CerpenSastra

Angin Akhir Tahun

Matamu masih terpejam. Berkas sinar mentari pagi mulai menelusup melalui celah jendela di ujung ruangan, membuatmu seketika membuka mata dengan pandangan yang langsung menuju ke arahnya. Kamu pun beranjak bangun dari tempat tidur. Kamu membuka jendela kamar yang terbingkai kayu berwarna coklat itu, membiarkan angin pagi kali ini menyapu lembut wajahmu, menerbangkan pelan beberapa anak rambutmu.

Angin itu seperti terasa tak asing bagimu. Ia terus membelaimu hingga akhirnya kamu tersadar bahwa itu adalah angin di akhir tahun. Ia menculikmu menuju memori saat kamu membuka kenangan dalam kurun waktu satu tahun terakhir. Ya, sebuah memori yang tak akan pernah kau lupakan, yang tak sekalipun terhapus dari ingatan.

Kamu adalah gadis berusia dua puluh dua tahun, bukan? Seorang manusia biasa yang masih hidup, namun jiwamu seakan sudah terbunuh. Kamu tak bisa menunjukkan ekspresi apa pun. Kamu tak pernah mengerti berbagai jenis perasaan. Kamu hidup dalam perasaan yang mati. Entahlah, hingga saat ini kamu masih saja tak mengerti. Sama sekali tak ingat apa yang telah terjadi.

***

Aku ingat betul, pada suatu hari di malam tahun baru, aku pernah mengajukan sebuah permintaan pada ribuan kembang api yang terpecah di angkasa. Aku ingin sekali tak melihatnya, tak mendengar gelegarnya, dan tak merasakan hancurnya yang berkeping-keping.

Baca Juga: Getaran Hati dalam Pena

Aku ingin benar-benar merasakan terbunuh dan mati. Ingin abadi dalam kedamaian, tanpa merasakan rumitnya kehidupan. Dan di sinilah aku sekarang, di sebuah tempat asing yang baru pertama kali aku singgahi, puncak Bukit Biru di tepi kota.

***

Aku tak sendiri, ada seseorang yang tengah menemaniku. Kami berdua duduk berdampingan, beralaskan tikar plastik yang sempat kami beli sebelum memasuki area bukit tadi. Pandangan kami tertuju pada angkasa yang benar-benar sudah menghitam pekat, sebab Sang Surya telah bersembunyi di balik bukit lain, beberapa waktu lalu. Ribuan kembang api terpecah menghiasi langit selatan yang menghitam itu.

***

Suasana tempat ini cukup dingin. Udara malam bergerak pelan membelai kulit hingga terasa meresap sampai ke tulang. Kami yang duduk dikelilingi kabut awan begitu khidmat menyaksikan satu ruang kosong di langit raya yang memancarkan cahaya bulan sabit. Ribuan bintang yang berpendar saling melempar salam, melengkapi sempurnanya suasana malam.

***

Sungguh, itu adalah pemandangan yang luar biasa. Sejak awal tadi, hati dan pikiranku sudah dipenuhi oleh perasaan takjub. Pun dengan seseorang yang sedari tadi setia menemaniku. Dia juga tak kalah takjub. Namun kami hanya bisa diam.

Sudah cukup lama kami sama-sama larut dalam diam, hingga akhirnya seseorang yang menemaniku mengalihkan pandangannya ke arahku.

“An, kamu bisa dengar itu?” bisiknya lirih.

Aku pun tersenyum.

Tentu saja aku bisa mendengarnya, dan itu sangat menakjubkan. ‘Itu’ adalah suara keheningan. Benar-benar hening yang seutuhnya. Hening yang tak akan bisa aku jelaskan meski dengan menyusun ribuan kata. Begitu heningnya sampai-sampai aku bisa mendengar suara detak jantungku sendiri. Bayangkan!

Seseorang yang menemaniku bernama Abi. Tangannya bergerak membelai rambutku pelan, namun seketika kutepis. Tak sekalipun Abi marah. Justru ia tengah tersenyum hangat memandangku. Sedangkan pandanganku masih tertuju pada gelapnya langit kala itu. Tangannya perlahan menjauh. Abi tahu betul, apa yang saat ini sangat aku butuhkan, sebuah keheningan yang benar-benar mendamaikan.

Baca Juga: Pamit

***

Saking heningnya, aku bahkan sempat berpikir tak ingin bernapas. Karena kupikir, setiap hirupan dan embusan napas pun akan menjadi suara yang mengganggu. Aku sama sekali tak ingin melewati momen berharga itu, ketiadaan suara-suara bising. Bahkan suara serangga malam yang biasanya berisik sekalipun, benar-benar tiada.

Itu semua seperti segala momen kehidupan dalam kematian. Dan ini adalah hening kedamaian yang telah lama aku dambakan. Aku dan Abi sudah cukup lama duduk berdampingan di puncak bukit. Berusaha saling menahan napas, dalam perasaan takjub. Namun tak benar-benar menahan napas, hanya saja berusaha untuk tidak menghancurkan keheningan ini.

Dan kini aku menyadari bahwa inilah arti sesungguhnya dari pernyataan, “Mintalah! Maka engkau akan diberi. Carilah! Maka engkau akan menemukan.” Yang aku temui beberapa waktu yang lalu. Entah di mana aku menemukannya tadi.

Momen itu memang terjadi begitu singkat, namun tiap detiknya terasa begitu melekat. Aku tak benar-benar menyesal atas apa yang telah terjadi dalam hidupku. Justru aku akan merasa sangat bersyukur, karena Tuhan telah menghadirkan sosok yang mendamaikan di sini, di sampingku.

Entah hari ini atau esok, aku ingin setiap perjalanan hidupku yang telah menjadi bagian masa lalu, berlalu semestinya tanpa menghancurkan masa depanku kelak. Aku ingin belajar, dari setiap hal yang aku temui, dari peristiwa-peristiwa yang telah aku alami, untuk menjadikan diriku pribadi yang lebih baik lagi.

Lagipula ada Abi di sini, di sisiku. Meski hanya ilusi, ia adalah sosok yang tak pernah ingkar untuk tidak pergi. Aku percaya, hadirnya yang meski maya tak akan pernah memberiku kesan luka yang menganga. Dia adalah wujud fatamorgana yang sengaja kubuat ada, untuk menemaniku dan sedikit memberi kesan kehidupan yang berwarna. Agar hidupku tak melulu soal abu-abu.

Aku tak perlu meminta apapun lagi dari langit malam yang dipenuhi cahaya bermekaran itu. Namun aku akan berjanji pada setiap bulan Januari, untuk selalu memikirkan tentang diriku sendiri. Tentang bagaimana aku bisa terus bergerak ke depan, tentang sederhananya kebahagiaan yang menjadi akhir tujuan.

Kedamaian yang selama ini sempat kupinta dengan begitu iba, telah kudapatkan. Apa yang selama ini kucari dengan teliti, akhirnya bisa kutemui. Dan aku bersungguh-sungguh ingin abadi di sini.

“Sudah saatnya pulang, An.”

“Tunggu sebentar!”

Ah, aku masih tak rela untuk meninggalkan tempat ini. Aku tak ingin begitu saja menghentikan keheningan ini. Namun apa boleh buat, aku tak boleh egois. Aku tahu, Abi harus segera pergi. Sudah saatnya dia tak menemaniku lagi. Dia berhak mencari kebahagiaannya sendiri, dan itu tidak dengan bersamaku.

“Tolong, abadikan satu momen keheningan ini!” pintaku pada Abi sembari menyerahkan ponsel yang entah sejak kapan kusadari ada di dalam saku celanaku.

Abi pun mengambil ponsel itu dan beranjak menjauh beberapa langkah ke belakang, mencari posisi yang pas. Satu, dua, tiga, dan klik! Sebuah potret diriku yang tengah terduduk bersama keheningan malam ini berhasil terabadikan.

Aku pun beranjak dari tempatku duduk, menghampiri Abi untuk mengambil kembali ponselku. Kulihat hasil jepretannya tadi. Lumayan bagus, batinku. Aku tersenyum puas. Kutatap Abi yang ternyata juga melemparkan senyum manisnya untukku. Kebahagiaan malam ini sungguh tak terkira. Aku akan menyimpan baik-baik foto ini, berniat membawanya kembali pada tahun dimana ia juga akan berganti, nanti.

“Ayo kita pulang!”

***

Terus menunggunya pulang tanpa adanya kepastian bukanlah hal yang kau inginkan. Karena terkadang waktu terasa begitu angkuh, saat kamu mulai lengah dan butuh rengkuh. Namun kamu masih terus mencoba percaya, bahwa yang tengah kamu tunggu akan menepati janjinya untuk segera tiba. Meski sesekali kepercayaan itu tampak meredup, kau terus berupaya membuatnya kembali nyala.

Angin pagi yang membelai wajahmu beberapa waktu lalu, tak lagi bergerak pelan. Meski sinar mentari sudah cukup tangguh membagi hangat, namun tampaknya kau masih merasa kedinginan. Kamu pun tersenyum kecut, mengapa tubuhmu begitu lemah. Terlalu sensitif pada segala sesuatu yang terasa dingin. Entah tentang seseorang atau musim yang selalu berterus terang.

Kamu kembali menutup jendela kamar yang terbingkai kayu berwarna coklat itu, menghentikan laju angin yang menerobos ruang kamarmu. Kamu memilih kembali beranjak ke tempat tidur. Merebahkan tubuhmu lagi, menenangkan gejolak hati. Namun pandanganmu masih tertuju pada jendela kamar yang sudah tertutup rapat itu.

Kamu masih bisa melihat dengan jelas, angin pagi di akhir tahun yang sempat menerbangkan beberapa anak rambutmu beberapa waktu lalu, kini beralih menerbangkan daun-daun gugur di pelataran rumahmu.

Kini sudah memasuki bulan terakhir di tahun dua ribu dua puluh dua. Itu artinya, tahun akan segera berganti. Layaknya angin akhir tahun yang menerbangkan ribuan daun gugur ke segala penjuru, kamu berharap seseorang segera tiba. Membawa segala kisah pahit dalam tahun ini agar terbang jauh dan tak akan pernah kembali lagi untuk sekadar menciptakan pilu yang menyayat hati.

Baca Juga: Abstrak

BekelSego adalah media yang menyediakan platform untuk menulis, semua karya tulis sepenuhnya tanggung jawab penulis.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button