PuisiSastra

Kala Senja Tenggelam

Berlayar Pada Ujung Ketiadaan

Aku terlalu menggantungkan banyak harapan pada senja sore itu,
tatkala tatap melabuhkanku pada lautan berbunga
yang tak tahu ku sebut apa.
Berlayar di atas sampan menjauhi dermaga,
hanya ada kita.

Aku terlalu mengagumi setiap detail yang kau beri.
Hangat dekap yang memacu denyut tak tahu diri,
kian memanas kala kau kecup bibirku tanpa permisi.
Memang kau sangat mengerti, aku tidak suka
berbasa-basi.

Perlahan, kita telah sampai pada pulau kecil yang sejak dulu kau kagumi.
Menghirup sejuk anila sewaktu datang purnama.
Kau sendiri.
Sedang aku hanya penghantarmu menuju mimpi.

****

Yang Terpenting, Yang Terasing

Arjuna;
Kau terlalu tampan untuk melawan setiap peristiwa.
Tiada harsa pada jiwa yang kau paksa.
Meski kau punya nayanika yang ampuh memikat jiwa.
Bagaimana nuraga?
Seumpama rekah bunga saat belum waktunya,
datanglah mala yang menutupi sempurna.

Arjuna;
Kau curi api pada malam tempo hari,
menyembunyikan aroma yang terekam galaksi.
Ku tahu, mahir kau melukai.
Membuang segala adorasi tanpa kau sadari.
Seumpama sisa tangkai pada melati,
yang kau petik dan kau tinggal tanpa sudi.

****

Semesta Selalu Bercanda

Beberapa detik yang lalu,
dering di ponselku
menampakkan namamu pada layar
yang hanya ku pandangi.

Padahal rindu membuncah inginku
tumpahkan dalam beribu atensi.
Tapi diam raga tak bisa apa-apa.
Karena kelam masa lalu atas trauma
masih saja tersisa.

Mau bagaimana?
Aku bukan pengendali takdir.
Sedang kau adalah tokoh yang sudah
tersingkir.
Meski sempat terukir dan
tersemat di dalam pikir.

Kini tertinggal layar ponselku yang mulai
padam menghitam.
Tanpa meninggalkan pesan balasan.

****

Pada Usai yang Kau Ingin

Sudah ku bilang;
hilangkan saja aku
dalam pikiranmu.
Tuliskan saja aku
pada ujung kalimatmu.
Pada akhir cerita yang usai
kau baca
tanpa ingin.

Biar buku berdebu.
Serupa tawa tanpa mau.
Inginmu,
pembatas yang sengaja
kau lepas.
Warna yang menjadi pertanda
tiada lagi berkmakna.

Selayaknya buku yang usai
kau baca
tanpa ingin.
Tersisa hampa oleh kata
tak bersuara.

****

Mengadu Pada Waktu

Ku membaur dalam keramaian,
menyibak sunyi pada kelam.
Gemerlap nuansa kota tak mampu
merobek segelincir kisah sendu
di relungku.

Amarah membuncah menjelma diam,
tak sejalan dengan nalar yang
sebenarnya diinginkan.
Waktu,
meminta tunggu oleh lorong
yang terlewat
tak sempat.

Bisu merapat bak terikat.
Usai senja padam, tenggelam.
Ragu tanpa tahu,
membius obat penuh akibat.
Waktu;
untuk berburu,
untuk menyelam.

****

Baca Juga: Hirup Urang Jauh Ti Bagja

BekelSego adalah media yang menyediakan platform untuk menulis, semua karya tulis sepenuhnya tanggung jawab penulis.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button