PuisiSastra

Balada Bianglala

Ruang Imaji

Di ruang temaram itu
Aku berharap seseorang datang
Membukakan pintu
Bahkan telah berulang kali
Kuteriakkan namamu
Namun waktu kian berlalu
Dan hadirmu masih saja semu

Haruskah tetap kutunggu?
Meski akhirnya tersadarkan
Selama ini sosok dirimu
Sekadar tokoh fiksi dalam imajinasiku

***

Tentang Bayangmu

Tempo hari
Saat malam menenggelamkan wajahmu
Di tengah gelap
Aku ingin menemukan
Meski hanya bayangmu
Dapat kusentuh
Dari balik sorot lentera
Bergeming sedikit lebih lama

Bukan kehendakku demikian
Hanya saja ilusi tentangmu
Terus menerus merecoki warasku
Memenggal waktu jedaku
Yang enggan menepi
Tersiram air hujan
Di jalanan kota yang lengang

***

Tajuk Rindu

Oleh karena rindu terlahir dari apa pun yang menjauh
Kuputar kembali lagu-lagu lama
Kusenandungkan tembang tak berirama
Menggaung menggema memekakkan gendang telinga
Tiap melodi yang terdengar perlahan mengingatkan kita

Oleh karena rindu terlahir dari apa pun yang menjauh
Kubuka kembali buku harian tua
Kutulis catatan-catatan melankolia
Tentang kenangan yang terjalin tanpa nama
Sebab, tiap potongan yang tersusun tiada lagi bermakna

Kini semuanya sudah tampak cukup jelas
Aku telah sampai di masa depan dari masa laluku
Namun, entah aku salah menakar suka duka waktu itu
Ataukah salah menukar arti dan makna yang sesungguhnya
Aku telah terjatuh kian dalam
Pada setiap tatap netramu yang tajam

***

Menyapa Sunyi

Kupikir
Masihkah perlu bertegur sapa
Saling beradu tatap
Mengharap dekap
Sekadar menepis jarak
Oleh sebab tajam tutur katamu

Nyatanya
Tak perlu lagi bertegur sapa
Biar saja aku
Terus berkarib sunyi
Dan masih memintal sederet kisah masa lalu
Melangkah menjauh
Enggan peduli yang tertinggal

***

Wartasinisme

Engkau berkabar dari sebuah hutan yang rimbun nan perawan
Berteriak lantang hingga mengusik dahan berguguran
Engkau bertanya pada kedalaman jiwamu
Mencari jejak angin yang mengencani dingin kala itu
Tiga ratus enam puluh lima hari lamanya
Saat mendung meluruhkan hujan
Atau saat matahari membakar kulitmu
Engkau merayu

Kabarmu terdengar tak baik-baik saja
Sedang di hutan nan jauh itu, engkau terasing sendirian
Enggan merungu akan kebisingan di seberang
Masih ragamu giat membiaki, tatapanmu meneliti
Namun masa telah mencapai titik henti
Tiga ratus enam puluh lima lebih-lebih sehari

Baca Juga: Meratapi Senja

 

BekelSego adalah media yang menyediakan platform untuk menulis, semua karya tulis sepenuhnya tanggung jawab penulis.

3 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button