Sastra

Angkatan Sastra Baru di Indonesia, Dari Angkatan Balai Pustaka Hingga Angkatan 2000 (Part 2)

Ada delapan angkatan sastrawan di Indonesia yang dimulai dari angkatan Balai Pustaka hingga angkatan 2000. Pada bagian pertama tulisan ini sudah dibahas mulai balai pustaka hingga angkatan 1966. Tulisan kali ini mulai angkatan 1970 hingga angkatan 2000. Selamat membaca.

1. Angkatan 1970

Angkatan sastra baru ini berbeda dengan angkatan sebelumnya. Karya yang muncul bersifat bebas. Mereka membebaskan arti dan membangun bentuk. Mereka tidak menekankan makna kata. Mereka cenderung bermain kata-kata tanpa pernah memperhatikan makna. Jika memperhatikan karya terutama puisi seolah seperti mantra. Bebas dari belenggu aturan segala penulisan.

Pelopor angkatan ini yakni Sutardji Calzoum Bachri. Beliau menciptakan puisi kontemporer dengan permainan bunyi dan menekankan bentuk grafis. Puisi Sutardji muncul di Majalah Aktuil. Bentuk kontemporer puisi muncul dalam karya O, Amuk, Kapak karya Sutardji Calzoum Bachri, Hakka karya Leon Agusta, Wajah Kita karya Hamid Jabbar, Catatan Sang Koruptor karya F. Rahardi, Blong karya Rahim Qahhar dan Dandadik karya Ibrahim Sattah. Puisi karya mereka disebut Puisi Kontemporer atau Puisi Mbeling.

Beberapa saatrawan angkatan ini selain di atas yakni Korrie Layun Rampan dengan novel Upacara, Kuntowijoyo dengan Kotbah di Atas Bukit, Suluk Awang Awung dan Makrifat Daun, Daun Makrifat.

Ada juga Umar Kayam, Ikranegara, Arifin C. Noer, Darmanto Jatman, Arief Budiman, Goenawan Muhamad, Budi Darma, Wing Kardjo, Sapardi Djoko Damono dan tentu saja HB Jassin.

Baca Juga:

2. Angkatan 1980

Setelah munculnya sastra buku berupa roman, novel, drama dan kumpulan puisi di majalah dengan menyuarakan kebebasan dari belenggu orde lama dan adanya demonstrasi terhadap situasi politik, kemudian muncul kelompok awal orde baru pimpinan Soeharto dengan Golkar-nya.

Memasuki tahun 1980-an muncullah suara lokal dalam sastra Indonesia. Pengarang menyuarakan suara daerah mereka dalam berkarya dengan memunculkan persoalan nilai tradisional dan modern. Muncullah angkatan 1980-an dalam khazanah sastra Indonesia.

Beberapa sastrawan menulis karya dalam bentuk novel, cerpen, puisi dan juga drama. Karya mereka terkumpul dalam bentuk buku atau bahkan di berbagai media cetak seperti majalah, tabloid dan surat kabar atau koran. Banyaknya karya sastra yang tersebar di media massa koran menyebabkan banyak tokoh mengatakan sastra koran.

Menyebut beberapa karya dalam bentuk buku seperti Pulau Buru karya Pramudya Ananta Toer, Burung-Burung Manyar dan Ikan-Ikan Hiu, Ido, Homa karya YB Mangunwijaya, Bako karya Darman Moenir, trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari yang berpusat pada persoalan ritual, agama dan kekerabatan.

Karya angkatan ini muncul di majalah, koran dan penerbitan umum. Tema yang diangkat pun bervariasi dan munculnya roman percintaan sehingga menarik pembaca remaja untuk mencintai sastra. Beberapa sastrawan angkatan 1980 ini misalnya Remy Sylado dengan kode karya 23761 (re mi si la do), Yudhistira Adi Nugraha, Noorcha Mahendra, Seno Gumira Ajidarma, Kurniawan Junaidi.

Ada juga sastrawan wanita yang tekenal dengan novel populernya yakni Mira W dan Marga T. Keduanya menonjol dalam fiksi romantis dalam novel mereka. Bahkan muncul juga novel pop khas remaja. Beberapa penulis novel pop remaja yakni Hilman Hariwijaya dengan serial Lupus yang berseri-seri dan sudah difilmkan. Eddy D Iskandar dengan Gita Cinta dari SMA. Leila S Chudori dan masih banyak lagi.

Kemunculan novel pop khas remaja ini menarik sekali sehingga membuat remaja suka membaca buku. Mereka suka karya pop yang ringan dan enggan membaca karya yang lebih berat. Akhirnya, muncul istilah sastra pop atau sastra populer.

3. Angkatan Reformasi atau Angkatan 1990-an

Suasana politik tahun 1998 yang melengserkan pemerintahan Presiden Soeharto dengan Orde Baru dan pergantian presiden yang singkat melahirkan berbagai macam karya sastra baik cerpen, novel, drama dan puisi yang menyuarakan kebebasan. Pemerintahan Orde Baru yang lama dan otoriter membuat kebebasan berkarya seolah terbelenggu oleh aturan pemerintahan tersebut.

Kejatuhan Soeharto membuat sastrawan berlomba menyampaikan kebebasannya dalam berkarya dengan tema sosial politik khususnya reformasi. Banyak puisi di media massa dan kumpulan puisi mengangkat reformasi sebagai tema. Angkatan reformasi berlangsung dalam pemerintahan BJ Habibie, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dan Megawati.

Sayang angkatan reformasi tidak berhasil dikukuhkan karena tidak memiliki juru bicara. Artinya tidak ada karya yang monumental yang mengukuhkan angkatan ini. Walau begitu banyak karya sastra yang membahas reformasi dan terbit di berbagai media massa. Tidak hanya cerpen atau puisi saja, drama dan novel juga membahasnya.

Tokoh sastra Indonesia angkatan sebelumnya pun ikut serta meramaikan karya bertema reformasi. Misalnya saja Sutardji Calzoum Bachri, Ahmadun Yosi Herfanda, dan Acep Zamzam Noer menulis puisi bertema sosial politik seputar runtuhnya orde baru dan kejatuhan Soeharto.

Beberapa sastrawan yang muncul di periode reformasi seperti Oka Rusmini dengan Monolog Pohon dan Tarian Bumi. Herlinatiens dengan Garis Tepi Seorang Lesbian. Wowok Hesti Wibowo dengan Buruh Gugat, Presiden dari Negeri Pabrik dan Lahirnya Revolusi. Ada juga Djenar Maesa Ayu dengan Mereka Bilang saya Monyet dan Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu).

Baca Juga:

4. Angkatan 2000 atau Pasca Reformasi

Wacana lahirnya sastrawan angkatan reformasi tidak berhasil dikukuhkan. Justru Korrie Layun Rampan melempar wacana sastrawan angkatan 2000 dengan menulis buku tentang angkatan 2000 yang diterbitkan Gramedia Jakarta pada 2002.

Angkatan ini ditandai dengan karya yang vulgar dan cenderung berani dan menganggap seks sebagai hal umum. Karya seperti Saman dan Larung karya Ayu Utami dan juga Ode untuk Leopold Von Sacher Masoch karya Dinar Rahayu. Karya tersebut menyuarakan sastra sekuler atau sastra seksual yang cenderung vulgar karena pengaruh pergaulan remaja Amerika yang bebas.

Munculnya sastra kebebasan seksual diimbangi munculnya sastra islami. Muncul sastrawan seperti Helvi Tiana Rosa, Asma Nadia, Fahri Aziza, Pipiet Senja dan Habiburrahman El Shirazy. Sastrawan tersebut menyuarakan berbagai tema kehiduoan di masyarakat dengan pendekatan islami. Bahasanya santun dan bersih dari citarasa erotis dan vulgar. Fiksi islami didominasi oleh perempuan penulis.

Beberapa karya bertemakan islami yakni Habiburrahman El Shirazy seperti Ayat-Ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih. Helvi Tiana Rosa dengan Risalah Cinta, Nyanyian Perjalanan, Manusia-Manusia Langit, Duka Sedalam Cinta dan juga Cahaya di Bawah Cahaya. Sementara Asma Nadia dengan karya Bidadari Untuk Dewa, Cinta di Ujung Sajadah, Assalamualaikum Beijing, Surga yang Tak Dirindukan, Jilbab Traveller dan juga Emak Ingin Naik Haji.

Muncul juga karya yang berbeda dari kedua kelompok tersebut seperti Dewi Dee Lestari dengan Supernova, Andrea Hirata dengan Laskar Pelangi, Maryamah Karpov, Sang Pemimpi dan Edensor. Ada juga Ahmad Fuadi dengan Negeri 5 Menara, Ranah 3 Warna dan Rantau 1 Muara. Masih banyak lagi penulis yang tidak bisa disebutkan satu per satu.

Maraknya penggunaan internet juga memunculkan karya-karya di media online dan bahkan difilmkan. Sastra bukan hanya cetak dalam media massa atau buku tapi juga di website atau platform menulis yang muncul di internet dan menawarkan berbagai macam kemudahan dalam berkarya.

Demikian periodisasi angkatan sastra baru di Indonesia dari angkatan balai pustaka hingga angkatan 2000. Semoga tulisan ini bermanfaat menambah pemahaman serta wawasan kita pada sastra Indonesia dan salam literasi.

Baca Juga: Angkatan Sastra Baru di Indonesia, Dari Angkatan Balai Pustaka Hingga Angkatan 2000 (Part 1)

BekelSego adalah media yang menyediakan platform untuk menulis, semua karya tulis sepenuhnya tanggung jawab penulis.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button