Bikin Resah! 5 Hal Yang Membuat Sempritan Tukang Parkir Liar Terdengar Sumbang


Ilustrasi tukang parkir liar

Beberapa waktu lalu, perbincangan di media sosial ramai terkait dengan kelakuan tukang parkir liar atau yang juga disebut dengan juru parkir liar yang semena-mena terhadap konsumen mini market. Tukang parkir tersebut mematok tarif parkir kepada para konsumen dengan tidak wajar. Mini market tersebut sebenarnya telah membebaskan pelanggannya dari tarif parkir, sehingga tindakan oknum parkir liar tersebut adalah ilegal.

Namun, fakta di lapangan seringkali berbeda. Para oknum-oknum parkir liar memanfaatkan situasi untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya. Selain parkir liar di mini market, ada juga parkir liar di bahu jalan atau tempat-tempat yang tidak seharusnya dijadikan tempat parkir. Tempat-tempat tersebut biasanya dikuasai oleh organisasi masyarakat atau preman-preman.

Berikut beberapa bahayanya dampak tukang parkit liar yang seringkali meresahkan masyarakat.

1. Pengendara harus mengalokasikan anggaran khusus untuk tukang parkir liar

Zaman sekarang hampir setiap orang menggunakan kendaraan untuk beraktifitas. Tak perlu jauh-jauh, saya contohkan diri sendiri. Rata-rata per hari saya terjerat sempritan tukang parkir liar tiga kali dengan kutipan Rp.2000 sekali kena atau sama dengan Rp.6000 per hari.

Secara kalkulatif, saya terpaksa merelakan Rp.180.000 dalam sebulan. Rp.180.000 tentu bukan nilai kecil. Itu dua kali lebih besar dari nilai zakat karyawan berpenghasilan UMP. Jumlah itupun masih lebih besar dari konsumsi listrik rumah tangga dengan daya 900 watt!

Baca Juga:

2. Tukang parkir liar telah mengambil image hobi tawuran yang dulu hanya dimiliki oleh anak-anak STM atau SMA

Biasanya praktik parkir liar diorganisir ormas. Conflict of interest sangat rentan terjadi dan ketika meledak, tawuran antar ormas pun pecah. Mereka mungkin tidak tahu bagaimana susahnya membangun brand image. Para siswa tersebut sudah mati-matian, bahkan tak sedikit yang mati betulan, demi membangun image tawuran sejak puluhan tahun silam.

Jika Anda besar di era 90-an hingga 2000-an awal, bulu hidung Anda pasti akan bergetar ketika mendengar kata Boedoet, Belter, Camp Java, Kapal, dan sekolah bengal lainnya. Merekalah para biang tawuran, penguasa jalanan.

Tapi, jangan salah, yang mereka pertahankan dengan berdarah-darah itu bukan main mulianya, yaitu nama sekolah, lembaga pendidikan tercinta. Dengan kata lain: harga diri almamater!

Namun kini, lihatlah, brand image tersebut telah raib direbut ormas-ormas dengan misi lahan parkir. Nama-nama sekolah beken seperti yang disebutkan di atas pun tak lagi nyaring gaungnya. Segendang-sepenarian dengan kian sepinya pertempuran ala Majapahit di jalanan tiap siang atau sore hari. Kalaupun beberapa waktu lalu sempat terjadi tawuran, perjuangan siswa-siswa merebut kembali brand image itu masih perlu lebih banyak usaha. Mari kita doakan saja.

Silakan nilai sendiri: Misi mana yang lebih mulia antara ormas parkir dengan anak-anak tawuran tadi? Meraih fulus dengan seenaknya atau menjaga nama sekolah?

3. Penggunaan sempritan oleh tukang parkir liar menghina nilai-nilai sepakbola Indonesia

Dengan kondisi persepakbolaan yang carut marut kusut, prestasi tidak kunjung datang, dan masih banyak wasit sepakbola Liga Indonesia yang kurang profesional. Ironisnya, para tukang parkir liar tersebut tidak menghargai nasib wasit karena menggunakan sempritan untuk memenuhi kantung pribadi.

Apakah tidak terpikir oleh para tukang parkir liar tersebut, bagaimana capeknya wasit-wasit itu harus lari 2×45 menit untuk mendapatkan uang? Bukan tak mungkin terjadi pertempuran dahsyat antara juru parkir jalanan dan juru adil lapangan. Terlebih jika para wasit tadi bersatu dan merencanakan sabotase kepemilikian sempritan.

4. Profesi juru parkir liar merupakan penghinaan terhadap juru-juru yang lain

Juru mudi, misalnya, membutuhkan keahlian berkendara yang dibuktikan dengan Surat Izin Mengemudi (SIM). Juru tulis setidaknya pasti menguasai teknik menulis yang tepat dan cepat. Juru masak mempunyai kepiawaian membuat makanan.

Demikian juga dengan juru foto, juru gambar, dan lain sebagainya, yang mesti keluar biaya untuk dapat keahlian seorang juru dengan kursus atau sekolah. Ataupun tukang bangunan, tukang kebun, tukang sedot WC, semua punya keahlian.

Sementara juru parkir liar atau tukang parkir liar apa keahliannya? Hanya bermodal satu sempritan yang bisa dipinjam ke shift berikutnya, mempelajari aba-aba yang sebenarnya sama sekali tak berguna, dan melatih kesabaran menunggu pemilik kendaraan keluar toko.

Baca Juga:

5. Mencari minimarket yang tidak ada tukang parkir liar, walaupun jauh

Pernah gak sih kamu clingak-clinguk sebelum parkir di depan minimarket, liat ada tukang parkir liar apa tidak. Kalau ada, kamu jalan lagi dan mencari minimarket yang lain. Apalagi kalau kamu gak punya uang receh 2 ribuan, dan bayar belanja di minimarket menggunakan non tunai.

Pengalaman ini yang membuat para konsumen, malas untuk belanja di minimarket yang ada tukang parkir liarnya. Mending cari yang sepi, gak ada tukang parkir liarnya.

Nah, yang bikin jengkel, ketika radar mata sudah memberi sinyal aman, bahwa tidak ada tukang parkir liar. Namun ketika selesai belanja dan kaluar dari toko, tiba-tiba terdengar suara merdu dari sempritan tukang parkir liar. Pura-pura rogoh kantong, ujung-ujungnya minta maaf.

Entah mengapa, hal-hal serius tentang tukang parkir liar yang saya jelaskan di atas tersebut tidak segera dipikirkan oleh para ormas tukang parkir liar tersebut, apalagi oleh para pejabat negara. Yah, semoga semua tersadar.

Baca Juga: 8 Tips Pekerjaan yang Cocok Untuk Generasi Milenial