Mengenal Sejarah Ibadah Haji, Dari Zaman Nabi Ibrahim Hingga Saat Ini
Ibadah haji menjadi menjadi salah satu rukun islam. Hukum melakukannya adalah wajib untuk orang-orang yang tergolong mampu dan juga sudah siap.
Menurut KBBI, ibadah haji didefinisikan sebagai berkunjung ke Makkah untuk beribadah seperti ihram, tawaf, sai, dan wukuf pada bulan haji.
Haji bukan sekedar ibadah biasa. Di dalam ibadah haji terdapat pesan moral serta nilai lebih yang bisa diambil. Ketika seseorang melakukan ibadah haji secara khusus, orang tersebut akan merasakan betapa besarnya karunia Allah atas apa yang ada di langit dan di bumi.
Manusia kembali diingatkan bahwa ada salah satu kuasa Allah yang bertahan hingga sekarang. Tentu jika dipikir kembali tidak ada yang mampu bertahan lama tanpa kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ka’bah menjadi saksi nyata yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala kehendaki sejak pertama kali dibangun. Sebelum berdiri megah seperti sekarang, Baitullah telah menyematkan sejarah kerohanian yang panjang. sejarah ibadah haji tidak terlepas dari andil besar nabi Ibrahim as.
Pertama kali Allah perintahkan pembangunan ka’bah kepada nabi Ibrahim tujuannya untuk dijadikan sebagai kiblat umat muslim.
Nabi Ibrahim diperintahkan untuk menyebarkan ajaran tauhid dengan menyembah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Abu al- Tauhîd adalah julukan nabi Ibrahim a.s., namun di balik gelarnya tersebut, terdapat lika liku panjang yang harus dihadapi.
Pada saat itu, nabi Ibrahim telah rampung menyelesaikan bangunan ka’bah dan beliau akhirnya menyerukan ajaran untuk menyembah dan menyerukan ajakan untuk menziarahi ka’bah dengan tujuan beribadah kepada Allah semata.
Sejarah Ibadah Haji – Ajaran Nabi Ibrahim A.S
Ajaran nabi Ibrahim yang dilakukan bersama putranya Ismail as itu (mulai dari membangun ka’bah sampai kepada diwajibkan seluruh umat Islam untuk mengikuti ritual yang dilakukannya itu). Dengan dasar itu hukum haji adalah wajib. Hanya karena Allahlah haji itu diwajibkan kepada manusia, yaitu barang siapa yang mampu berziarah ke Baitullah.
Kewajiban seperti ini menjadi pedoman hidup dan kehidupan bagi masyarakat haji di kemudian hari yang pada hakekatnya memberikan ajaran inti.
- Pengakuan akan keesaan Tuhan serta penolakan segala macam dan bentuk kemusyrikan, baik berupa menyembah patung, bintang dan lain-lain.
- Keyakinan tentang adanya neraca keadilan Tuhan dalam kehidupan ini dan puncaknya akan diperoleh setiap mahluk ketika di hari kebangkitan nanti.
- Keyakinan tentang kemanusiaan yang bersifat universal, tiada perbedaan dalam kemanusiaan seseorang dengan lainnya.
Ketiga inti ajaran ini tercermin dengan jelas atau dilambangkan dalam praktek-praktek haji ajaran Islam. Mengenai masalah yang berkaitan dengan poin ketiga, bahwa haji melambangkan persaman nilai kemanusiaan yang hakiki, dapat kita lihat dari rukun haji seperti melaksanakan wukuf di arafah.
Pelaksanaan wukuf di rafah ini memerika keyakinan kepada kita bahwa di tempat itu semua manusia berkumpul dan bersimbuh mengahadap kepada Tuhan yang Esa.
Mereka datang dari berbagai latar belakang ras, suku, bangsa dan bahasa yang berbeda. Oleh karena itu haji memerikan nilai kemanusiaan yang universal tidak hanya dapat dipraktikkan di tanah Arab atau di Makkah ketika menunaikan haji saja, tetapi bagaimana nilai arafah terhadap sejumlah manusia di seluruh dunia itu dapat dipraktekan kembali di daerah masing- masing ketika nafsi-nafsi itu kembali ke daerahnya.
Dalam pelaksanaan haji terdapat pula nilai-nilai kemanusiaan universal. Tentunya makna kemanusiaan dalam pelaksanaan haji budaya ini tidak hanya terbatas pada persamaan nilai kemanusiaan.
Ia mencakup seperangkat nilai-nilai luhur yang yang seharusnya menghiasi jiwa pemiliknya. Ia bermula dari kesadaran akan fithrah (jati diri)-nya serta keharusanya menyesuikan diri dengan tujuan kehadiran dipentas bumi ini. Kemanusian mengantarkan putra putri Adam untuk menyadari arah yang ditujuh serta perjuangan mencapainya.
Kemanusiaan menjadikan mahluk ini memiliki moral serta berkemampuan memimpin mahluk–mahluk lain dalam mencapai tujuan penciptaan.
Kemanusian mengantarkan untuk menyadari bahwa ia adalah mahluk dua dimensi yang harus melanjutkan evolusinya hingga mencapai titik akhir.
Kemanusiaan mengantarkannya untuk sadar bahwa ia adalah mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendirian dan harus bertenggang rasa dalam berinterasi.
Makna-makna di atas dipraktekan dalam pelaksanakan ibadah haji, baik dalam acara ritual atau dalam tuntunan non ritualnya, dalam bentuk kewajibannya atau larangan, dan dalam bentuk nyata atau simbolik.
Baca Juga:
Sejarah Ibadah Haji – Nabi Muhamad S.A.W
Pada tahun 632 M, Ka’bah masih berorientasi sebagai kiblat yang digunakan sebagai patokan tempat ibadah umat muslim kala itu.
Namun di sisi lain masyarakat pra islam yang ada di Arab telah mengenal tentang berhala. Mereka membuat patung-patung yang mengelilingi Ka’bah sebagai bentuk penghormatan mereka terhadap al-hajar al-aswad (batu hitam) yang dianggap menjadi peninggalan nenek moyang dengan tetap melakukan ibadah yang dianjurkan oleh nabi Ibrahim dan Ismail a.s.
Penyimpangan seperti inilah yang menjadikan masyarakat Arab dijuluki sebagai ‘Arab Jahiliyah’ atau sering diartikan sebagai masyarakat yang hidup pada zaman kebodohan.
Penyimpangan seperti ini berlangsung cukup lama. Bahkan penyimpangan tersebut masih ada saat nabi Muhammad Saw diutus pertama kali oleh Allah.
Nabi Muhammad akhirnya menyebarkan kembali syiar agama yang tepat sesuai anjuran yang diperintahkan oleh Allah. Sebagai nabi terakhir, Rasulullah SAW diutus untuk menyempurnakan ibadah-ibadah terdahulu yang datang dibawa oleh nabi sebelumnya, Tentu tidak mudah membawa ajaran yang benar saat itu.
Proses syiar agama Islam oleh nabi Muhammad selaku utusan Allah Subhanahu wa Ta’ala memakan waktu yang cukup lama. Beliau dengan sabar dan tekun memulai dakwah dengan mengingatkan kembali masyarakat Arab yang hendak beribadah tentang keesaan yang dimiliki oleh Allah.
Banyak masyarakat yang menentang tentunya pada saat itu. Bukan tanpa alasan, penyimpangan ibadah yang dilakukan pada saat itu telah berlangsung sangat lama dan juga telah melewati lintas generasi beberapa nabi.
Rasulullah SAW dan para sahabat belum bisa langsung melaksanakan ibadah haji pada 12 Ramadhan tahun 8 H. Walaupun saat itu, umat islam telah menguasai Makkah.
Nabi Muhammad baru bisa melaksanakan ibadah haji pada tahun 10 H. Ibadah haji tersebut dilakukan tiga bulan sebelum Rasulullah SAW wafat. Beliau dijuluki sebagai haji wadâ‟ (haji perpisahan).
Seluruh umat islam di seluruh dunia kini dapat beribadah haji dengan tenang dan sesuai anjuran. Ziarah ibadah haji saat ini dilakukan tanggal 8 -12 zulhijah, bulan terakhir kalender Islam.
Jamaah haji akan menggunakan ihram (dua lembar putih kain halus) saat melakukan ibadah. Mereka juga dianjurkan untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan tercela ketika melakukan ibadah haji.
Penutup
Berikut Artikel Mengenal Sejarah Ibadah haji dari zaman nabi Ibrahim hingga saat ini, semoga bisa menjadi pelajaran bagi semua umat islam yang mempersiapkan diri memenuhi panggilan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk berkumpul di tanah suci.
Jika anda tertarik untuk berangkat haji dan umroh, akan lebih baik jika dengan travel umroh terpercaya. Terdapat beberapa travel umroh dan haji di Jawa timur yang bagus seperti Arofahmina.
Baca Juga: Hadis dalam Era Modern: Relevansi dan Implementasinya dalam Kehidupan Kontemporer