Mimpi dalam Mimpi


“Aku benar-benar melihatnya, An.”

Dia terus saja mengatakan kalimat itu untuk meyakinkanku. Sebenarnya aku sendiri sudah percaya dari tadi dengan semua omong kosong ini. Tapi dia masih saja terus memberondongiku dengan pernyataan yang sama.

Apakah kalian akan percaya juga?

Begini katanya.

*** 

Aku suka mendengarkan musik sebelum tidur. Seperti sudah menjadi candu bagiku. Ketika hendak tidur, aku harus memasang earphone di kedua telingaku dan memutar alunan musik yang menenangkan. Dengan begitu aku baru akan bisa tertidur nyenyak.

Aku tahu, terlalu sering menggunakan earphone tidak baik untuk kesehatan telinga. Jika tidak berhati-hati, hal itu bisa berujung fatal. Namun, aku baru bisa merasa tenang jika setelah mendengarkan lagu-lagu favoritku menggunakan earphone ini. Setiap alunan nada dan syair yang disampaikan serasa mewakili perasaanku selama ini. Dunia malam dengan segala keheningannya seakan berpihak padaku.

Aku beranjak ke tempat tidur pukul satu dini hari. Memang pada jam-jam itulah biasanya aku baru bisa tertidur. Masih dengan earphone yang menancap di telingaku, aku mencoba memejamkan mata dan berharap bertemu dengannya kali ini. Entah mengapa, aku seperti mendapat sebuah firasat. Firasat akan terjadi sesuatu dalam tidurku malam ini.

Semoga aku bisa melakukannya malam ini.

Tak lupa aku melakukan peregangan sebelum tidur, rileks. Mencari posisi berbaring ternyaman dan mencoba fokus. Hingga tak lama kemudian aku berhasil terlelap. Aku benar-benar tertidur nyenyak.

Sekitar pukul lima pagi, aku terbangun. Aku melihat ke arah jendela, suasana masih cukup gelap. Aku pun kembali terpejam.

Tak lama kemudian, aku terbangun lagi. Aku mengedarkan pandangan dan kulihat suasana di luar jendela sudah mulai terang. Cahaya mulai menyebar. Namun lagi-lagi aku masih merasa ngantuk. Aku pun berniat untuk tidur kembali. Lima menit saja, batinku.

Sebelum aku memejamkan mata, pandanganku tertahan pada sesuatu yang tergantung di langit-langit kamarku. Sebuah tali hitam. Aku mengernyit, tali hitam apakah itu?

Deg!

Aku tahu betul, aku tak pernah menggantung benda apa pun di atas sana. Aku pun tersentak dan langsung menyadari bahwa aku sedang bermimpi.

Lucid!

Tali hitam itu seperti mewakili kotak pandora mimpiku. Aku mencoba sedikit menggeser tubuhku untuk memastikan bahwa aku tidak sedang berhalusinasi. Tali itu berayun pelan seperti tertiup angin. Sementara aku terus meyakinkan diri atas apa yang tengah aku alami.

Ini lucid! Ini lucid!

Tiba-tiba saja kamarku seperti mulai bergerak. Perlahan bertransformasi dan segalanya berubah. Aku hanya bisa terdiam, takjub dengan perasaan campur aduk, tidak tenang.

Aku seperti diajak berpindah ke dimensi lain, namun masih dalam ruangan yang sama, dengan posisi tubuhku yang masih terbaring diam di atas kasur. Hanya saja nuansanya sangat berbeda sekarang.

Kondisi ruangan hanya diterangi dengan lampu tidur temaram. Dengan nuansa cahaya berwarna biru keunguan. Cahaya itu terus berputar di dalam ruangan. Namun gerak perputaran cahaya itu sangat pelan dan terasa hangat.

Lagi-lagi aku dibuat takjub oleh keadaan langit-langit ruangan itu. Aku melihat ada banyak sekali gaun tergantung di atas sana, dengan berbagai macam model dan warna. Dan tentu saja masih ada talli hitam itu. Kupikir hanya benda itulah yang tidak berubah.

Di salah satu sudut ruangan, ada sebuah meja rias yang sangat besar dengan berbagai macam peralatan rias berjejer rapi di atasnya. Aku juga melihat beberapa benda lain mengapung di udara. Suasananya seperti sedang berada di luar angkasa.

Aku pun akhirnya memilih bangun dan terduduk. Memandangi tangan dan anggota tubuhku seraya terus meyakinkan diri bahwa semua ini adalah mimpi. Mimpi yang kusadari. Dan perasaanku mulai tenang sekarang.

Tunggu! Aku jadi teringat akan satu hal. Dan aku berniat untduk mempraktikkannya.

“Tolong, siapa saja, bantu aku untuk bangun!”

Kalimat itulah yang pertama kali keluar dari mulutku. Dan aku percaya, bahwa aku tengah berbicara dengan alam bawah sadarku. Meski tak melihatnya, namun aku yakin dia ada di sini.

Tiba-tiba tubuhku terangkat dengan sendirinya. Dan aku dalam posisi berdiri sekarang. Sekali lagi, aku telah dibuat takjub. Aku mulai berjalan ke sisi tempat tidurku. Lantainya terasa dingin. Pandanganku tak lepas dari deretan gaun yang tergantung di langit-langit ruangan itu. Sempat terpikir olehku, aku ingin mencoba mengenakan salah satu gaun yang tergantung itu.

“Bantu aku memilih!” pintaku padanya.

Kamu tahu siapa yang tengah aku ajak bicara, kan?

Rasanya sedikit terkejut ketika mendadak tubuhku terangkat ke arah salah satu gaun yang tergantung itu. Apakah aku benar-benar sedang terbang sekarang?

Oh, ini pilihannya. Batinku.

Entah mengapa aku tidak suka dengan model maupun warnanya. Mungkin karena gaun itu terlalu feminim bagiku. Dan itu sangat tidak sesuai dengan tipe berpakaianku.

Akhirnya kuurungkan niatku untuk mencoba mengenakannya. Dan seketika tubuhku diturunkan kembali. Aku nyaris tidak menyadarinya.

Aku melanjutkan langkahku untuk memeriksa sudut ruangan yang lain. Karena mungkin terlalu senang, sedari tadi aku tak berhenti tersenyum.

Ingin rasanya aku mengekspresikan betapa senangnya diriku saat ini dengan lompat-lompat kegirangan, misalnya. Namun kuurungkan. Karena aku takut, kalau sampai aku terbangun nanti, kesadaranku dalam mimpi takkan ada bedanya dengan saat aku tersadar di dunia nyata.

Aku tahu betul. Dan aku benar-benar tidak bercanda soal itu.

Bosan. Sebenarnya aku merasa sedikit kesepian karena seorang diri di ruangan yang cukup luas itu. Aku berniat untuk mengajak teman alam bawah sadarku agar bersedia menampakkan diri, menemaniku di sini. Aku akan mencobanya.

“Ce, kita boleh ketemu?” tanyaku pelan.

Hening. Tak ada jawaban.

“Boleh ya?” tanyaku lagi sedikit memelas.

Namun masih tidak ada respon apa pun. Aku berniat membujuknya lagi. Kupikir akan berhasil kali ini.

“Ce, boleh ya? Please!” nada bicaraku semakin memelas.

Tetap saja hening. Masih belum ada jawaban apa pun.

Namun tiba-tiba sebuah cermin di meja rias yang besar itu bergerak. Lantas aku pun tersentak. Cermin itu perlahan berubah menjadi sebuah benda yang lentur dan akhirnya meleleh.

Aku semakin dibuat terperangah. Dari dalam cermin yang sudah meleleh itu, tiba-tiba muncul sebuah rambut berwarna coklat, kemudian wajah, tangan, dan akhirnya dia muncul begitu saja di hadapanku sebagai sosok anak kecil yang sangat lucu.

Ya, dia akhirnya menampakkan diri.

Dengan mata abu-abunya, dia menatapku lekat sembari menyunggingkan senyum. Dia berwujud gadis kecil yang tingginya kurang dari sepinggang. Wajahnya terlihat lucu sekali, seperti boneka. Sangat menggemaskan.

Aku sangat senang melihatnya dan bergegas mendekat untuk memeluknya. Tubuhnya yang mungil sangat nyaman dipeluk. Seketika aku merasakan ketenangan luar biasa.

“Nama kamu siapa?” tanyaku dengan masih memeluk tubuh mungilnya.

“Shura,” jawabnya pelan. Namun masih bisa terdengar.

Nama yang unik, pikirku. Entah kenapa, aku sangat suka dengan nama itu. Terdengar begitu anggun untuk sosok mungil anak itu.

“Shura, kita berteman ya, sekarang?”

Perlahan, aku melepas pelukan. Kutatap matanya yang abu-abu itu dengan lekat. Dia mengangguk pelan. Gemas sekali. Aku bahagia karena dia menerima ajakan pertemanan dariku.

Aku ingin lebih akrab lagi dengannya, ingin mengenalnya lebih dekat. Aku memintanya untuk menunjukkan hal-hal menarik lainnya yang ada di ruangan itu. Namun entah mengapa, tiba-tiba saja pandanganku mulai kabur. Kupikir karena terlalu asyik dan fokus dengan Shura, aku benar-benar lupa untuk terus mengingatkan diri bahwa aku sedang di dalam mimpi. Bahwa yang aku alami saat ini adalah lucid.

Shura masih terus mengajakku berbicara, menjelaskan ini dan itu. Menunjukkan banyak hal sambil terus menggandeng lenganku. Namun aku sudah tak dapat mendengarnya lagi. Semuanya mendadak hening.

Aku mencoba fokus. Menajamkan pandangan dan pendengaranku lagi. Namun terlambat. Seketika semuanya menjadi gelap gulita dan tubuhku mendadak lemas. Hingga akhirnya benar-benar tidak ingat dengan apa yang terjadi setelahnya.

*** 

Dan begitulah akhir cerita omong kosongnya. Namun entah mengapa, aku mempercayai omong kosong itu. Ini semua hanya tentang mimpi. Dan bukankah setiap orang pernah bermimpi? Tentu saja, kita semua memiliki mimpi masing-masing. Kau boleh bermimpi. Kau pun  bisa mengendalikannya. Tapi jangan lengah. Kau bisa terbuai dan akan menghancurkannya.

“Aku benar-benar melihatnya, An.” Dia kembali mengatakan kalimat itu untuk meyakinkanku.

“Aku tahu.”

 

Tulungagung, 30 Oktober 2022

 

 

Baca Juga: AMAZING SARAH AND HER LITTLE THINGS

 

BekelSego adalah media yang menyediakan platform untuk menulis, semua karya tulis sepenuhnya tanggung jawab penulis.


Like it? Share with your friends!

One Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *