CerpenSastra

Cerita Anak: PuloMas

Hutan lebat di pulau indonesia ini masih di penuhi oleh hewan buas yang tidak dapat di di kuasai oleh siapa pun. Alam dan hewan hidup saling beriringan.

Tidak di ketahui oleh siapa pun ada seseorang yang tinggal di hutan ini dengan seekor rusa. Seseorang itu namanya Ki Sidum dan rusanya bernama Elk, mereka bisa komunikasi dengan caranya sendiri.

Pagi ini Ki Sidum berangkat ke desa yang ada di luar hutan ini. Desa ini hidup seperti Pada biasanya. Tidak ada yang menyadari dirinya. Ki Sidum sama seperti manusia lainnya, dia menukar sesuatu dengan barang yang dia inginkan. Setelah itu dia juga suka bergurau dengan warga sekitar, tertawa-tawa tanpa ada warga yang memandang Ki Sidum beda dari yang lain.

Sesudah melakukan aktifitas ini Ki Sidum kembali masuk kedalam hutan. Belum terlalu dalam, Ki Sidum melemparkan bola sekecil kelereng.

Hush!

Ki Sidum menghilang dalam sekejap, bola itu mengeluarkan partikel jingga.

***

Di daerah lain berdiri satu istana yang besar tetapi raja di istana ini tidak besar kepala seperti kerjaanya. Raja ini memiliki anak salah satunya adalah Raden Wiralodra, Wiralodra ini memiliki pendamping setianya, yaitu adalah Ki Tinggil.

Suatau hari, Raden Wiralodra sedang berbaring santai di dalam kamar yang megah, tiba-tiba siulan dan bisikan terdengar dari kejauhan, Wiralodra terkejut duduk memperhatikan suara itu dengan teliti.

“Ki Tinggil kau mendengar itu?” tanya Wiralodra tanpa melirik.

Ki Tinggil yang sedang duduk melamun terkejut mendengar pertanyaan itu.

“Tidak tuan” Ki Tinggil menatap ke sana kemari keluar jendela, “suara apa yang tuan maksud? saya tidak mendengar apa pun”

Wiralodra melirik, “benar kau tidak mendengar apa pun? Saya benar-benar mendengar suara itu”

“Suara apa yang kau maksud tuan, aku benar-banar tidak mendengar itu” ucap Ki Tinggil berdiri dan mendekat, berusaha mendengarkan dengan saksama tetapi itu percuma, dia tidak bisa mendengar.

“Sudah lah lupakan” ucap Wiralodra ngibas di depan wajahnya, seolah menghapus kejadian tadi.

Besok harinya Wiralodra pergi ke gunung yang dekat di daerahnya, dia duduk di atas gunung itu, menutup matanya dan fokus mendengarkan suara itu, setelah beberapa menit mendengarkan suara itu, akhirnya Wiralodra mendapatkan jawabannya.

Dia di minta untuk pergi ke sebuah rawa di suatu tempat. Wiralodra yakin perintah itu perintah yang baik, maka Wiralodra tertarik untuk datang ke tempat itu, dia datang bersama Ki Tinggil.

Mereka sampai di hutan rawa yang mereka tuju. Mereka berdua memakai baju yang rapi dan terlihat gagah, baju mereka berwana cokelat muda dengan memakai seperti bandana di kepalanya, tidak lupa mereka menyisipkan pedang kecil di belakangnya.

Hutan ini sangat lebat dan lenggang, terlihat dari kejauhan, makin dalam makin gelap.

“Apakah kau tidak salah tempat tuan?” tanya Ki Tinggil tanpa melirik, pandangannya tetap menatap ke ujung hutan yang gelap itu.

Wiralodra menggeleng, “sepertinya benar, ayo”

Wiralodra berjalan duluan, Ki Tinggil mengikuti dari belakang, sesekali dia mengamati daerah sekitar.

Waktu terus berjalan, mereka tak sampai-sampai menuju tujuannya, rawa yang mereka cari tidak kunjung mereka temui. Malah mereka bertemu satwa liar yang berkeliaran di sekitarnya.

Tiba-tiba Ki Tinggil menarik tangan Wiralodra, menyuruh berhenti berjalan. Wiralodra kebingungan.

“Ada apa?” tanya Wiralodra sembari melirik.

“Hati-hati lihat di sana ada seseorang” tunjuk Ki Tinggil.

Seseorang itu sedang melakukan sesuatu, bersama makhluk di sampingnya, dari arah Wiralodra dan Ki Tinggil seseorang itu terlihat menggelegap hitam.

“Apa itu makhluk buas?” tanya Ki Tinggil ketakutan, bicaranya berubah menjadi gemetar.

“Tenang Ki Tinggil, kalau pun itu benar, kita mempunyai pedang” jawab Wiralodra dengan tegas.

Ki Tinggil tidak menjawab pandangannya tetap menatap ke seseorang itu.

“Ayo” Wiralodra menarik tangan Ki Tinggil, “hey!” seru Wiralodra berusaha mengejar seseorang itu.

Seseorang itu tak berlari setelah diteriaki oleh Wiralodra. Dia diam dan menunggu. makin mendekat siluet seseorang itu memudar, akhirnya seseorang itu terlihat jelas.

“Hai” sapa pemuda itu. Dia lebih muda dari Wiralodra dan Ki Tinggil. Rambutnya rapi dan kulitnya lebih terang dari Wiralodra dan bersih, di sampingnya berdiri seekor rusa yang sedang memakan rumput.

“Oh hai” sapa balik Wiralodra tersenyum lebar sembari melambaikan tangannya.

“Oh!” seru pemuda itu, wajahnya terkejut seolah dia melihat bongkahan emas berada di depannya. “Raden Wiralodra?” tanyanya tanpa mengedipkan mata.

“Ya, kau? Bagaimana tahu namaku?” tanya Wiralodra tidak memudarkan senyumannya.

“Kau sangat terkenal bukan? Orang-orang di luar sana selalu membicarakanmu” ucap pemuda itu.

“Benarkah?” tanya Wiralodra memastikan.

Pemuda itu mengangguk, “oh maafkan aku, perkenalkan aku Ki Sidum dan ini peliharaanku, dia bernama Elk” ucapnya sembari mempersembahkan rusa yang ada di sampingnya.

Wiralodra mengangguk mengerti, “seperti yang kau tahu, aku Wiralodra dan ini temanku, Ki Tinggil” Wiralodra mempersembahkan juga pendampingnya itu.

Ki Tinggil tersenyum sembari melambaikan tangannya.

Ki Sidum membalas dengan senyuman, “tuan apa yang kau lakukan di sini? Apakah ada urusan penting?”

“Iya tentu. Aku tidak tahu kau akan mengerti atau tidak tetapi, aku mendengarkan suara yang menyuruhku ke sini” jawab Wiralodra.

Ki Sidum terkejut, “suara seperti apa?”

“seperti ini” Wiralodra membisikan cerita suara itu ke telinga Ki Sidum. Wajahnya makin terkejut, “aku tahu itu, ayo ikut aku”

***

Mereka berempat sampai di daerah rumah Ki Sidum. Daerahnya masih di dalam hutan, makin dalam. Dia di depan menggenggam bola kecil, tidak lama dia melemparkan bola itu.

Bola itu menyala putih ke kuningan kemudian muncul seketika rumah berserta kursi halaman dan hiasan pot tanaman di sekitarnya.

“Wah! Itu sihir?” tanya antusias Ki Tinggil.

“seperti yang kau lihat, ayo masuk” ajak Ki Sidum melangkah duluan masuk kedalam rumah. Elk si rusa duduk di halaman di depan.

Wiralodra dan Ki Tinggil masuk kedalam rumah Ki Sidum. Rumahnya tampak bersih dan barangnya tertata rapi. Wiralodra dan Ki Tinggil duduk segera.

Ki Sidum membawakan dua gelas yang berisi air dingin dan segera menaruh di atas meja.

“Terima kasih” ucap Wiralodra.

Ki Sidum mengangguk, “Akan ku ceritakan” ucapnya.

***

Wiralodra dan Ki Tinggil menghela napas saat Ki Sidum menyelesaikan ceritanya. Amat rumit.

“Kau tahu tentang itu?” tanya Wiralodra.

Ki Sidum mengangguk, “tidak banyak, aku terlalu sibuk bertahan hidup, jadi aku hanya mendengar cerita itu lewat warga sekitar”

“Kau masih tertarik mengikuti perintah suara itu?” tanya Ki Sidum ke arah Wiralodra.

“Aku tidak mau munafik, banyak orang yang rela mati untuk mendapatkan kekuatan tambahan” jawab Wiralodra diam melamun.

“Selain kekuatan apa yang kau inginkan tuan Wiralodra?” tanya Ki Sidum.

Wiralodra melirik, “aku hanya ingin membantu membuka kan lahan, seperti yang dia minta”

“tetapi bahkan kau tidak tahu dia meminta lahan untuk hal yang baik atau tidak, bagaimana?” tanya Ki Sidum.

“Aku yakin ini permintaan ini akan berujung baik. Kau tentu bisa membantuku menuju tempat itu kan?” tanya Wiralodra.

Ki Sidum membenarkan duduknya, sebelum berbicara. “maaf, aku tidak bisa”

Wiralodra dan Ki Tinggil mengubah raut wajahnya terkejut.

“mengapa? kami membutuhkan tempat itu” tanya Ki Tinggil sedikit menaikan nada bicaranya.

Ki Sidum tidak terkejut dengan itu, mengalihkan pandangannya. “Itu terlalu bahaya tuan. Kalau aku memberi tahu tempat itu, sama saja aku membunuh kau”

“Aku tidak akan pernah tahu tempat itu berbahaya kalau aku tidak pernah ke sana” jawab Wiralodra, wajahnya seolah meminta mohon.

“Cerita tadi sudah kau dengarkan?” Ki Sidum memastikan, “mereka semua yang mencoba ke tempat itu tidak pernah kembali dengan selamat, apakah kau yakin dengan itu?”

Wiralodra mengangguk yakin, bola matanya bulat tanpa mengedip.

“Baiklah kalau itu mau kau. Aku akan mempertimbangkan itu” lanjut Ki Sidum.

***

Matahari tumbang dari dinding langit, hari mulai sore menuju malam. Burung-burung di dalam hutan mulai berbunyi terdengar di keheningan malam.

Malam ini Wiralodra dan Ki Tinggil beristirahat di tempat tinggal Ki Sidum. Setelah membicarakan masalah tadi, mereka melanjutkan bercerita tentang hal lain. Sesekali mereka tertawa tanpa kendali.

Waktu begitu cepat berjalan, tanpa sadar mereka tertidur di tempat mereka berdiskusi. Matahari mulai naik kembali ke permukaan, burung-burung mulai berkicau di keheningan fajar.

Ki Sidum bangun lebih awal dari Wiralodra dan Ki Tinggil, dia sedang mempersiapkan makan untuk sarapan. Suara Ki Sidum membangunkan perlahan Wiralodra dan Ki Tinggil.

“Kalian sudah bangun, maaf percakapan tadi malam membuatku lupa untuk mempersilahkan kalian pergi tidur di kamar” ucap Ki Sidum menyimpan dua potong roti yang habis di hangatkan ke hadapan mereka.

“Tidak apa, ini sudah lebih cukup kau memberikan kami tempat untuk beristirahat” jawab Wiralodra setelah meregangkan badannya, menatap Ki Sidum tersenyum.

“Sangat terima kasih Ki Sidum” lanjut Ki Tinggil tersenyum menatap Ki Sidum, lalu pandangannya turun ke meja, “terima kasih juga kuenya” senyumannya makin lebar.

Ki Sidum tertawa, “makanlah aku hanya ada sedikit amunisi yang aku punya untuk kalian pergi ke sana”

“Tak apa ini sudah lebih dari cukup, terima kasih Ki Sidum” ucap Wiralodra mengambil potongan kue yang hangat itu.

“Jika kalian ingin langsung pergi setelah ini aku akan memberikan pinjaman yang cukup berguna untuk menentukan arah jalan” ucap Ki Sidum sembari berjalan keluar rumahnya, Wiralodra dan Ki Tinggil mengikuti dari belakang.

“Ini” Ki Sidum mempersembahkan rusanya yang tampak cuek hanya fokus memakan rumput.

“Untuk apa?” tanya Wiralodra tidak mengerti.

“Kita akan menaiki seekor rusa?” tanya juga Ki Tinggil.

Ki Sidum menggeleng, “Elk ini akan membantu kalian untuk menunjukkan jalan menuju tempat yang akan kalian akan tuju, Elk memiliki kemampuan memanipulasi dirinya menjadi menghilang, kalian juga bisa ikut menghilang jika kalian menyentuh Elk”

“Wow!” Ki Tinggil terpesona mendengar cerita Ki Tinggil, “kalian benar benar hidup menggunakan sihir?”

Ki Sidum melirik, “tidak selalu, sihir digunakan saat mendesak”

“Baiklah aku sangat berterima kasih, sekarang kami akan melanjutkan perjalanan” ucap Wiralodra.

“Dengan senang hati, sama-sama” jawab Ki Sidum.

Akhirnya Elk bergerak berjalan keluar dari area rumah Ki Sidum, Wiralodra dan Ki Tinggil berangkat berpamitan. Mereka berdua berjalan perlahan mengikuti Elk yang berjalan di depan.

***

Sudah dua puluh menit mereka bertiga berjalan tanpa henti, Ki Tinggil terus melirik ke sana kemari memastikan tidak yang memperhatikan mereka.

Wiralodra terus menatap ke depan mengharapkan mereka bisa cepat sampai di tempat yang mereka tuju.

Tidak di sangka di ujung jalan sana terlihat seeorang wanita dengan rambut panjang. Wiralodra berhenti dan menyuruh Elk juga berhenti. Ki Tinggil kebingungan ikut juga berhenti.

“Ada apa?” tanya Ki Tinggil menatap wajah Wiralodra.

“Apakah itu seorang perempuan?” tanya Wiralodra menunjuk ke depan tanpa menatap Ki Tinggil.

“Sepertinya iya” jawab Ki Tinggil.

Perempuan dengan rambut panjang itu melirik. Dia dan Wiralodra saling pandang. Perempuan itu menyadari berlari menghindar. Wiralodra sangat penasaran.

“Hey! mengapa kau berlari!” seru Wiralodra melambaikan tangannya, ikut berlari mengejar.

“Tunggu!, mengapa kau mengejar” seru lagi Ki Tinggil dari belakang mengikuti. “Ayo Elk” lanjutnya.

Wiralodra kehilangan perempuan itu, dia berhenti berlari, melirik ke sana kemari, mencari tetapi tidak ada, dia terengah-engah.

Tidak lama Wiralodra mendengar suara tangisan. Wiralodra menyadari mengikuti suara tangisan itu, tidak jauh, ternyata itu perempuan yang tadi, menangis di balik pohon.

Perempuan itu memakai dress putih dan memiliki rambut panjang berponi, kulitnya terlihat bersih dan putih. Wiralodra sempat tak mengedipkan matanya.

“Kau mengapa?” tanya Wiralodra.

“Hei! Tuan! Apa yang kau lakukan!” seru Ki Tinggil menepuk pundak Wiralodra. Lalu dia juga menatap perempuan itu, “siapa?” tanyanya.

Wiralodra menggeleng. Perempuan itu terus menangis.

Perempuan itu melirik, “apa kau ingin membantuku?”

“Tentu, apa yang bisa aku bantu?” tanya Wiralodra bersiap sedia membantu.

“Aku kesepian, aku butuh seseorang” jawab perempuan itu.

“Apa maksudmu, aku tidak mengerti, tetapi mengapa kau bisa sendirian di sini?” tanya Wiralodra kebingungan, maju selangkah.

Perempuan itu terus terisak, tak berhenti, “ya aku sendirian di sini, kesepian, aku membutuhkan seseorang lelaki untuk menemaniku, apakah kau bersedia, lelaki tampan?” Tanya perempuan itu melirik, berhenti menangis, sembari mengusap air matanya.

Ki Sidum menyenggol sikut Wiralodra, “ada yang ga beres, sepertinya ini bukan perempuan asli” bisiknya, kemudian dia menatap Elk.

Elk menggoyangkan kepalanya, berisyaratkan itu benar ada yang tidak benar dari perempuan itu.

Wiralodra tidak mendengarkan bisikan Ki Tinggil tadi, dia tetap mengobrol dengan perempuan itu. Ki Tinggil terus menyenggol, tetapi Wiralodra sepertinya tidak sadarkan diri, dia tidak menghibau temannya itu, Ki Tinggil terus menggoyangkan tubuh Wiralodra, berharap temannya itu melirik.

Beberapa detik Ki Tinggil menyadarkan temannya itu, Ki Tinggil menguatkan tangannya dan menepukan ke punggung Wiralodra dengan keras.

Bug!

Wiralodra tersadar, melirik, mengkerutkan dahinya, “apa yang kau lakukan!” serunya.

“Kau tak sadarkan diri” balas serunya Ki Sidum.

Wajah Wiralodra kebingungan, “hah?!” Dia membalikan badan ke arah perempuan itu, wajahnya makin terkejut, “di mana perempuan itu.”

“Sudahku duga, itu hanya khayalan” ucap Ki Sidum.

Elk menganggukan kepalanya, dia bisa merasakannya.

Wiralodra menghela napas, “tadi dia benar-benar membuatku percaya”

***

Setelah kejadian tadi mereka bertiga kembali melanjutkan perjalanan Elk berhasil membawa Wiralodra dan Ki Sidum ke tempat yang di tuju.

Elk diam di tempat, tidak kembali berjalan. Tempat ini berada di samping sungai Citarum. Wiralodra dan Ki Sidum saling pandang kebingungan.

“Apakah sudah sampai Elk?” tanya Wiralodra menatap rusa itu.

Elk menganggukan kepalanya, hanya petunjuk itu yang bisa dia lakukan.

Ki Tinggil berjalan menuju tepi sungai sembari tatapannya menatap ke atas mencari maksud dari tempat ini.

Tidak lama muncul gelombang angin dari sisi kiri mereka, mereka berdua melirik mengerutkan dahinya. Gelombang itu terus bergerak kemudian terbesit robekan dan keluar seseorang pemuda tetapi lebih tua dari Wiralodra.

Pemuda itu tersenyum sambil menggengam gunting emas. “Ah sudah lama aku menunggu”

Wiralodra dan Ki Tinggil mundur selangkah. Elk melompat ke sana kemari, resah ketakutan.

“Kau siapa?” tanya Wiralodra.

“Perkenalkan, aku Raden Werdinata” jawabnya menundukan badan. Wiralodra dan Ki Tinggil terkejut melihat di belakangnya terdapat pasukan berbaris siap untuk masuk.

Wiralodra dan Ki Tinggil memasang kuda-kuda. Werdinata menyuruh pasukan untuk membuka dinding portal lebih lebar, 3 kawanan itu makin cemas, dinding terus merobek, sampai terlihat kerajaan emas di dalam sana. Secara tidak langsung Wiralodra, Ki Sidum dan Elk masuk kedalam dunia barunya.

“Selamat datang di kerajaan Pulomas” ucap Werdinata Mempersembahkan dunianya.

Wiralodra dan Ki Sidum tidak menjawab, matanya terus ke sana kemari memperhatikan kerajaan Pulomas yang seluruh bangunannya berlapis emas yang mengkilap.

“Aku hanya ingin menanyakan sesuatu, apakah benar kau ingin membuka lahan di di sini?” tanyanya dengan nada berat.

“Ya, aku melakukannya dengan sebuah alasan” jawab Wiralodra.

“Kau tahu, ini adalah tempat kekuasaanku, kau tak kuizinkan untuk membuka lahan di sini” ucap Werdinata dengan nada berat.

“Apa alasan kau tidak mengizinkan ku membuka lahan?” tanya Wiralodra.

“Karena ini adalah lahanku!” serunya.

“Bukan kah ini ada di dunia yang berbeda, di duniaku ini masih hanya lahan kosong” lanjut Wiralodra memajukan langkahnya tidak terima.

Werdinata kehabisan kesabaran, tangannya mengepal bersiap menghantam. Kerutan di dahinya muncul seketika, dia berlari sembari melompat, tangannya siap menghantam.

Bum!

Wiralodra segera mengambil pedang kecilnya, untuk menahan pukulan dari Werdinata, mereka beradu selama beberapa detik.

Hush!

Mereka saling terbanting secara berlawanan, juga Ki Tinggil dan Elk terbanting kebelakang, mereka berdua tidak sadarkan diri.

Wiralodra segera kembali bangun, juga Werdinata memainkan sihir di tangannya, segera terbang, berdiri.

“Kita lihat siapa yang paling kuat!” bisik Werdinata menggerakan tangannya mengeluarkan sihir berwarna jingga.

Wiralodra sempat melihat temannya itu terjatuh tak sadarkan diri, tetapi kembali melihat ke depan, siap dengan senjatanya, Wiralodra, melompat menghindar.

“Ck!” bisik Werdinata kecewa, pukulannya meleset.

“Tuan, bisakah kita bicara baik-baik” ucap Wiralodra sembari mengusap darah yang mengalir di ujung bibirnya.

Werdinata menggeleng tegas, terengah-engah, “bereskan saja urusan perkelahian ini, aku sudah berapa ratus kali dikecewakan, aku tidak akan lengah kali ini!” serunya berlari segera menyerang.

Hush! Hush! Hush!

Tak di pungkiri mereka berdua saling bertarung selama lima belas jam. Keadaan dunia Budipaksa tetap sama, prajurit dari raja Werdinata berdiri tangguh di belakang menunggu di perintahkan. Di sisi lain Ki Tinggil dan Elk tetap terbaring tanpa siuman sejak tadi.

Tubuh Wiralodra di selimuti oleh keringat dan luka di bagian wajahnya, juga Werdinata memiliki beberapa luka di area tubuhnya, seperti terbesit pedang yang tipis.

Mereka saling pandang dengan jarak beberapa meter, mereka sadar kalau pertarungan mereka sudah lebih dari lima belas jam. Werdinata terlihat kelelahan.

“Kau sangat hebat sekali” puji Werdinata terengah-engah.

Wiralodra diam tak menjawab ucapan Werdinata. Wiralodra menegakan badannya membenarkan tangannya yang memegang senjata.

“Kita sudahi perkelahian ini, kau terlalu kuat” ucap Werdinata dengan nada beratnya.

Wiralodra tertawa, “kau yang meminta pertarungan ini terus berlanjut, aku dari awal sudah memintamu secara baik-baik untuk berhenti”

“Ya, seluruh orang yang datang ke sini melakukan hal yang sama, hanya ingin mendapatkan kekuatan yang baru lalu menghancurkan tempat ini” ucap Werdinata.

“Sudah ku bilang, aku ke sini hanya di minta pertolongan, untuk membukakan lahan di duniaku, bukan di duniamu, itu jelas tak akan mengganggu duniamu” jawab Wiralodra dengan tegas.

Werdinata menelan ludah, “ya, orang yang datang juga mengucapkan hal yang sama, persis seperti kau” ucapnya menunjuk tepat pada titik dahi Wiralodra.

“Sekarang apa yang bisa kau percaya dariku?” tanya Wiralodra.

“Kita buat kesepakatan, kau harus memperhatikan pulau ini dengan baik, jika suatu saat nanti bangsa sepertimu merusak dan tidak mengurus tempat ini, aku akan membakar tempat ini. apakah kau bisa meyakinkan kan itu?” tanya Werdinata memastikan.

Wiralodra mengubah posisi berdirinya, “aku yakin, bangsaku tak akan merusak tempatnya, mereka akan mengurus tempat tinggalnya”

“Kesepakatan di setujui” tegas Werdinata.

Werdinata membuka kepalan tangannya, prajuritnya melangkah, membawa kotak yang terlihat elegan berwarna emas. Werdinata membuka kotaknya, dia segera mengambil bola kecil berwarna jingga.

“Kemarilah” ucap Werdinata.

Wiralodra melangkah, mendekat, membuka telapak tangannya. Werdinata menyimpan bola itu ke telapak tangan Wiralodra.

“Hentakan ke bawah, kalian akan kembali ke dunia kalian sekaligus menggeserkan beberapa lahan pohon dan lainnya untuk membuka hamparan rumput” ucap Werdinata menjelaskan.

Dalam waktu bersamaan Wiralodra melepaskan kelereng jingga ke tanah, Ki Sidum dan Elk tersadar dan mereka berusaha memeluk Wiralodra karena tidak tahu apa yang akan terjadi.

Stts!

Cahaya emas sekelebat menyinari seisi hutan. Mereka bertiga kembali ke dunianya. Juga kedua tangan Wiralodra bersinar berwarna emas merambat ke atas sikut. Itu efek sihir yang masuk ke dalam tubuh Wiralodra.

Brug! Mereka terjatuh. Wiralodra menggelengkan kepalanya menyadari sudah kembali ke hutan tadi. Kali ini pohon dan batu-batuan besar bergeser jauh, membuka lahan yang luas dengan hamparan rumput hijau.

“Apa yang terjadi?” tanya Ki Sidum berusaha menyadarkan dirinya dari pingsan tadi.

“Ceritanya panjang” jawab Wiralodra.

Dari ujung hutan terlihat warga desa datang dengan berbondong-bondong menuju tempat itu, sembari membawa obor.

Wiralodra cepat berdiri mengambil sebatang kayu, dan cepat menulis di tanah dengan ukuran besar, ‘Indramayu’ kemudian kembali mendekat ke Ki Sidum dan Elk.

Tidak mempunyai waktu yang banyak untuk pergi, dengan waktu yang tepat warga sampai di lahan itu dan Elk mengaktifkan sihirnya, mereka bertiga menghilang.

“Wah ada lahan!” seru pemuda yang sampai duluan, lalu membaca, “Indramayu” bisiknya.

Pemuda lain cepat menyusul, “ini pulau emas, tadi kita melihat cahaya emas bersinar di sini!” serunya.

Wiralodra, Ki Sidum dan Elk segera melipir ketepi hutan menyaksikan warga itu senang mendapat lahan baru.

“Di dunia ini tidak ada yang bisa berubah dengan hanya sihir, perubahan itu berubah karena ada seseorang yang mengubahnya” suara bisikan itu kembali muncul, Wiralodra terkejut. Lalu tersenyum, keputusan yang dia pilih ternyata berpengaruh baik untuk membantu warga.

Selesai.

Baca Juga: Emma Bersama Ayah

BekelSego adalah media yang menyediakan platform untuk menulis, semua karya tulis sepenuhnya tanggung jawab penulis.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button