Pasukan Cakrabirawa Dalam Catatan Sejarah, Antara Loyalitas dan Ambisi!


Pasukan Cakrabirawa

Salah satu peristiwa yang memengaruhi perjalanan sejarah bangsa Indonesia adalah peristiwa G30S yang melibatkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Pasukan Cakrabirawa.

Peristiwa G30S adalah penculikan sejumlah jenderal TNI yang terjadi pada malam 30 September 1965 di Ibu Kota Jakarta.  Penculikan itu melibatkan pasukan pengawal Presiden RI yaitu Resimen Cakrabirawa dan sejumlah tokoh PKI.

Pasukan Cakrabirawa adalah satuan pengawal presiden yang dibentuk pada 6 Juni 1962, bertepatan dengan hari lahir Presiden Soekarno. Nama “Cakrabirawa” diambil dari kata “Cakra,” senjata milik tokoh pewayangan Krisna, dan “Birawa,” yang berarti hebat atau dahsyat.

Sejarah terbentuknya pasukan Cakrabirawa

Pembentukan Pasukan Cakrabirawa dilatarbelakangi oleh beberapa percobaan pembunuhan terhadap Presiden Soekarno. Percobaan ini terjadi pada tahun 1946, 1957, 1960, dan dua kali pada tahun 1962. Pada masa itu, sudah ada satuan pengawal presiden seperti Detasemen Kawal Pribadi (DKP) dan Detasemen Pengawal Khusus (DPC), namun dianggap belum cukup untuk menjamin keamanan presiden dan keluarganya.

Atas usul Jenderal Abdul Haris Nasution, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan serta Kepala Staf Angkatan Bersenjata, dibentuklah Resimen Cakrabirawa atau Pasukan Cakrabirawa.

Pasukan ini dibentuk pada 2 Juli 1962, merespons berbagai upaya pembunuhan terhadap Presiden Soekarno masa itu. Para tentara yang tergabung dalam Cakrabirawa ini mereka yang telah matang dan terlatih.

Pasukan ini terdiri dari gabungan prajurit terbaik dari TNI Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Kepolisian Republik Indonesia.

Baca Juga:

Keterlibatan Pasukan Cakrabirawa dalam pemberontakan G30S/PKI

Pasukan Cakrabirawa sering dikaitkan dengan peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI). Gerakan ini dipimpin oleh Letkol Untung, yang juga merupakan komandan Pasukan Cakrabirawa.

Namun, benarkah pasukan Cakrabirawa terlibat penculikan para perwira tinggi Angkatan Darat dalam G30S?

Menurut sejumlah literatur, dikatakan bahwa benar ada sejumlah prajurit yang tergabung dalam resimen Cakrabirawa yang terlibat penculikan dan pembunuhan tujuh perwira tinggi Angkatan Darat (AD).

Namun, perlu diketahui, tidak semua anggota resimen itu terlibat. Julius Pour dalam bukunya ‘Benny: Tragedi Seorang Loyalis’ (2007), menulis bahwa, dari 3.000 orang anggota resimen Cakrabirawa, hanya sekitar 60 orang atau 2 persen yang terlibat.

Dari 60-an orang itu, beberapa di antaranya disebut-sebut memimpin langsung penculikan dan menembak para perwira Angkatan Darat dalam G30S, pada malam menjelang subuh, 1 Oktober 1965. Mereka menghabisi para perwira tinggi Angkatan Darat yang dianggap tidak loyal kepada presiden (Soekarno) lewat isu Dewan Jenderal.

Beberapa pemimpin pasukan Cakrabirawa yang terlibat adalah:

  1. Letnan Kolonel Untung bin Syamsuri. Letkol Untung adalah Komandan Batalion Kawal Kehormatan II Cakrabirawa. Dia lahir di Desa Sruni, Kedungbajul, Kebumen, Jawa Tengah pada 3 Juli 1926. Untung adalah mantan anak buah Soeharto saat menjadi Komandan Resimen 15 di Solo. Dia juga Komandan Kompi Batalyon 454 dan pernah mendapat didikan politik dari tokoh PKI, Alimin.
  2. Letnan Satu Dul Arif. Lettu Dul Arif adalah Komandan Kompi C dari batalion yang dipimpin Letnan Kolonel Untung. Bersama Untung, dia dieksekusi mati karena memimpin penculikan.
  3. Sersan Mayor Soekardjo. Dia memimpin penculikan Brigadir Donald Izacus Panjaita dan dieksekusi mati pada Oktober 1988.
  4. Johannes Surono. Dia lahir di Pucungsawit, Solo. Dia adalah komandan peleton III kompi C Batalyon pimpinan Untung di Cakrabirawa, yang memimpin penculikan Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomihardjo. Surono ditangkap pada 8 Oktober 1965, dan sempat menjadi saksi dalam perkara Letkol Untung. Tahun 1970, ia dijatuhi hukuman mati oleh mahkamah militer distrik Jakarta. Pengajuan bandingnya ditolak pada 1986 dan grasinya juga ditolak pada 1989.
  5. Paulus Satar Suryanto. Dia memimpin penculikan Mayor Jenderal Suwondo Parman. Satar dijatuhi hukuman mati pada 29 April 1971 oleh mahkamah militer distrik Jakarta. Sebelum dieksekusi mati, Satar memakai nama Paulus Satar Suryanto, usai permohonan bandingnya ditolak.
  6. Simon Petrus Solaiman. Lahir di Cepu, Blora, Jawa Tengah, pada 1927. Dia memimpin penculikan Mayor Jenderal Raden Soeprapto, yang kemudian ditembak oleh Norbertus Rohayan. Dia kemudian ditangkap pada 5 Oktober 1965, pada hari ketika Mayor Jenderal Soeprapto dan perwira Angkatan Darat lainnya dikebumikan di Taman Makam Kalibata, Jakarta. Solaiman dijatuhi hukuman mati pada November 1969 oleh mahkamah militer distrik Jakarta. Banding dan grasi yang ia ajukan juga ditolak.
  7. Norbertus Rohayan. Seperti yang disebutkan sebelumnya, dia adalah penembak Mayor Jenderal Raden Soeprapto. Rohayan ditangkap pada 5 Oktober 1965 dan dijatuhi hukuman mati oleh Mahkamah Militer Distrik Bandung pada 8 November 1969. Februari 1987, bandingnya ditolak. 5 Desember 1989, grasinya juga ditolak.
  8. Anastasius Buang. Dia adalah penembak Mayor Jenderal Suwondo Parman. Dia sebaya dengan dengan Rohayan.
  9. Sersan Dua Gijadi Wignjosuhardjo. Dia adalah penembak Letnan Jenderal Ahmad Yani. Dia ditangkap pada 4 Oktober 1965, dan dijatuhi hukuman mati pada 16 April 1968 oleh mahkamah militer distrik Jakarta.Seperti Surono, dia jugasempat menjadi saksi dalam perkara Letkol Untung. Eksekusi matinya baru dilakukan 20 tahun kemudian, tepatnya Oktober 1988, bersamaan dengan eksekusi mati Sersan Mayor Soekardjo yang memimpin penculikan Brigadir Donald Izacus Panjaitan

Baca Juga:

Pasukan Cakrabirawa dibubarkan

Keterlibatan Pasukan Cakrabirawa dalam G30S/PKI menimbulkan kontroversi dan dampak besar dalam sejarah Indonesia. Banyak anggota pasukan ini yang ditangkap dan diadili, sementara yang lainnya hidup dalam bayang-bayang peristiwa kelam tersebut.

Setelah peristiwa G30S/PKI, peran Pasukan Cakrabirawa sebagai pengawal presiden dihapuskan pada 28 Maret 1966. Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, dibentuklah Pasukan Pengaman Presiden (Paspampres) yang memiliki tugas serupa dengan Pasukan Cakrabirawa.

Pasukan Cakrabirawa, yang awalnya dibentuk untuk melindungi presiden, akhirnya menjadi bagian dari salah satu babak paling tragis dalam sejarah Indonesia. Hingga kini, peristiwa G30S/PKI masih menjadi topik yang sensitif dan penuh dengan berbagai teori serta interpretasi.

Baca Juga: Makna Peristiwa G30S/PKI Bagi Generasi Milenial


Emperor