CerpenSastra

TAWAKAL CINTA

Malam ini begitu pekat, di luar udara sangat dingin menusuk, rupanya hujan deras kembali turun. Di dalam sebuah kamar kost yang sederhana Bram justru terjaga akan kegelisahannya. Kegelisahan yang mungkin baru pertama kali ia rasakan, yang terselip rasa bahagia tapi juga tertancap rasa takut, dan entah ribuan rasa yang bergumpal menjadi satu.

“Kenapa aku terus memikirkannya?” tanyanya dalam hati.

“Mana mungkin aku bisa mendapatkannya?” lanjutnya yang seakan memupus semuanya.

Astaghfirullah. Ampuni aku Ya Allah jika terlalu berlebihan” jawabnya dalam hati.

Bergegas Bram bangun dan pergi mengambil air wudhu di ruang belakang kost. Sudah hampir setahun Bram tinggal di rumah kost. Tiga bulan setelah ibunya meninggal, ia memutuskan meninggalkan rumah, karena tidak ingin selalu terbayang-bayang wajah ibunya tercinta. Setelah sekian tahun merawat ibunya yang sakit, Bram benar-benar sangat kehilangan.

Jarak kost yang hanya satu kilometer dengan sekolah tempatnya mengajar membuat dia lebih banyak waktu untuk melakukan aktifitas lain. Termasuk mengikuti kajian di beberapa masjid yang hampir tiap malam silih berganti. Selain itu ia juga mengajar di sebuah sekolah tinggi swasta kala sore hari untuk menambah uang sakunya meski saat ini sudah berstatus sebagai guru.

Bram bergegas melaksanakan sholat tahajjud dengan khusyuk. Suara petir yang terdengar samar-samar sekan mengiringi doanya. Doa untuk kedua orang tercinta yang telah tiada dan doa untuk menghilangkankan ketakutan dan kegelisahannya.

“Ya Allah, ikhlaskan aku menghadapi semua ini, ampunilah yang terhanyut dalam gemerlap dunia. Kuatkan imanku dan berikan yang terbaik bagi hidupku.” Itulah bagian dari doa yang dipanjatkan Bram di sepertiga malam yang dingin dan penuh kegelisahan.

Bagaimana tidak gelisah, pertama kali dalam hidupnya Bram merasakan hati yang berwarna-warni setelah bertemu dengan wanita yang sangat cantik. Ya, wajah wanita berkulit putih bermata teduh bersuara lembut dan rapi serta cara berpakaian dan gestur yang amat sangat sopan ini benar-benar sudah meluluhlantahkan pikirannya. Sosok wanita sempurna yang baru dijumpainya. Pertemuan tidak sengaja ketika pulang mengkuti pengajian di Masjid Al Firdaus kala sandal mereka tertukar benar-benar sangat membekas. Rasanya ingin mengulang kembali peristiwa langka itu sekali lagi.

Pertemuan kedua lebih menukik di jantung, kala itu rombongan sekolah sedang menjenguk rekan guru di rumah sakit, tidak sengaja mereka berpapasan. Di sinilah Bram tahu bahwa ‘bidadari surga’ itu bernama Khumaira, tepatnya Dokter Khumaira. Subhanallah, cantik, cerdas, dan sholehah.

Sebuah harapan dan keinginan, tapi Bram sadar akan kemampuan diri yang hanya seorang guru. Secara sembunyi-sembunyi Bram mencoba mencari tahu tentang Dokter Khumaira. Namun, bagaimana tidak hancur hatinya setelah mendengar kabar dari seorang teman perawat bahwa Dokter Khumaira telah dilamar oleh putra Ustadz Furqon 3 minggu lalu, ustadz muda yang memiliki suara merdu saat menjadi imam sholat sekaligus pemilik lembaga keuangan syariah terkenal di kota ini. Hal itu diperparah dengan kabar dari rekan gurunya di sekolah bahwa ia baru saja mengantarkan saudaranya yang seorang kontraktor muda yang cukup terkenal untuk melamar seorang dokter yang bernama Khumaira. Meskipun semua itu belum ada jawaban pasti, tapi Bram merasa bahwa peluang yang dimilikinya sangat kecil, atau bisa dikatakan habis.

***

Hari Minggu ini tidak seperti biasanya Bram tidak pulang ke rumah, ia lebih memilih berada di kost.

“Tidak pulang to, Mas?” tanya Ustadz Budi usai sholat dhuhur di masjid.

“Tidak Tadz, lagi malas kemana-mana.” jawab Bram sekenanya.

“Kalau tidak ada acara, mau menemani saya? Saya mau ke tempat Pak Rahmat. Ayolah.” Ajak Ustadz Budi.

“Pak Rahmat itu siapa?” gumam Bram dalam hati. “Boleh Tadz, daripada di kost sendirian tidak ada kegiatan.” Sahut Bram setelah berpikir sejenak.

Akhirnya mereka berdua berangkat ke rumah Pak Rahmat yang berjarak kira-kira satu kilometer dari masjid. Di jalan Ustadz Budi menjelaskan tentang Pak Rahmat dan keluarganya. Pak Rahmat itu adalah kepala sekolah di sebuah sekolah dasar sekaligus guru agama. Sementara Bu Farida, istri Pak Rahmat adalah seorang pegawai di Kementerian Agama. Keluarganya sangat religius dan memegang teguh nilai akidah, tetapi bisa bergaul baik dengan tetangga sekitar. Selain itu pak Rahmat dan keluarga dikenal murah bersedekah karena didukung kondisi ekonomi yang mapan. Selain sebagi seorang PNS, keluarga pak Rahmat juga punya toko sembako yang cukup besar. Bahkan putrinya juga juga membuka toko busana muslim serta apotik.

“Mas Bram sebenarnya sudah sering bertemu tapi mungkin tidak tahu namanya, beliau rajin datang di kajian rabu malam kok, bahkan Pak Rahmat malah sudah tahu tentang Mas Bram,” kata Ustadz Budi

“Yang benar Tadz, jadi malu saya.” sahut Bram.

“Putrinya juga cantik lho, Mas.”

Bram hanya tersenyum kecil. Secantik apapun putri Pak Rahmat, rasanya belum bisa menandingi ‘bidadarinya’, Dokter Khumaira.

***

Sesaat kemudian mereka telah tiba di tempat tujuan. Rumah Pak Rahmat cukup besar dan bersih, tamannya sangat indah dengan berbagai bunga yang ditanam, diatur rapi serta dirawat dengan baik. Rumah bercat putih dengan hamparan rumput menghijau di halaman benar-benar membuat suasana yang sejuk, ditambah beberapa bunga warna-warni yang menjadikannya semakin asri untuk dipandang.

Setelah mengucapkan salam, Pak Rahmat keluar dan bersalaman dengan kami.

“Selamat datang di gubug saya Mas Bram.” sambil beliau sambil tersenyum dan menjabat tangan Bram dengan erat.

“Kok, beliau sepertinya kenal dengan saya ya.” Gumam Bram.

Setelah dipersilahkan mereka segera memasuki ruang tamu. Selanjutnya Pak Rahmat dan Ustadz Budi ngobrol kesana kemari, Bram hanya memperhatikan sekitar. ‘Rumah yang indah dan teduh’ ucapnya dalam hati. Tak lama kemudian Bu Rahmat muncul dengan membawakan teh hangat serta beberapa makanan.

“Monggo silahkan”, kata Bu Rahmat lembut.

Suasana berbincang semakin hangat disertai candaan khas Ustadz Budi.

“Mas Bram, maaf sebelumnya, kedatangan kita kemari sebenarnya atas undangan Pak Rahmat. Beliau sudah lama menyimpan semua ini, namun seperinya belum ada waktu yang tepat untuk menyampaikan. Tapi seandainya Mas Bram tidak berkenan mohon bisa menyimpan rahasia ini. “ Ustadz  Budi tiba-tiba mengganti topik pembicaraan dan Bram hanya mengangguk penasaran.

“Beberapa waktu yang lalu ada 2 orang yang melamar putrinya, tapi Pak Rahmat dan terutama putrinya sendiri belum bisa menerima karena sesuatu hal. Di sisi lain Pak Rahmat ingin agar putrinya segera menikah agar tidak timbul fitnah.” Ustadz Budi melanjutkan penjelasannya panjang lebar tentang putri Pak Rahmat.

“Maaf sebelumnya. Bapak sudah banyak mendengar tentang Mas Bram dan di sisi lain bapak ingin anak semata wayang bisa mendapat pendamping yang baik,” kata Pak Rahmat. ”Akhir-akhir ini Bapak tanpa izin banyak mencari informasi tentang Mas Bram. Salah satunya lewat Ustad Budi. Entah kenapa bapak mempunyai rasa yang berbeda saat pertama kali melihat Mas Bram saat di masjid. Dan setelah beberapa informasi yang bapak peroleh, diskusi dengan istri, dan tentunya memohon petunjuk kepada Allah, bapak berniat memperkenalkan putri bapak kepada panjenengan.” kata Pak Rahmat.

Bram mendesah dalam hati, rasanya dia ingin marah dengan Ustadz Budi. Tiba-tiba Bram teringat dengan wanita dalam khayalannya, Dokter Khumaira. Ingin rasanya ia cepat-cepat pergi dari tempat ini. Namun ia segera mencoba untuk bersikap tenang.

“Saat ini Ira pergi ke rumah neneknya. Mungkin Mas Bram pernah melihatnya, ini putri bapak.” lanjut Pak Rahmat sambil menyodorkan sebuah foto perempuan. Jujur, Bram malas membuka foto itu, tapi demi menghormati Pak Rahmat dan Ustadz Budi, dengan seperempat hati dia buka foto itu.

Tiba-tiba aliran darah seperti membeku dan nafasnya serasa berhenti. Bagaikan petir yang memekik menyambar di siang hari yang terik. Bram benar-benar terkejut. Untuk beberapa saat suasana ruang tamu Pak Rahmat tampak hening.

Bram merasakan matanya terasa perih dan menetes air mata bahagia. Foto perempuan di tangannya benar-benar telah membuat seluruh persendian seakan lemas tak berdaya. Sempat terpikir dalam benaknya, apakah ini adalah mimpi?

Namun, dia masih bisa berucap ”Subhanallah.”ucap Bram lirih.

“Itu putri saya mas, Khumaira” kata Pak Rahmat tersenyum.

Baca Juga: Di Batas Khayal

BekelSego adalah media yang menyediakan platform untuk menulis, semua karya tulis sepenuhnya tanggung jawab penulis.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button