Kecamuk Hati Nisa, Menjelang Hari Kartini


Dengan tekun dan teliti Nisa memeriksa kondisi pakaian-pakaian adat miliknya. Setelah memastikan pakaian itu benar-benar siap untuk dikenakan, ia menggantungnya di lemari.

Dua hari lagi Hari Kartini akan tiba, baju-baju koleksinya itu hampir semuanya telah dipesan untuk disewa oleh anak-anak TK di sekitaran rumahnya. Bahkan ada beberapa yang datang dari luar perumahan hanya untuk menyewa pakaian-pakaian adat itu.

Setelah selesai merapikan pakaian adat, Nisa beralih ke peralatan make-up. Bukan hanya menyediakan pakaian, Nisa juga membuka jasa-jasa lain di salon kecilnya. Seperti merias wajah, potong rambut, creambath, smoothing dan lain sebagainya.

Selama ini pikirannya tak pernah jauh kemana-mana mengenai makna pakaian adat atau momen-momen apa yang membuat koleksinya itu laris-manis. Nisa hanya tahu menyewakan pakaian kemudian merias wajah-wajah mungil menjadi cantik paripurna dan membuat para ibu-ibu bangga melihat penampilan putra-putrinya mempesona. Dengan demikian, mereka akan suka rela mengeluarkan lembaran-lembaran berharga untuk membayar jasa Nisa.

Namun, kedatangan Ria, teman sekolahnya dulu membuat otaknya tak berhenti berpikir. Awalnya kedatangan Ria, membuat ia merasa senang, bagaimanapun kedatangan temannya itu membawa berkah. Karena Ria datang untuk menyewa beberapa baju adat untuk dirinya dan murid-muridnya. Namun Nisa sendiri tak menyangka, perbincangan yang awalnya santai berakhir dengan pertengkaran yang membekas di hati.

“Sebenarnya, aku tak suka pakai pakaian ini” Ria, menepis pakaian yang sedang dipegang Nisa hingga jatuh.

“Gimana ya? Bikin aku merasa tertekan,” lanjut Ria sambil melenggang ke arah kursi tamu, kemudian duduk di sana dengan melipat kaki.

“Tatapan para lelaki melihat tubuhku, bagai kucing kelaparan. Menyebalkan!” gerutu Ria, Kesal.

Nisa mendengarkan dengan seksama curhatan temannya itu. Ia paham, apa yang dikatakan Ria. Memiliki struktur tubuh yang bagus kerap mengundang tatapan liar kaum adam. Meskipun demikian alasannya, tetap saja kata-kata itu berubah menjadi duri yang menusuk hatinya. Ria, seakan selalu punya cara untuk membuatnya tersinggung.

“Menurutmu, apa anak-anak paham apa makna Hari Kartini, dengan pakaian-pakaian itu?” Lagi, Ria memancing Nisa berbicara.

Nisa yang tengah melipat pakaian adat, diam sejenak mendengar pertanyaannya itu. Sedari tadi ia berusaha keras tak terpancing emosi dengan ucapan-ucapan temannya itu. Ibu muda itu mulai berasumsi, kemana arah pembicaraan Ria kali ini.

“Untuk menguatkan karakter dan cinta tanah air,” jawab Nisa, kemudian, sambil tersenyum.

Ria, membuang muka ke samping sambil berdecih dan menaikan sedikit ujung bibir atasnya.

“Menurutku, semua itu hanyalah upaya untuk mendorong perempuan kembali masuk ke dalam kehidupan nenek moyang dulu. Perempuan cukup mengambil peran sebagai istri dan ibu, tidak lebih,” lanjut Ria, kemudian.

Nisa, menoleh sekilas ke arah Ria, memperhatikan wajah temannya itu dengan seksama.

“Kodrat wanita memang menjadi istri dan ibu. Punya anak, melahirkan, menyusui!”

Jawaban itu meluncur cepat dari mulut Nisa. Entah mengapa ia merasa tersinggung dengan ucapan Ria, yang seolah-olah menyepelekan dirinya sebagai ibu rumah tangga biasa. Namun jawaban telak itu hanya sesat membuat dada Nisa membusung, karena setelahnya Ria diam menahan emosi terlihat dari dadanya yang turun naik seiring nafasnya yang memburu. Membuat Nisa merasa tidak enak dengan perkataannya. Nisa, benar-benar lupa, jika Ria, teman sekolah yang duduk di depannya ini adalah salah satu wanita yang menolak menjadi ibu. Karenanya kini, Ria memilih bercerai dan hidup bebas seperti yang Ria mau. Berkarir dan bersosialita sekehendak hatinya.

“Jadi, kau merasa hidupmu lebih baik dari padaku, karena kau seorang istri dan ibu? Sementara aku …,” kalimat Ria terpotong, Nisa menyela cepat ucapan sahabatnya itu.

“Ria, Ria, maaf, aku tak bermaksud begitu,” sela Nisa sembari meraih tangan Ria, untuk meminta maaf atas ketajaman lidahnya. Namun, Ria menepisnya cepat.

“Cukup, aku ngerti kok, apa maksudmu.” Ria, bangkit dan mengambil bungkusan kresek hitam berisi pakaian adat. Kemudian keluar dari salon Nisa setelah meletakkan beberapa lembar uang berwarna merah.

Belum hilang rasa tak enak di hati Nisa, pikirannya mulai menyebar kemana-mana. Ia mulai melihat dan membandingkan kehidupannya dengan Ria.

Dulu, semasa lajang. Nisa adalah sosok gadis yang aktif. Ia benar-benar menikmati kehidupannya sepenuhnya. Traveling, shoping, bersosialisasi dan berorganisasi. Mendaki gunung hingga arung jeram pernah ia lakukan. Namun setelah menikah, gaya hidupnya berbanding terbalik seratus delapan puluh derajat. Bagai Rapunzel, ia sepenuhnya tinggal di rumah. Kemanapun pergi, suami dan anak-anak selalu ada di sampingnya. Jangankan untuk nongkrong-nongkrong di luar bersama teman-temannya. Sekadar mengikuti kajian-kajian di Masjid, Nisa harus puas hanya dengan mendengarkan dari rumah, jika suaminya tak mengijinkan.

“Nis, laper,” celetuk suami Nisa dari ambang pintu salon membuyarkan lamunan Nisa.

“Ya, udah, ayo makan.”
Biasanya, jawaban itu yang keluar dari mulut Nisa, ketika suaminya meminta makan. Setelah itu Nisa akan mempersiapkan segala sesuatunya untuk kemudian makan bersama.

Kebiasaan itu terjadi sejak awal menikah. Dari hal kecil sampai hal besar, Nisa mengurus semuanya. Sesepele menggambil piring dan sendok, suaminya tak pernah melakukannya sendiri. Namun, Nisa sama sekali tak keberatan dengan itu semua. Ia memaknainya sebagai bentuk cinta dan kasih sayang.

Akan tetapi kali ini Nisa hanya menoleh kemudian berpura-pura sibuk, membereskan sesuatu.

“Bentar,” jawabnya singkat. Kemudian melangkah melewati suaminya yang masih berdiri di pintu, dengan enggan Nisa mempersiapkan semua keperluan makan suaminya tanpa bicara.

Nisa, menyodorkan sepiring nasi dan lauk pauk dengan dua sendok di atasnya. Kemudian, ia duduk diam di samping suaminya. Pikirannya masih berkeliaran dan berputar-putar antara hari Kartini, emansipasi, kesetaraan gender dan kehidupan dirinya dan Ria yang bertolak belakang.

“Kamu gak ikut makan?” tanya suaminya, kembali membuat Nisa tersadar dari pikirannya yang melayang.

“Lagi gak nafsu, Mas aja duluan,” ucap Nisa sambil beranjak dan kembali ke salon kecilnya di depan rumah. Meninggalkan suaminya makan sendirian.

Dulu, Nisa sangat bersyukur bisa menjalankan hobinya meskipun di rumah. Dengan membuka salon dan penyewaan baju-baju adat, ia bisa memiliki penghasilan sendiri. Ia bebas menggunakan uangnya untuk dirinya juga membantu perekonomian orang tuanya di kampung, tanpa terlebih dahulu minta ijin suami. Akan tetapi kini keadaannya berbeda, sejak COVID merajalela. Hingga suaminya menjadi pengangguran karena di PHK.

Di depan lemari kaca yang berisi pakaian adat, Nisa termenung. Ia tak tahu pasti apa yang menyebabkan kekacauan dalam pikirannya. Pertemuan dan pertengkarannya dengan Ria kemarin? Atau memang ia sudah lelah menjalani kehidupannya saat ini. Bukan hanya menjadi ibu dan istri, kini ia juga tulang punggung keluarga.

Nisa menarik nafas panjang, mengenang momen bahagia bersama suaminya sebelum pandemi tiba. Nisa tersenyum menguatkan hatinya sendiri.

“Jangan mengeluhkan hal-hal buruk yang datang dalam hidupmu. Tuhan tak pernah memberikannya. Kamulah yang membiarkannya datang,” ucap Nisa kemudian pada dirinya sendiri. Quotes R.A Kartini yang baru saja ia baca dari sebuah artikel di google.

Ruji, 19 April 2023

Baca Juga: 

BekelSego adalah media yang menyediakan platform untuk menulis, semua karya tulis sepenuhnya tanggung jawab penulis.


Novice

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *