Sejarah

Menyoal Harkitnas, Benarkah Diawali Dari Berdirinya Boedi Oetomo?

Memang, sejarah tidak akan pernah lepas dari berbagai persoalan. Entah itu kontroversi, politik, kepentingan, atau hal lain yang membuat sejarah itu akan terus menjadi bahan perdebatan. Saya akui memang saya bukanlah orang yang ahli dalam bidang sejarah. Namun, saya suka membaca sejarah.

Perbedaan pandangan di kalangan sejarawan, menurut saya adalah hal yang unik dan memang sudah seharusnya terjadi. Toh, bukankah Tuhan memang menciptakan perbedaan sebagai rahmat? Dan adanya perbedaan itu bukankah tanda sebuah kekayaan?

Misalnya saja tentang Harkitnas ini. Banyak sejarawan yang mengkaji sejarah tentang awal mula diperingatinya Harkitnas ini. Sebagian dari mereka menyatakan bahwa tanggal 20 Mei diambil dari tanggal dibentuknya organisasi pergerakan nasional bernama Boedi Oetomo. Namun, ada pula sejarawan yang “kurang” setuju dengan penetapan ini dengan berbagai argumentasi yang menguatkan pendapatnya.

Saya disini tidak akan mengulas tentang pro dan kontranya seperti apa serta bagaimana argumentasi mereka. Saya disini hanya akan sedikit mengulas tentang pandangan Ahmad Mansur Suryanegara dalam penetapan Harkitnas. Dalam bukunya yang berjudul Api Sejarah, ia telah menjelaskan tentang awal mula penetapan Harkitnas ini.

Buku yang sangat kontroversial ini sangatlah berbeda dengan buku-buku sejarah pada umumnya. Banyak sejarawan yang menyanggah bahkan mengkritik isi dari buku Api Sejarah ini. Nampaknya, dengan buku hasil karangannya, Ahmad Mansur Suryanegara mampu menciptakan kontroversi dalam khazanah ilmu sejarah di Indonesia. Terlepas dari segala kontroversinya, mari kita ulas sedikit tentang Harkitnas.

Awal Mula Penetapan Harkitnas

Penetapan Harkitnas ini bermula pada saat pemerintahan Kabinet Hatta, di era Orde Lama. Saat itu, Indonesia sedang menghadapi berbagai pergolakan, baik dari dalam maupun luar. Pergolakan dari dalam antara lain perlawanan dari Tan Malaka dan Moh. Yamin terhadap pemerintah, sedangkan pergolakan dari luar adalah usaha Belanda untuk kembali menjajah Nusantara. Melihat situasi ini, Kabinet Hatta merasa perlu untuk membangkitkan kembali kesadaran nasional untuk melawan penjajah.

Untuk membangkitkan kesadaran tentang persatuan nasional itu, diperlukan penentuan mengenai tanggal dan organisasi awal yang dianggap mempelopori gerakan kebangkitan nasional, utamanya di era abad ke-20 M. Organisasi yang dipilih adalah organisasi Boedi Oetomo, yang dianggap mewadahi pergerakan kebangkitan nasional saat itu. Bukan organisasi politik, pendidikan, maupun organisasi Islam.

Baca Juga:

Anggota dari Boedi Oetomo sangat konservatif

Boedi Oetomo merupakan organisasi yang mewadahi kaum bangsawan Jawa. Kaum bangsawan yang menjadi anggota dari Boedi Oetomo adalah mereka-mereka yang menganut agama Jawa atau biasa disebut Kejawen. Ideologi yang diusung oleh Boedi Oetomo adalah Nasionalisme Jawa.

Pasca kongres pertama Boedi Oetomo tanggal 3 Oktober 1908, pimpinan organisasi ini beralih dari Soetomo ke tangan seorang bupati Karang Anyar bernama Raden Adipati Tirtokoesoemo. Pada zaman kolonial, para bupati merupakan tangan kanan dari penjajah Belanda yang sangat loyal.

Pada kongres kedua Boedi Oetomo tanggal 11-12 Oktober 1909, Tjipto Mangoenkoesoemo pernah mengusulkan agar Boedi Oetomo menjadi organisasi yang terbuka. Ia mengusulkan agar keanggotaan organisasi tidak hanya bangsawan Jawa, tetapi semua orang yang hidup, lahir, dan mati di Nusantara.

Usulan ini ditolak oleh Radjiman Wediodiningrat. Akibatnya, Tjipto Mangoenkoesoemo menyatakan keluar dari Boedi Oetomo diikuti oleh Soewardi Soerjaningrat (Ki Hadjar Dewantara). Hal ini disebabkan Boedi Oetomo bersifat eksklusif dan tidak sejalan dengan pemikiran mereka berdua.

Sikap Djawanisme yang dijunjung oleh Boedi Oetomo sangatlah kuat. Organisasi ini memang berisi orang-orang yang pandai secara intelektual, tetapi pola pikir mereka sangatlah konservatif. Mereka memutuskan asas organisasi adalah Agama Jawa. Bahkan, tahun 1915 ada slogan dari mereka Leve pulau Jawa, Leve bangsa Jawa, dan Leve Boedi Oetomo (Hidup pulau Jawa, hidup bangsa Jawa, dan hidup Boedi Oetomo).

Arah Gerak Boedi Oetomo

Sebelum Boedi Oetomo terbentuk, sudah ada organisasi lain yang mempunyai cita-cita persatuan nasional. Organisasi itu bernama Djam’iyat Choir. Organisasi ini bernafaskan Islam dan dipelopori oleh para ulama. Organisasi ini berdiri tahun 1905 di Jakarta. Di samping itu, di Surakarta berdiri organisasi para saudagar pribumi yang bernama Sjarikat Islam. Organisasi ini didirikan oleh H. Samanhudi untuk mewadahi saudagar Islam yang bersaing dengan saudagar Tionghoa.

Bupati Serang, Achmad Djajadiningrat memiliki gagasan untuk berdirinya organisasi lain untuk mengimbangi kedua organisasi Islam tersebut. Diantara gagasannya adalah organisasi yang dibentuk harus mewadahi para bangsawan yang mirip dengan Djam’iyat Choir. Gagasan itu ditangkap oleh Soetomo untuk mendirikan organisasi.

Jika diperhatikan, nama Boedi Oetomo merupakan istilah Bahasa Jawa yang merupakan terjemahan dari Djam’iyat Choir. Bedanya, Djam’iyat Choir berasaskan Islam sedangkan Boedi Oetomo bernafaskan Kejawen. Sebagai organisasi tandingan, tak heran jika Boedi Oetomo sangat menentang ajaran Islam.

Boedi Oetomo sangatlah konservatif karena hanya menerima anggota orang Jawa keturunan bangsawan saja. Dalam kongres tahun 1928, Boedi Oetomo memutuskan menolak cita-cita persatuan nasional di usianya yang ke 20. Dalam buku Api Sejarah juga disebutkan, bahwa Boedi Oetomo dalam surat kabar Djawa Hisworo pernah menghina Rasulullah dalam tulisannya. Namun, dalam buku tersebut tidak dijelaskan penghinaan yang dimaksud itu seperti apa atau isi dari surat kabarnya itu bagaimana.

Baca Juga:

Kebangkitan nasional tidak hanya diinisiasi umat muslim saja

Berdasarkan penjelasan diatas, pastilah akan timbul berbagai pertanyaan di benak anda semua. Benarkah demikian? Pertanyaan itu memang wajar jika muncul di benak anda sebagai pembaca. Sebab, kita sudah terlalu sering dalam memahami dan mendengar bahwa kebangkitan nasional dipelopori oleh Boedi Oetomo.

Saya secara pribadi pun tidak secara penuh mempercayai begitu saja apa yang tertulis di buku Api Sejarah ini. Bagi saya, terlepas itu benar atau tidak, saya berpendapat bahwa kebangkitan nasional di Indonesia ini tidak hanya diinisiasi oleh umat muslim saja. Tentunya, ada juga peran mahasiswa, kaum adat, gerilyawan, atau golongan lain.

Saya juga tidak menelan mentah isi buku tersebut yang banyak menampilkan Islam sebagai golongan yang banyak memberikan sumbangsih kepada negara Indonesia ini. Menurut saya pribadi, Indonesia ini adalah negara multikultural, yang mana semua elemen dalam negara ini juga mempunyai sumbangsih yang luar biasa terhadap berdirinya NKRI.

Maka sebagai pembanding, masih banyak buku-buku lain yang juga membahas tentang ini. Misalkan saja buku Sejarah Indonesia Modern karangan M.C Ricklefs, guru besar Sejarah asal Singapura. Atau juga buku Indonesia dalam Arus Sejarah yang ada 8 jilid. Masih banyak juga karangan para sejarawan lain yang tidak kalah kredibel dalam menyajikan fakta sejarah yang ada. Wallahu A’lam Bis Shawab.

Baca Juga: Pemilu Yang Memilukan, Tantangan Serius Bagi Sistem Demokrasi di Indonesia

BekelSego adalah media yang menyediakan platform untuk menulis, semua karya tulis sepenuhnya tanggung jawab penulis.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button