Tukimin sedang menikmati jam istirahatnya. Dia mencoba merebahkan badannya di atas triplek yang tergolek di dekat pintu gudang. Badannya terasa sakit semua. Punggungnya pegal dan bahunya serasa akan patah menjadi dua. Sambil memijit-mijit bahunya, pikiran Tukimin menerawang jauh ke kampung halamannya, sungguh sejujurnya dia sangat merindukan kampung halamannya itu. Lebaran yang baru berlalu kemarin Tukimin tak dapat pulang ke kampungnya bukan karena tidak punya biaya, namun waktu yang diberikan oleh perusahaan tempat kerjanya sangat mepet. Jika dia kembali dari kampung terlambat, maka gajinya akan dipotong cukup banyak. Waktu kembali yang diberikan hanya dua hari saja, sedangkan Tukimin mampunyai pulang ke kampungnya di pelosok pulau Lombok butuh waktu dua malam tiga hari berlayar dengan kapal. Libur lebaran hanya diberikan seminggu saja. Bagaimana mungkin Tukimin bisa pulang?
Tukimin memang terlahir dari orang tua berdarah Jawa Tengah, namun sejak menikah ayah dan ibunya merantau ke Nusa Tenggara Barat. Di situlah Tukimin lahir. Jadilah Tukimin menghabiskan waktu liburnya hanya di mess tempat kerjanya ini. Ia hanya sempat mengirimkan uang untuk orang tuanya. Rasa rindu itu sangat menekannya. Terbayang wajah orang-orang yang dikasihinya di kampung. Sudah setahun dia bekerja di perusahaan ini, sebuah pabrik tekstil berskala nasional. Tukimin bekerja di bagian gudang. Sehari-hari dia harus memanggul gelondongan kain rajut ke atas truk atau mobil box yang akan mengantarkan gelondongan kain itu ke tempat pelanggan. Tak jarang Tukimin diminta ikut mengantar ke tempat pelanggan. Sesampai di tempat, Tukimin masih harus bertugas memanggul gelondongan-gelondongan kain itu lagi sampai ke dalam gudang pelanggan yang tak jarang letaknya di atas, di lantai 3 atau 4 ruko yang dijadikan gudang dan tokonya. Bisa dibilang pekerjaan ini bersifat sukarela saja, termasuk service yang diberikan pihak pabrik Tukimin untuk para pelanggan, tanpa mengharap tips dari pelanggan, kecuali pelanggannya sangat berbaik hati.
Tukimin sadar betapa beratnya pekerjaannya, sebuah pekerjaan kasar yang diperolehnya dengan susah payah, setelah mencari info ke sana kemari, putus harapan karena di kampungnya tak tersedia lapangan kerja sekelas dirinya yang hanya mengecap pendidikan SMP saja. Upah sebesar sejuta tiga ratusan akhirnya terpaksa dia terima melalui pekerjaan ini di ibu kota. Mandornya, seorang yang cukup galak dan disegani di kalangan karyawan. Inginnya semua bekerja tepat waktu dan tak boleh bermalas-malasan, hanya saja Tukimin kurang suka cara si Mandor memerintah, kadang sengaja berteriak keras-keras seakan mereka itu seperti binatang yang pantas untuk dibentak. Apa lagi Pak Bos, pemilik pabrik ini juga dikenal kejam. Jauh di dalam hatinya Tukimin ingin diperlakukan secara lebih manusiawi, namun dia takut mengucapkannya.
Baca Juga: Pamit
Perlahan Tukimin beranjak dari tempatnya berbaring. Hari sudah menjelang sore, sebenarnya sudah sejam yang lalu bunyi alarm pabrik menandakan jam kerja sudah usai, namun karena penat Tukimin leyeh-leyeh sejenak mengeringkan keringat. Tak lama kemudian, Tukimin mengayuh langkahnya menaiki anak tangga satu demi satu, mess nya ada di lantai 5, rasa penat yang amat sangat, nyaris membuat tungkai kakinya patah. Ngilu dan nyeri, namun Tukimin harus berjuang sampai ke lantai 5, di sanalah kamar istirahat yang disediakan oleh perusahaan untuk dia melepas lelah. Satu kamar yang berisi 3 orang penghuninya, beralas kasur tipis dan bantal apek, semuanya serba terbatas, namun cukup bagi mereka. Begitu sampai di dekat jemuran Tukimin menyambar sehelai handuk kucel, dia ingin membasuh tubuhnya yang sudah berbau keringat sepanjang hari. Kebetulan kamar mandi umum sudah tidak terlalu ramai orang, dia bisa langsung mandi dengan leluasa. Dinikmatinya guyuran air segar segayung demi segayung, kepalanya terasa dingin dan sejuk, sekujur tubuhnya seakan haus dan dahaga menyambut guyuran air. Jakarta yang panas dan miskin udara sehat, keluhnya diam-diam. Tidak terlalu lama, Tukimin selesai mandi, lalu beranjak masuk ke kamarnya, mengganti pakaiannya dengan kaos dan sarung. Dilihatnya kedua temannya sudah rapi dan segar.
“Eh, Min, seger ya mandi sore. Tadi aku keringat banget, busyet dah.” sapa Udin belagak berlogat betawi padahal dia asli Jogja dan baru tiga bulan bekerja. Tukimin tersenyum menanggapi sapaan Udin, lalu dia selonjor di atas kasur tipisnya.
“Ngantar kemana aja tadi, Min?” tanya Karyo kemudian.
“Tiga tempat, Yo. Ke Cilincing dua terus ke Cileduk yang cukup jauh. Banyak pula barangnya” jawab Tukimin sambil menghela nafas. Kedua temannya tertawa.
“Wah aku udah sering ke sana, Min, dan tak pernah dikasi tips hahaha.”
“Wis, makin banyak juragan pelit ya jaman sekarang ini. Dikiranya kita ini buldoser, po? Katrol gitu? Hahaha, kadang tulang pundakku nih bunyi kretek-kretek kaya mau ceklek hahaha.” Karyo menimpali dengan logat jawanya yang medok sekali. Tukimin tersenyum kecut.
“Sudah bagian dari service, teman-teman. Mana bisa kita protes. Kita harus siap diperintah. Harus bisa sejalan dengan kebijakan perusahaan. Gitu kan?” balas Tukimin. Kedua temannya menganggukkan kepalanya.
“Ya wis, jangan dibahas lagi. Yuk tidur.” ajak Tukimin akhirnya.
“Yo turu, esok bangun lagi dengan tenaga baru.” sahut Karyo renyah. Ketiga orang muda itu akhirnya merebahkan tubuhnya, kasur tipis tak lagi terasa tipis, kelelahan yang amat penat mampu mengubahkan segala rasa, serasa tidur di tumpukkan busa yang empuk.
****
Hari ini hari Kamis. Hari yang menurut Tukimin hari paling panjang dibanding hari-hari lainnya. Itu hanya perasaannya saja, karena Kamis sepertinya pekerjaan tak pernah ada habis-habisnya dan selalu dituntut untuk bisa lembur sampai jauh malam. Ada 5 mobil box besar yang Tukimin dan kawan-kawannya, bagian gudang, isi dengan gelondongan kain pesanan. Mereka harus mengangkat dari lantai 2 lalu ke atas mobil box. Satu mobil box harus padat, diatur sesuai alur pesanan, berdasarkan daerah atau wilayahnya. Rute harus diperhatikan dengan seksama. Tukimin mulai sibuk menggendong gelondongan demi gelondongan, dari lantai dua lalu ke dekat mobil pengangkut, begitu bergantian dengan teman-temannya. Ditumpuk gelondongan-gelondongan itu di dekat mobil. Bunyi gedebak-gedebuk dan debu-debu berhamburan di sekitar mereka. Pemandangan yang biasa buat mereka semua yang berada di sana. Ketika Tukimin membalik sebuah gelondongan untuk diangkat ke atas mobil tiba-tiba gelondongan itu terjatuh, menimbukkan suara yang cukup keras, hingga menganggetkan semua orang yang ada disana.
“Woi hati-hati!” teriak si Mandor dari balik mobil yang di sebelahnya.
“Jangan sembrono begitu kamu!” Tiba-tiba terdengar suara yang berbeda serasa menggelegar di kuping Tukimin. Seketika Tukimin mengangkat kembali gelondongan yang terjatuh sambil berkali-kali meminta maaf.
“Mandor, kesini kamu!” Teriak Pak Bos sambil mencari si Mandor memanggilnya untuk mendekat.
Tergopoh-gopoh si Mandor mendatangi juragannya.
“Ya, Juragan. Ada apa?” kata Mandor sambil membawa berkas kertas loading barang.
“Kamu kemana saja, kenapa kamu biarkan kejadian ini? ini orang kerjanya gak becus!” Mata Pak Bos melotot tajam ke arah Tukimin. Dia hanya bisa menundukkan kepalanya dengan penuh penyesalan. Teman-teman Tukimin melongo menyaksikan peristiwa itu, jantung mereka berdegup kencang menahan rasa takut. Siapa yang tidak tahu perangai si Bos. Pemarah dan kasar.
“Sapa namamu?” bentak Pak Bos galak. Dia tidak mengenal nama pegawai rendahan seperti Tukimin ini. Ribuan karyawannya mustahil Pak Bos bisa menghafalnya. Semakin mengkerut nyali Tukimin.
“Tukimin, Pak.” jawab Tukimin takut-takut.
“Sudah kerja berapa lama kamu?”
“Sudah setahun, Pak.”
“Sudah setahun tapi kerjanya sembrono gitu. Kalau nimpa orang lain gimana coba? Kamu bisa ganti nyawa orang?” hardik Pak Bos dengan gemas. “Saya bayar kamu bukan pakai daun, tau?! Saya bayar kamu pakai duit, kerja yang bener!”
“Ya, Pak. Saya mengerti.!”
“Mandor!”
“Ya, Bos.” kata si Mandor.
“Awasi dia, jangan sampai terulang lagi. Ingat itu!”
“Baik, Bos, saya pastikan kejadian seperti ini tak terulang lagi.” jawab si Mandor cepat. Dengan mendengus kesal si Bos berlalu dari situ, tanpa memandang si Tukimin lagi. Kemudian si Mandor melanjutkan ocehannya mengomeli Tukimin yang tertunduk lesu, sementara teman-temannya melihat Tukimin dengan tatapan iba. Namun tak bisa berbuat apa-apa.
Sore harinya, setelah Tukimin menyantap makanannya, dia menyeruput segelas kopi panas, tiba-tiba Udin mendekatinya.
“Min, nanti malam nonton bola, yuk di TV.”
Tukimin menggeleng, “Aku capek, Din. Badanku terasa remuk semua” jawab Tukimin menolak ajakan temannya itu.
“Bukan badanmu aja yang remuk, Min. Hatimu juga kan? Karena kejadian tadi siang kan?” kata Udin sambil menatap Tukimin dengan rasa kasihan.
“Kamu tau ndak Min, aku juga pernah kena damprat Pak Bos, waktu itu dia lagi ngecek gudang, aku nubruk dia sampai dia hampir kejengkang. Habisnya aku kan nggendong gelondongan kain, mana bisa liat dia yang lagi mendekat. Lagian ya, Min, kan sudah ada CCTV, tapi Pak Bos masih kelayapan ngecek-ngecek kurang kerjaan aja. Ribet dah orangnya. Ndak usah masukkin ke hati, Min. Wong gendeng dia tuh.” kata Udin panjang lebar. Tukimin hanya terdiam.
“Tadi itu kamu kenapa toh? Kepleset ya, Min?” tanya Udin kemudian
“Iya, lagian kakiku sudah lemes, Din. Salahnya aku sih terlalu ngoyo, maksa angkat-angkat terus, aku takut gak kekejar waktunya.” jawab Tukimin pelan.
“Wis, Din, aku tak istirahat ya, kamu nontonlah sana, nanti ceritakan sama aku.” kata Tukimin sambil beranjak mau masuk ke kamarnya. Udin tersenyum sambil mengacungkan jempolnya.
***
Tukimin menatap ke arah bawah, ketika tiba-tiba dia mendengar teriakan-teriakan kemarahan dari bawah. Dia sedang berdiri di atas gelondongan kain yang bertumpuk di atas truk. Dia sedang merapikan barisan gelondongan kain-kain itu satu persatu. Sebentar lagi truk akan berangkat. Ah, suara Pak Bos. Kenapa lagi? Siapa yang kena dampratannya lagi? Tukimin melongok ke bawah, dilihatnya Pak Bos membentak-bentak Umar, anak gudang juga.
“Berani kau melawanku? Ayo bilang lagi!” teriak Pak Bos.
“Maaf, Bos, saya cuma bilang saya perlu istirahat sebentar, terlalu capek angkat-angkat terus.” jawab Umar berusaha menjelaskan mengapa tadi waktu si Bos datang dia duduk sebentar melepas lelah.
“Oh kamu capek ya? Oke, mulai sekarang kamu saya pecat. Mandor!” teriak Pak Bos
Mandor datang tergopoh-gopoh.
“Ya, Bos.”
“Pecat dia!”
“Tapi Bos, saya masih butuh kerjaan ini.” kata Umar memelas.
“Bodo amat, katamu capek, kan? Ya sudah berhenti saja.” kata si Bos sambil pergi berlalu tanpa menghiraukan Umar yang kebingungan. Dari atas Tukimin memperhatikan kejadian itu. Hatinya trenyuh melihat nasib temannya itu. Namun seperti biasa dia tak bisa melakukan apa-apa, sama seperti teman-temannya yang lain. Akhirnya Tukimin hanya bisa menelan kembali segala kegundahan di hatinya. Tekanan semakin kuat di tempat kerjanya ini. Pak Bos semakin hari semakin rewel, membuat suasana kerja tidak kondusif lagi. Tukimin semakin hari semakin resah. Harus ada yang bisa mengubah keadaan ini, tapi siapa? Siapa yang bisa?
“Punya mata tidak?!” bentak Pak Bos kepada Tukimin ketika Tukimin berpapasan di tangga dan nyaris menabrak Pak Bos yang sedang sibuk kelayapan. Amarah Tukimin bergemuruh di dadanya , darah mudanya bergolak, berdesir mengusik harga dirinya. Serempak mata Tukimin berpendar melihat sekelilingnya, sepi. Dengan sigap Tukimin memburu Pak Bos dan bermaksud memelintir leher pak boss, dan berniat menghujamkan sebilah obeng tajam ke perut Pak Bos, sedetik kemudian menyobeknya dengan kekuatan penuh. Namun tak sempat tangan Tukimin menjamah tubuh Pak Bos, tiba-tiba Pak Bos terpeleset lalu tergelincir dan tubuhnya menghajar pinggiran tangga dan meluncur deras dari lantai enam ke lantai bawah. Dan tak lama terdengar suara berdentum dari arah bawah dan teriakkan-teriakkan dari banyak orang. Persis suara dentuman kain gelondongan jika terjatuh. Jantung Tukimin seakan berhenti berdegup. Segera dia menyelinap ke kamar mandi, memandang obeng yang dari tadi digenggamnya, mencuci tangannya yang belepotan debu. Lalu membasuh wajahnya yang makin tirus. Dan bergegas ke bawah, mencari tahu keadaan setelah kejadian itu. Anehnya Tukimin tidak merasa takut sama sekali, entah lenyap kemana rasa takutnya itu. Serasa melayang langkah Tukimin menuruni tangga demi tangga menuju ke bawah.
Baca Juga: AMAZING SARAH AND HER LITTLE THINGS
Sampai di bawah Tukimin melihat banyak orang berkerumun. Dan sibuk membicarakan Pak Bos yang terjatuh. Tukimin mendengarkan dengan seksama.
“Pak Boss sekarang dimana?” tanya Tukimin ke Karyo yang kebetulan berdiri di dekatnya
“Dibawa ke rumah sakit, Min. Kamu dari mana toh, kok ndak tau Pak Bos jatuh?” tanya Udin heran.
“Aku dari wc, buang hajat, mules tadi.” jawab Tukimin membuat alibi.
“Weehh, remek, Min. Pak Bos remek pokok ‘e.” kata Karyo menjelaskan keadaan Pak Bos.
“Remek apanya?” tanya Tukimin penasaran. “Mati ndak?” bisik Tukimin takut-takut.
“Belum mati, tapi badannya itu lho Min. Aku lihat dia diangkat tadi sama para satpam, tulang tulangnya patah, tulang lengannya, lehernya, perutnya sobek, ususnya terburai, sepertinya terkoyak besi-besi tangga yang dibiarkan lancip-lancip tuh, Min.”
“Tapi masih hidup?” tanya Tukimin semakin penasaran.
“Ya semoga masih hiduplah Min. Janganlah mati dengan keadaan begitu.” jawab Karyo bingung.
“Maksudku, kamu liat dia masih bernafas gak?” kejar Tukimin gemas
“Masih, tenggorokannya bunyi kayak ngorok gitu.”
Tukimin segera berlalu. Dia melanjutkan pekerjaannya, sambil terus mendengarkan semua pembicaraan teman-temannya. Hati Tukimin khawatir. Khawatir kalau Pak Bos masih hidup dan mengenali kalau Tukimin bermaksud membunuhnya. Hmm, bagaimana dengan CCTV? Tukimin tersentak, bergegas Tukimnin berlari kembali ke lantai 6, terengah-engah dia, nafasnya hampir putus ketika dia sampai di tangga lantai 6, matanya nyalang mengawasi ke atas, ke langit-langit, ke setiap sudut. Tukimin tak paham cara kerja CCTV. Bagaimana kalau bisa merekam kejadian tadi? Bagaimana jika polisi menemukan kejanggalan dari kejadian ini? Bagaimana kalau Pak Bos tidak mati? Bagimana jika terlihat betapa dekatnya dia tadi dibelakang Pak Bos? Polisi pasti curiga. Perasaan Tukimin berkecamuk tak karuan. Pelan-pelan dia turun kembali dengan berjuta pertanyaan dan segunung ketakutan yang tersimpan di hatinya.
***
Beberapa hari kemudian keadaan masih sedikit mencekam, menurut kabar yang Tukimin dengar, dua jam setelah kejadian jatuhnya Pak Bos, ternyata Pak Bos menghembuskan nafas dalam perjalanan ke rumah sakit. Esok harinya Pak Bos dimakamkan. Keluargannya sangat berduka. Anak tertua Pak Bos pulang dari Amerika, anak keduanya juga datang dari Jepang. Pak Bos mempunyai dua anak. Istrinya sangat sedih dan merasa kehilangan, kesedihan masih terasa menyelimuti suasana pabrik. Dua hari setelah kejadian, polisi terlihat mondar-mandir keluar masuk pabrik. Tukimin semakin was-was, namun dia berusaha tidak mengkuatirkan semua itu. Beberapa orang dimintai keterangan. Pertanyaan-pertanyaan standar seputar kebiasaan Pak Bos sehari-hari yang suka berjalan hilir mudik kesetiap area meninjau anak buahnya. Hari keempat Tukimin sempat melihat beberapa polisi menunjuk-nunjuk ke arah CCTV di lantai atas. Jantung Tukimin berdegup kencang.
“Min, CCTV itu apa bisa mengungkapkan sesuatu gitu, Min?” bisik Karyo di dekat Tukimin yang sedang sibuk mengatur gelondongan kain. Tukimin terkejut mendegar pertanyaan Karyo.
“Tuh, polisi lagi sibuk periksa CCTV.” lanjut karyo.
“Ya mana tau aku, Yo.” jawab Tukimin sambil berlalu.
Hatinya semakin tidak karuan, bagaimana jika ternyata CCTV di lantai 6 merekam kejadian itu? Tiba-tiba dia merasa bersalah, rasa bersalah sekaligus ketakutan masuk penjara membuat buku kuduknya merinding. Bagaimana dengan bapak ibunya? Apa kata keluarganya nanti. Tukimin terbukti berniat membunuh bossnya.
Seminggu kemudian, ketika Tukimin bersiap merebahkan tubuhnya, matanya sudah terpejam, Udin dan Karyo sibuk membahas CCTV pabrik. Jantung Tukimin kembali berdegup kencang.
“Ternyata CCTV dilantai 6 sudah lama tidak berfungsi. Dibiarkan begitu saja.” kata Udin. Tukimin mencoba mendengarkan pembicaraan kedua temannya dengan seksama.
“Ya, siapa yang berani pasang CCTV disitu, lantai 6 kan terkenal banyak hantunya.” jawab Karyo kalem. “Paling dipasang sebentar terus mati lagi, mati lagi hahaha.” lanjut Karyo geli.
“Mana ada hantu mau dishooting ya, Yo?” timpal Udin kemudian.
“Eh, jangan-jangan Pak Bos dijungkrake hantu ya, Din. Didorong sama hantu, sampai jatuh begitu. Kan katanya mertuanya dulu juga terjatuh dari lantai 10 lho. Dulu mertua Pak Bos itu kata orang lebih jahat dari Pak Bos ini. Mungkin saja hantu-hantu itu sangat membenci orang jahat yang hidup di tempat ini.” kata Karyo tiba-tiba. Bulu kuduk Tukimin merinding.
“Ah, jangan ngomong gitu kamu, ini malam jumat kliwon.” sergah Udin dengan rasa takut.
“Wis ayo turu.” sahut Tukimin menenangkan kedua temannya.
“Weeh. Belum tidur toh kamu, Min.” Tukimin tersenyum sambil menarik kain sarungnya. Perasaannya lega seketika. Setidaknya sudah ada yang berubah di pabrik ini. Satu orang jahat berkurang. Dengar-dengar anak tertua Pak Bos akan menggantikannya. Dan kabarnya lagi anaknya itu jauh lebih baik daripada ayahnya. Semoga. Pelan-pelan Tukimin memejamkan mata.
‘Aku memang pembunuh, ingin membunuh dalam batinku, tapi apakah aku pembuat perubahan itu sesungguhnya, ataukah para hantu itu?’ bisiknya pelan sambil tersenyum.
***
Catatan:
- Kretek-kretek: berderak
- Ceklek: patah
- Turu: tidur
- Remek: remuk
- Dijungkake: didorong dengan keras
Baca Juga: Mimpi dalam Mimpi