CerpenSastra

Bagaimana Aku Terpaksa Menjadi Sebidak Pion untuk Membuatmu Bahagia

Aku benar-benar mengerti mengapa seseorang lebih sering menggerakkan pion lebih dulu dalam permainan catur, meski kutahu, bisa saja mereka menjalankan kuda melompati bidak-bidak lain. Selain itu, bukankah kuda bisa berjalan lebih jauh, melompat-lompat ke mana dia suka dengan gerakan leter L yang memukau. Tapi begitulah yang seharusnya kulakukan. Menjadi pion.

Pesanmu baru saja kubaca beberapa waktu lalu. Belum kubalas. Kau hanya mengirimkan sebuah foto lewat aplikasi whatsapp, dan menurutku, aku bisa membacanya nanti jika aku mau. Sebab kurasa kau harus tahu, lawan di hadapanku bukan orang sembarangan. Dia berhasil mengimbangiku dan aku harus berusaha memenangkan pertandingan ketiga sebelum melanjutkan investigasi.

Kehidupan sebenarnya banyak mengajariku menyamar, bersembunyi di antara orang-orang. Tapi, ada beberapa hal yang tak bisa disembunyikan, setidaknya oleh diri sendiri.

“Skak!” Dia meletakkan kuda, memaksaku menggeser raja.

Dia memindahkan ratu ke depan pion di depan raja. Itu artinya, satu langkah salah, habis langkahku. Aku memutar otak, melihat bidak-bidak yang tersisa. Ratu, kuda, dan benteng, rasanya tidak mungkin. Aku harus memajukan pion, membuat perlindungan. Kautahu, begitulah orang-orang lemah dikorbankan.

Laki-laki di hadapanku tersenyum. Sudah kuduga, dia sedang main-main dengan kilatan di bibirnya. Tapi aku tak boleh kalah dalam pertandingan di warung kopi ini.

Pesan masuk, darimu. Aku mengabaikannya. Seharusnya kaupahami apa yang terjadi padaku sekarang.

Dua orang menonton di kini dan kanan. Satu di antaranya mengangguk-anggukkan kepala, memegang dagunya dengan telunjuk dan jempol, memain-mainkan janggut tipis sepanjang dua ruas jari. Kurasa dia tahu jalan keluar dari sebuah permasalahan.

Lawanku memajukan benteng. Oh, pasukan baru? Aku masih berpikir agar para perwira itu tidak menggerogoti pertahananku.

“Langkah pion tak bisa mundur,” sindirnya, memancing. Kini aku benar-benar terpojok. Tapi setidaknya, untuk sementara aku bisa meletakkan kuda sebagai pelapis di depan raja. Kautahu, aku sudah cukup lama belajar bertahan dari segala posisi.

Sederhana sekali, dia hanya menggerakkan ratu satu langkah. Kurasa dia akan menggunakan langkah baru. Aku memilih menggerakkan pion yang lain. Langkah-langkah selanjutnya akan semakin berat.

Kautahu, aku selalu bisa mengigat perjuangan setiap kali bermain catur. Tentu kau masih ingat apa yang pernah kukatakan saat kita sama-sama lulus SMA? Harus kuakui, aku tidak cukup berani untuk mengatakan langsung padamu, tapi begitulah yang seharusnya kulakukan. Sebab, aku terlalu gugup untuk mengatakan sesuatu secara langsung padamu.

“Aku serius.”

“Kita lihat nanti.”

Aku tersenyum. Kau berlalu  meninggalkanku. Aku tak peduli, apa yang akan terjadi nanti. Sebab yang jelas, seperti katamu, kau akan melihatnya nanti. Jadi aku percaya, kau akan menjadi saksi dari semua yang akan terjadi pada masa depan.

“Tapi kita tak bisa meramal takdir,” ujarmu, menoleh setelah beberapa meter berjalan.

“Aku tahu. Aku benar-benar serius.”

Sebenarnya, aku tak benar-benar mengerti apa yang dimaksud dengan takdir. Apa orang-orang di masa sekarang bisa meramal yang akan terjadi pada masa depan? Tak ada yang benar-benar tahu. Tapi semua orang pernah berharap. Maksudku, kita selalu berusaha meletakkan doa-doa terbaik untuk kita dapati pada masa depan, padahal kita tidak tahu masa depan akan seperti apa. Tapi mungkin itu yang disebut keimanan. Orang-orang beriman pada takdir, mengharapkan Tuhan memberikan masa depan terbaik pada hamba-Nya.

Kau sempat bilang, jangan terlalu berharap. Tapi aku tak peduli. Bagi orang-orang sepertiku, tak ada yang benar-benar bisa membuatku menyerah.

“Aku kuliah di luar kota.”

“Memangnya kenapa?”

“Aku takut tak bisa bertahan denganmu.”

“Percayalah. Kita harus kuat.”

Kau menggeleng, seolah menyerah. “Jangan hubungi aku lagi.”

Itu cukup membuatku hancur. Jujur, rasanya aku mau mati saja. Bertahun-tahun aku berusaha mendekatimu, lalu sekadar mengutarakan apa yang kurasakan, sampai akhirnya hancur sebelum kauterima. Tapi saat itu kaujelaskan, benar-benar tak bisa menerima jarak.

Berbulan-bulan, hingga berganti tahun. Sampai sekali waktu, kau menghubungiku. Tangismu pecah, terdengar dari seberang sana. “Tolong jemput aku,” lirihmu.

Aku tak tahu apa yang terjadi, tapi aku menurutimu. Dan ketika kau melihatku, tubuhmu menghambur, menumpahkan segala yang terpenjara di sana.

“Aku takut.”

“Apa yang terjadi?”

Dari kedua belah bibirmu, akhirnya aku mendengar cerita. Sebenarnya tak ada yang tahu, apa dia benar-benar akan setega itu padamu. Tapi daripada aku harus memercayai orang lain, lebih baik aku memercayaimu. Semestinya sejak saat itu kaupahami semuanya, bahwa pengkhianatan cinta itu menyakitkan.

Yang kautakutkan ternyata benar adanya. Lelaki itu memilih untuk menjadi pengkhianat. Meski begitu, kau tak perlu khawatir, masih ada aku yang menjadi tempatmu meluapkan semuanya.

Tapi, apa aku bisa?

Itulah yang kemudian kembali terpikir olehku. Lawanku mulai menunjukkan wajah gembira, seolah-olah baru saja mendapat jalan yang akan membuat dua penonton—yang sejak tadi diam dan seolah-olah menjadi pembaca pikiran kami berdua—terkesima. Satu di antaranya masih memegangi dagu dan memelintir janggut tipisnya. Sementara itu, satunya duduk dengan menegakkan punggungnya. Kedua tangannya dilipat di dada. Kedua bibirya mengatup. Matanya menatap tajam.

“Skak!”

Kali ini giliran gajah yang menyerang dari posisi serong. Kuharap kali ini pion kembali bisa menutupinya. Aku memajukan pion lagi.

Di warung kopi itu, suasana semakin riuh saja. Di sebelah kanan papan catur, kopiku sudah dingin. Ampasnya turun ke bawah, mengendap sampai ada getaran yang mengganggu ketenangannya. Beberapa orang-orang dari LSM duduk di seberang sana, membicarakan salah-salah pemerintah. Suara mereka terdengar samar di antara suara-suara lain. Asap rokok mengepul.

Di dapur, pelayan tua itu beberapa kali terdengar menyahut orang-orang yang memesan dari bangku-bangku. Tangannya segera membuat pesanan. Bunyi piring dan sendok berulang-ulang terdengar. Dua orang pelayan muda akan keluar dari kosen pintu kayu tanpa daun, melenggak-lenggok membawakan pesanan. Kadang-kadang dia digoda, lalu membalasnya dengan senyum nakal.

Di papan caturku, peperangan semakin panas. Posisiku terancam. Pion-pion mengemis perlindungan, sedang mereka terpaksa melindungi para perwira tinggi di belakang.

Harus ada yang jadi korban!

Aku dipukul hari itu. Kau tak melakukan apa-apa selain mengucapkan maaf. Tapi tak masalah, sebab kautahu, begitulah cinta. Aku hanya ingin kau bisa mengerti apa yang sebenarnya ada di hati suatu hari nanti.

“Maafkan aku.”

Tak ada yang perlu dipermasalahkan, kataku. Kau hanya pura-pura cinta padaku, agar lelaki itu tak mendekatimu lagi. Sebenarnya aku tahu, tapi dari hati yang paling dalam, masih ada harapan agar hati kita saling menggenggam.

Kau bilang, kau cinta. Tapi itu tak lama.

Setidaknya aku pernah bahagia karenamu.

Kautahu, ada sakit yang terasa saat kauanggap aku hanya sebatas teman. Ya, aku tahu, orang-orang sepertiku memang layak dikorbankan, tapi tidak harus begitu caramu.

Sejak hari itu, kita berpisah. Aku tak pernah lagi mendengar kabarmu. Beberapa tahun, kaudatang dan kembali menciptakan cerita. Aku tak tahu harus memulainya dari mana, tapi akhirnya kau mengajarkanku memulai sesuatu yang baru.

Kau terus menghubungiku, menjadikanku tempat cerita tanpa aku tahu statusku apa. Tapi begitulah aku. Kau berhak melakukan apa saja, dan aku akan melakukan apa saja, asal kau tetap terlindungi di belakang sana.

Seperti yang kauajarkan, aku berusaha membunuh apa saja yang bersarang dalam hatiku. Kau harusnya bisa sedikit menghargai usaha seorang laki-laki yang terjebak dalam sebuah usaha melupakan. Maksudku, jika kauingin kita hanya sebatas teman, kenapa harus datang dan kembali mengisahkan? Biarlah hatiku mati sebagai sebuah pengorbanan, tanpa harus kauukir lagi kisah lama yang terkubur perasaan. Jika kauingin bahagia, berbahagialah. Tapi tolong, buatlah aku lupa tanpa terus-menerus mengingatkan.

Aku ingin hatiku mati untukmu!

“Skak mat!” Lawanku menggerakkan langkah terakhirnya. Tak ada lagi jalan. Pion-pion yang jadi pengorbanan, tak lagi berguna.

Dua orang penonton setia hanya mengangguk-anggukkan kepala. Aku hanya terpana, seolah tak percaya.

Teringat pesan masuk darimu. Kulihat ponselku. Sebuah foto? Tidak, itu undangan pernikahan. Jatuh ke dalam air mataku. Tapi begitulah aku. Kau berhak melakukan apa saja, dan aku akan melakukan apa saja, asal kau tetap terlindungi di belakang sana.

Aku terpana.

Kupandang lamat-lamat. Bertanya-tanya.

“Datang, ya! Jangan sampai tidak.”

Aku mengukir senyum di bibir. Memang sudah seharusnya kau bahagia di sana. Dan aku, akan berusaha menghadiri hari bahagia itu.

“Pasti.” Pesan terkirim. Bibirku tersenyum, hatiku menangis.

Aku akan tetap menjadi pion. Selemah apa pun nanti aku berjalan tanpamu, setidaknya aku tak berusaha mengingatmu lagi. Aku tak akan mundur. Sebab, sebagai masa lalu, seharusnya aku menyadari sejak dulu.

“Ayo berangkat!”

Lelaki itu berjalan cepat, diikuti dua orang di belakangnya. Aku buru-buru menyimpan ponselku, menyusulnya dengan tergopoh.

Kini aku benar-benar mengerti mengapa seseorang lebih sering menggerakkan pion lebih dulu dalam permainan catur, meski kutahu, bisa saja mereka menjalankan kuda melompati bidak-bidak lain. Selain itu, bukankah kuda bisa berjalan lebih jauh, melompat-lompat ke mana dia suka dengan gerakan leter L yang memukau. Tapi begitulah yang seharusnya kulakukan. Menjadi pion. Ya, begitulah yang harus kulakukan, agar kau bahagia.

 

Jambi, Januari 2019

Baca Juga: Himne Bumiputra

 

BekelSego adalah media yang menyediakan platform untuk menulis, semua karya tulis sepenuhnya tanggung jawab penulis.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button