya. Itulah esensi Lebaran yang sesungguhnya.
Baca Juga:
Pergeseran makna lebaran di masyarakat
Namun kini, budaya Lebaran sepertinya tidak lagi sesakral yang diharapkan oleh Allah Swt. Esensi peringatan Hari Raya Idulfitri yang agung, kian hari mulai pudar dan cenderung mulai jauh dari nilai-nilai keislaman. Tradisi Idulfitri dirasakan sebatas ungkapan makna semata tanpa nilai semestinya. Tradisi hura-hura dan berlebihan dalam menyambut hari raya ini telah menambah kesan hilangnya esensi Idulfitri yang sesungguhnya.
Kita bisa lihat setiap menjelang hari Lebaran, tingkat konsumsi masyarakat naik tajam. Seluruh pusat perbelanjaan seperti mal, supermarket, swalayan, pasar dan lainnya membludak tajam dipenuhi pengunjung. Mereka berbelanja barang barang kebutuhan Lebaran dari barang kebutuhan pokok, baju, celana, dan kue dan lain sebagainya. Mereka seakan tidak peduli dengan berapa biaya anggaran yang harus dikeluarkannya, demi sebuah lebaran semata.
Meningkatnya biaya konsumsi khusus di hari-hari menjelang Lebaran ini, mungkin tidak terlalu berpengaruh bagi kalangan menengah ke atas, namun bagi kalangan menengah ke bawah, apalagi kaum miskin, tradisi Lebaran ini cukup membuat kelimpungan. Inilah budaya konsumerisme yang kian mengkhawatirkan karena dipicu oleh tayangan-tayangan di media televisi kita. Hampir mayoritas acara-acara di televisi membawa pesan sponsor konsumerisme dan kemewahan.
Lebih jauh, iklan-iklan yang muncul adalah iklan-iklan yang cenderung mengajak masyarakat untuk berbelanja dan terus berbelanja. Momen Idulfitri seakan telah menjadi lahan paling strategis untuk meraih keuntungan yang sebesar-besarnya. Sehingga tanpa disadari, semangat Idulfitri kian pudar, diganti oleh semangat konsumerisme yang membabi buta. Naiknya biaya konsumsi Lebaran akhirnya dianggap oleh sebagian masyarakat sebagai suatu hal yang wajar. Sungguh ironis memang!
Budaya konsumerisme yang berlebihan di masyarakat
Kondisi ini diperkuat oleh hasil penelitian terhadap konsumsi massa dalam hari-hari besar Islam yang dilakukan oleh seorang antropolog Amerika, Walter Armbrust, yang mengindikasikan adanya kesenjangan antara perilaku umat islam dan nilai yang menjadi tujuan ibadah Lebaran.
Menurut Walter Armbrust, Pada hari-hari menjelang Lebaran, masjid menjadi kian lengang oleh jemaah. Sedangkan, yang ramai bahkan sesak didatangi oleh jemaah adalah mal atau supermarket. Bukannya makin khusyuk dalam sujud panjang di malam-malam akhir Ramadhan, umat Islam malah tenggelam dalam arus hingar-bingar penyambutan Lebaran yang kehilangan substansi. Bukannya menyempurnakan bilangan puasa dan mengagungkan asma Allah, mereka malah sibuk memilih pakaian baru dan bahan makanan untuk memenuhi kebutuhan lebaran yang begitu berlebihan.
Padahal dalam Islam sendiri, terdapat batasan-batasan yang jelas tentang konsumsi. Di antaranya adalah adanya larangan isrbf atau berlebih-lebihan. Perilaku isrbf diharamkan sekalipun komoditas yang dibelanjakan adalah halal. Namun demikian, Islam tetap membolehkan seorang muslim menikmati karunia kehidupan, selama masih dalam batas kewajaran.
Dalam Al-Quran, surat al-A’rbf (7): 31 dikatakan: “Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”
Baca Juga:
Mengembalikan kembali fitrah lebaran
Untuk menyelamatkan Lebaran dan mengembalikan pada fungsi dan makna yang sebenarnya, maka dibutuhkan sebuah kerja keras dari para ulama dan pemimpin umat lainnya untuk menjelaskan esensi lebaran yang sesungguhnya kepada umat Islam. Sudah saatnya perbincangan keagamaan di masa Ramadhan yang semakin jauh dari keprihatinan dan rasa peduli terhadap realitas sosial dihilangkan. Seharusnya perbincangan tentang taqwa sebagai tujuan akhir puasa dikemas dalam nuansa yang lebih realistis bahwa kunci menuju takwa adalah menegakkan keadilan dan menjauhi kedzoliman.
Umat pun harus berbenah diri dengan senantiasa sadar bahwa Lebaran adalah proklamasi sampainya seorang manusia pada titik takwa setelah melewati perjuangan melawan nafsu hewani selama sebulan penuh. Maka, seharusnya ia menjadi lebih adil, lebih beradab dan lebih bijaksana serta peduli dengan realitas sosial yang masih penuh dengan kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan umat sebagai efek dari sistem sosial yang timpang dan jauh dari rasa keadilan.
Baca Juga: Akulturasi Budaya Jawa dengan Islam Melalui Ketupat