PuisiSastra

Lakuna

Berladang Bulan

Hai kamu!
Besok malam pergilah bersamaku
Ke ladang gersang tempatku menanam bulan
Mari memanen bulan yang sudah matang

Aku punya sebutir bulan bertuliskan namamu
Kuletakkan di dalam lemari kaca kamarku
Karena bulan dengan namaku telah kau curi
Tergantung di kaki langit malam paling sunyi

Hai kamu!
Tengoklah sebentar ke belakang
Ada sebuah sinar yang melintas
Mungkinkah bintang-bintang yang berjatuhan
Hendak memupuk ladang bulan gersang?

Tanam sinar bulan dan bulan tumbuh
Namamu tumbuh dalam diriku
Dan andai kata namaku tumbuh dalam dirimu
Cinta ini seperti bayi bulan sabit
Gemar tersenyum
Yang terus beranjak tumbuh
Merupa seutuhnya purnama

***

Sajak Pintu

Pintu kayu itu pun mengetuk dirinya sendiri
Meraba tubuhnya yang usang
Lalu bertanya-tanya
Sampai kapan tertutup?
Sedang tak ada yang berkunjung
Tak ada seorang tamu

Gagang pintunya bergerak sendiri
Dengan frekuensi yang tak pasti
Naik turun napasnya terengah
Lalu ia patah

Ada yang mendobrak
Pintu kayu yang menganggap dirinya usang itu terbuka lebar
Sesosok malaikat berdiri di baliknya

***

Laundry

Aku menyukai kesibukanmu mencuci
Dengan segenap rasa dan tenaga
Mengumpulkan beberapa pakaian kotor
Memasukkannya ke dalam kotak kubus besar
Menyalakan air lalu menekan tombol putar
Hingga pakaian pun berputar-putar
Sesekali pinggulmu juga ikut berputar

Kau gantung pakaian-pakaian itu
Pada tali jemuran panjang
Yang terbentang di halaman belakang istana
Berjajar rapi
Merupa warna-warni pelangi
Mengemis terik sang mentari
Agar lekas kering dan barulah kau angkat
Untuk kau kenakan kembali
Pada tubuh telanjangmu

***

Tiga Puluh Satu

Pada akhir perjalananku ini
Keretaku sudah benar-benar berhenti
Tempat tujuanku berada di sebelah kiri
Aku pun beranjak
Menatap nanar lorong gerbong yang kosong
Berpamitan dengan mereka yang masih melanjutkan perjalanan
“Hai, kursi! Kau bisa bernapas lega sekarang,”
Aku harus bersyukur ataukah menyesali segalanya?
Sementara selamat tinggal itu
Harus kusematkan pada tiap-tiap rangkaian gerbong kereta yang tampak sendu
Dan mereka akan segera berlalu
Meninggalkan stasiun tempatku turun
Tanpa menoleh sedetik pun

***

Baca Juga: Anak Pertama Perempuan

BekelSego adalah media yang menyediakan platform untuk menulis, semua karya tulis sepenuhnya tanggung jawab penulis.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button