Sejarah

Melihat Kembali Penjajahan Jepang di Indonesia Pada Masa Revolusi

Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang pada 8 Maret 1942, maka sejak saat itu berakhirlah pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia, dan secara resmi kekuasaan baru  dipegang oleh Jepang dimulai.

Pada tanggal 9 Maret 1942 pemerintah Jepang menetapkan sebagai hari pembangunan Jawa Baru yang memasuki Jawa sebagai anggota dari Persemakmuran bersama Asia Timur Raya. Tugas utama Jepang adalah menghentikan revolusi-revolusi masyarakat pribumi yang ditakutkan akan mengancam usaha penaklukan Jepang

Pendudukan Jepang di Indonesia kala itu belum memiliki pusat pemerintahan sipil seperti hanya pemerintahan Hindia Belanda. Tetapi dengan cepatnya penguasaan Jepang terhadap Indonesia, pemerintahan yang dijalankan masih bersifat pemerintahan militer.

Terdapat tiga pemerintahan militer yang telah dibangun Jepang sebagai pangkalan terbesar militer. Di antaranya adalah:

  1. Pemerintahan militer Angkatan Darat sebagai Tentara Kedua puluh Lima. Berkuasa di wilayah Sumatera dengan pusat kontrolnya berada di Bukittinggi.
  2. Pemerintahan militer Angkatan Darat Keenam belas. Berkuasa untuk daerah Jawa-Madura dengan pusat kontrolnya berada di Batavia,
  3. Pemerintahan militer Angkatan Laut Armada Selatan Kedua. Berkuasa meliputi daerah Sulawesi, Kalimantan, dan Maluku yang pusat kontrolnya berada di Makasar.

Baca Juga:

Militer dan Kekuasaan Jepang di Indonesia

Dengan adanya kevakuman dalam jabatan pemerintahan di Indonesia, maka pemerintahan militer Jepang yang ada di Jawa dianggap sebagai pemerintahan sementara. Hal ini sesuai dengan Osamu Seirei No. 1, Pasal 1, yang dikeluarkan oleh Panglima Tentara Keenam belas pada tanggal 7 Maret 1942. Undang itu merupakan dasar dari berdirinya pemerintahan sementara Jepang di Indonesia.

Adapun isinya adalah:

  • Pasal I : Balatentara Nippon melangsungkan pemerintahan militer sementara waktu di daerah-daerah yang telah ditempati agar supaya mendatangkan keamanan yang sentosa dengan segera.
  • Pasal II : Pembesar balatentara memegang kekuasaan pemerintah militer tertinggi dan memegang seluruh kekuasaan yang pernah dipegang oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda;
  • Pasal III : Semua badan-badan pemerintah dan kekuasaan hukum dan undang-undang dari pemerintah yang dahulu tetap diakui sah untuk sementara waktu, asal saja tidak bertentangan dengan aturan pemerintah militer;
  • Pasal IV : Bahwa balatentara Jepang akan menghormati kedudukan dan kekuasaan pegawai-pegawai yang dianggap setia oleh Jepang.

Dengan adanya undang-undang tersebut, maka jelaslah bahwa Jepang telah menghapus semua kedudukan Belanda dan menggantinya dengan orang-orang Jepang. Namun, supaya pemerintahan tetap berjalan stabil, masyarakat sipil yang dulunya menduduki jabatan dalam pemerintahan Hindia Belanda tetap dipertahankan.

Adapun susunan atau struktur pemerintahan militer Jepang sementara adalah:

  • Gunshireikan (Panglima Tentara) kemudian disebut Saik_ Shikikan (Panglima Tertinggi). Sebagai sentral pimpinan, dipegang oleh Letnan Jendral Hitoshi Imamura.
  • Gunseikan (Kepala Pemerintah Militer), yang dirangkap oleh staf tentara yang dipegang oleh Mayor Jendral Seizaburo Okasaki.

Awal pendudukan Jepang di Indonesia, setelah Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang, terlihat beberapa politik untuk menguasai umat Islam dilaksanakan. Pada satu Minggu setelah kejatuhan Ibukota Batavia, kaum Muslim yang berada di masjid-masjid Batavia dikejutkan oleh munculnya beberapa Muslim Jepang dengan memakai seragam tentara yang mengikuti acara keagamaan Islam.

Organisasi Islam dan kebijakan Jepang di Indonesia

Beberapa hari kemudian kolonel Horie dengan didampingi beberapa orang Muslim Jepang yaitu, Muhammad Adbul Muniam Inada memberikan sebuah pidato di Masjid Kwitang. Beberapa hari kemudian di bulan Maret Jepang membentuk sebuah badan untuk mengurusi masalah keagamaan dalam Islam. Badan tersebut adalah Shumubu dan kolonel Horie diangkat sebagai ketuanya. Di akhir bulan Maret Shumubu sudah memulai aktivitasnya dengan mengurusi masalah agama Islam.

Semua gerakan organisasi politik dibekukan oleh Jepang, kecuali MIAI, yang tetap diberikan kelonggaran untuk tetap beraktivitas, karena hal ini bertujuan untuk mencari pengaruh tokoh-tokoh Islam yang mengandung kekuatan besar untuk bisa membantu Jepang dalam Perang Asia Timur Raya. Maka pada bulan April, sebagai propaganda menyambung antara Jepang dan masyarakat Indonesia, Jepang membentuk “Gerakan 3 A” yang di dalamnya terdapat semboyan “Nippon Pelindung Asia, Nippon Cahaya Asia, dan Nippon Pemimpin Asia”.

Organisasi ini sebenarnya dimaksudkan untuk mengkonsolidasikan kekuatan guna melawan Belanda dan memberikan pengaruh doktrinasi terhadap daerah Asia Timur. Untuk memimpin organisasi itu diangkatlah Mr. Samsudin menjadi ketua, seorang tokoh politik yang terkemuka pada waktu itu yang sangat dekat dengan pemerintah Jepang. Ia adalah bekas pemimpin Perindra yang sejak lama sudah menaruh simpati terhadap fasisme Jepang.

Kebijakan Imamura di atas membawa kekecewaan terhadap masyarakat Indonesia. Namun untuk mereda kekecewaan masyarakat Indonesia, pada tanggal 29 Maret 1942 Jepang mengeluarkan maklumat yang berisi: pembukaan kembali sekolah-sekolah, bahasa Melayu dan bahasa daerah dijadikan sebagai pengantar, penggantian nama Java menjadi Djawa, Batavia menjadi Jakarta, Preanger menjadi Periangan, dan sebagainya. Selain itu pelajaran-pelajaran yang diberikan di antaranya meliputi Sejarah Ilmu Bumi, Bahasa Indonesia (Melayu), Adat istiadat, Bahasa Jepang, Ideologi Jepang, dan kebudayaan Jepang.

Reformasi dan kedudukan politik Indonesia

Pada tanggal 20 Mei tahun 1942 Partai Islam Indonesia yang “reformis” mengumumkan untuk menghentikan aktivitasnya dan membubarkan diri sekaligus cabang-cabangnya. Sebelumnya Partai Serikat Islam Indonesia sudah menutup kantornya di Jakarta pada tanggal 9 Mei dan memerintahkan cabang-cabangnya untuk menyusul.

Pada bulan yang sama, karena Jepang sangat membutuhkan bantuan dari kalangan umat Islam, maka Jepang menarik kiai dan ulama untuk bisa masuk ke dalam pemerintahan. Maka dibentuklah Shumubu dan Shumuka. Pemimpin dalam Shumubu adalah Kolonel Horie. Namun untuk tugas pembentukannya dibebankan kepada tiga orang haji Jepang yang bernah belajar di Timur Tengah, yaitu H. Abdul Munia Inada, H. Abdul Hamid Ono, dan H. Muhammad Saleh Suzuki.

Guna menyapu bersih pengaruh Belanda dan Sekutu, pihak Jepang melarang pemakaian bahasa Belanda dan bahasa Inggris serta memajukan bahasa Jepang dan pelarangan penggunaan buku-buku dari Barat. Kalender Jepang mulai diterapkan, patung-patung yang berbau Barat dirobohkan. Usaha lain yang dikampanyekan oleh Jepang untuk memberikan meyakinkan rakyat Indonesia adalah bahwa mereka dan bangsa Jepang merupakan saudara seperjuangan dalam perang yang luhur untuk membentuk tatanan baru di Asia.

Baca Juga:

Pendidikan pada saat penjajahan Jepang di Indonesia

Pada masa penjajahan Jepang di Indonesia, kebijakan Model pendidikan yang diterapkan berbeda dengan model pendidikan masa Belanda. Status sosial yang sebelumnya dijadikan sebagai alat pemisah dalam pendidikan, sekarang tidak lagi berlaku. Antara golongan priyai dan golongan masyarakat biasa disamakan. Nama sekolah-sekolah yang sudah ada dari masa Belanda kemudian di rubah, seperti:

  1. Jenjang sekolah dasar menggunakan istilah “Sekolah Rakyat” atau Kokumin Gakko yang diperuntukkan untuk semua masyarakat Indonesia tanpa harus membedakan status sosialnya. Masa pendidikan pada jenjang ini selama 6 tahun. Bisa dikatakan model SD (Sekolah Dasar) untuk saat ini.
  2. Setelah lulus dari “Sekolah Rakyat”, jenjang pendidikan selanjutnya adalah “Sekolah Lanjutan Pertama” atau sejenis SMP (Sekolah Menengah Pertama) atau dalam bahasa Jepangnya disebut Shoto Chu Gakko. Semua yang masuk dalam jenjang ini bebas, selama mereka mempunyai ijazah Sekolah Rakyat. Lama pendidikan dalam jenjang sekolah ini adalah 3 tahun.
  3. Jenjang sekolah atasnya yang sejajar dengan tingkat SMA (Sekolah Menengah Atas) untuk sekarang ini di antaranya adalah: 1) Sekolah Menengah Tinggi atau Koto Chu Gakko, 2) Sekolah Teknik atau Kagyo Semmon Gakko, dan 3) Sekolah Pelayaran Tinggi.
  4. Adapun perguruan tinggi yang ada waktu itu adalah Sekolah Tinggi Kedokteran atau Ika Dai Gakko di Jakarta, Sekolah Teknik Tinggi atau Kagyo Dai Gakko di Bandung, Sekolah Tinggi Pangreh Praja atau Kenkoku Gakuin, dan Sekolah Tinggi Kedokteran Hewan di Bogor.

Baca Juga: Peristiwa Sejarah Proklamasi Kemerdekaan RI 1945

BekelSego adalah media yang menyediakan platform untuk menulis, semua karya tulis sepenuhnya tanggung jawab penulis.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button