CerpenSastra

Kisah Penulis yang Resah Mencari Judul Cerpen

Konon, Asmaul Husna yang ke-100 ialah Allah Maha Pecemburu. Demikianlah kalimat pembuka cerpen yang ditulis oleh seorang Penulis tersohor di kampungnya. Namun, seperti biasa, ketika ia selesai membuat kalimat pembuka, ia harus menghabiskan sepotong ikan kering goreng terlebih dulu untuk melanjutkan kalimat-kalimat selanjutnya.

Seperti biasa, Penulis itu akan menggoreng sendiri ikan itu di atas wajan dengan minyak kelapa yang dibuat sendiri oleh istrinya. Ia akan menggoreng sepotong ikan kering yang disimpannya di dalam toples yang terbuat dari seng. Menurutnya, itulah ritual yang sangat ampuh untuk menghasilkan cerpen yang baik. Apalagi, Penulis itu adalah keturunan pelaut. Katanya jika ada yang menanyakan perihal ritual itu, “Kita mesti selalu ingat pada leluhur kita. Untuk itulah, setiap melakukan sesuatu, kita harus banyak-banyak berkontemplasi dengan alam. Nah, maka kupilih ikan kering, sebagai suatu simbol bagi kaum pesisir dan maritim.”

Selepas melahap sepotong ikan kering, Penulis itu melanjutkan kalimat berikutnya: Maka layaklah Masnah cemburu, karena laut tak meminangnya. Tapi kegelisahan, kegelisahanlah yang telah memingit, meminta pada tetua untuk mempersuntingnya. Dan laut lebih memilih orang-orang luar negeri itu untuk menjadi kekasihnya.

            Baru satu paragraf, Penulis itu menghentikan jemarinya. Ia terkesima dengan kalimat-kalimat yang tumpah di kertas rusuhnya, “Ah, sungguh, paragraf yang menakjubkan,” katanya dalam hati yang bungah.

Karena terlalu bungah, ia tak sadar, sudah hampir satu jam ia tak melanjutkan ceritanya pada paragraf kedua. Ia seperti terkena writer block. Tapi, ia terus berusaha untuk melanjutkan ceritanya. Namun tetap gagal.

“Bagaimana ini? Mengapa tak ada ide yang keluar dari kepalaku? Ah, ada apa ini? Apakah aku sudah lupa cara menulis kalimat yang indah?” Ia bicara sendiri. Lalu dengan spekulasi yang arogan, seperti para pelaut yang menantang ombak, ia menyimpulkan bahwa untuk menghasilkan cerpen yang menakjubkan butuh mengkonsumsi ikan kering goreng lebih banyak lagi. Maka digorenglah satu toples dan dilahap habis.

Benar, Penulis itu mampu melanjutkan paragraf berikutnya. Ia tulis:

Masnah yang malang. Perempuan yang merindukan laut asri. Laut tenang dengan gelombang-gelombang yang menari-nari setiap senja tembaga. Laut yang jernih, yang dipenuhi pelaut-pelaut dengan perahu-perahu kayu yang berlenggak-lenggok seperti penari-penari dengan gendhing merdu dan iringan gamelan yang pukaunya lebih pekat dari musik modern mana pun.

            Kini laut jernih itu hanya tinggal angan. Pengeboran minyak di mana-mana. Karang-karang mati dibom pelaut-pelaut serakah. Karang-karang mati terjerat penyakit rakus pukat harimau. Tak ada lagi tempat ikan berteduh. Tak ada lagi ikan-ikan belanak berlompatan di pinggir pantai. Semua lesap entah kemana. Melesat jauh. Hilang dipinang lainnya.

            “Aku cemburu,” kata Masnah.

            “Ya, aku juga.”

            “Mengapa kau ikutan cemburu?”

            “Karena Allah Maha Pecemburu.”

            “Jangan asal kau.”

            “Konon. Kau boleh tak percaya.”

***

Penulis itu hampir menyelesaikan cerpennya. Namun setelah kalimat penutupnya mencapai tanda titik (.), ia kebingungan. “Bagaimana ini? Mengapa cerita sebagus ini sulit kutentukan judulnya?” Ia bergumam pada dirinya sendiri. Lalu tanpa banyak berpikir lagi, ia segera mengambil persediaan ikan kering seraya menggorengnya. Ia lahap secepat mungkin. Ia tak sabar melihat judul cerpen yang ditulis dan di-klaim indah itu. Ia benar-benar beringas seperti kerasukan hantu laut.

Seusai melahap semua ikan kering yang digorengnya, ia segera menuju pada kertas rusuhnya. Kali ini, ritualnya tak berhasil. “Mungkin, untuk penentuan judul, ikan keringnya harus lebih banyak,” katanya meyakinkan hatinya, “aku harus goreng ikan kering lagi.”

Penulis itu menuju penyimpanan ikan kering. Dicarinya seluruh toples. Kosong semua. Satu, dua, tiga… sembilan toples telah dihabiskan untuk satu cerpen, dan belum menghasilkan sebuah cerpen yang utuh. “Mungkin butuh sepuluh toples. Ya, sepuluh toples.” Penulis itu meyakinkan hatinya sekali lagi.

Sejurus kemudian, Penulis itu teriak memangil-manggil istrinya, “Ramlah… Ramlah… ikan keringnya kamu simpan di mana?” ia masih mencari-cari isi toples, tapi tak kunjung didapati. “Ramlah… ikan keringnya masih banyak kan? Ramlah…”

Karena istrinya tak kunjung menyahut, Penulis itu berlari ke depan tegopoh-gopoh. Dan teriak sekuatnya, “Ramlah…!!! Ikan kering…!!! Ikan keringnya kamu simpan di mana?…”

Tak kunjung ada sahutan, Penulis itu murka, ia keluar rumah sambil menenteng kertas rusuhnya yang berisi cerpen tanpa judul itu. Setiap orang yang ia temui, ia tanyai perihal keberadaan Ramlah, istrinya.

“Lihat Ramlah?”

“Tahu, Ramlah di mana?”

“Ramlah menyembunyikan ikan kering dari saya. Tolong, kalau ketemu Ramlah, bilang suruh segera pulang, saya butuh ikan kering.”

***

Setelah merasa percuma mencari Ramlah, Penulis itu kembali ke rumahnya. Ia tak peduli lagi pada Ramlah. Ia hanya butuh ikan kering untuk segera menyelesaikan judul cerpennya.

Penulis itu menggeledah seluruh isi rumah. Namun, tak ada satu pun ikan kering ditemukannya. Tiba-tiba, matanya terarah pada satu benda, sehelai kertas.

“Kertasku? Kenapa bisa di sini?”

Ia ambil kertas itu. Didapati di dalamnya tertulis sebuah surat:

Kepada Penulis Kesohor di Seantero Kampung.

            Terimakasih atas kebersamaan selama ini. Terimakasih atas segalanya. Saya benar-benar capek mengurus seorang Penulis yang Sohor seperti anda. Saya capek diteriaki lantaran masalah ikan kering.

            Perlu Penulis Kesohor ketahui, untuk mencari ikan kering sangatlah sulit akhir-akhir ini. Pelaut-pelaut tak banyak lagi menghasilkan ikan. Pun tidak ada orang yang mau menggarami ikannya. Harga garam melonjak tinggi. Garam sekarang hasil imporan.

            Dan, ini yang terpenting: konon Asmaul Husna yang ke-100 ialah Allah Maha Pecemburu. Ya, mungkin benar. Dan sebagai manusia, saya cemburu pada ikan kering yang selalu kau bangga-banggakan.

Terimakasih.

Mantan Istrimu,

Ramlah.

MEI, 2018

Penulis:

Disda Hendri Yosuki, Pimpinan Redaksi di buletin MIM (Mahasiswa Islam Menulis) Lahir di Kediri, 27 September 1997. Pernah bergiat di Komunitas Literasi Bawah Arus Bangkalan dan Mantan Pimred Lembaga Pers Mahasiswa Voice Of Law.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close
Back to top button