Ketika ada sebuah kasus kekerasan atau kriminal, dan setelah diinvestigasi, pelakunya ternyata gemar menonton film laga, satu topik kembali mencuat. Topik itu adalah pengaruh menonton film kekerasan dengan perilaku si penontonnya.
Ada yang bilang bahwa nonton kekerasan bakal membuat si penontonnya menjadi orang yang suka melakukan kekerasan. Tapi tontonan berbau kekerasan gak berpengaruh apa-apa, selagi penontonnya gak punya kecenderungan berbuat kasar. Lalu, apakah benar, kekerasan dalam film dapat memengaruhi perilaku seseorang?
Contoh kasus akibat kekerasan dalam film
Sebelum menyimak pembahasannya, ada baiknya menyimak beberapa kasus akibat kekerasan film terlebih dahulu. Pada tahun 2020 lalu, seorang remaja 15 tahun di Jakarta ditangkap karena kasus pembunuhan terhadap anak lima tahun, tetangganya sendiri. Pelaku mengaku, aksinya terinspirasi film yang ia tonton.
Lima tahun sebelumnya, pada 2015, seorang siswi SD di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, menganiaya rekannya sendiri hingga tewas. Gak ada pengakuan pelaku terinspirasi film sih. Tapi perwakilan Asosiasi Psikologis Forensik Kasandra Putranto bilang, kasus ini salah satu dampak nonton sinetron yang penuh kekerasan.
Menyeberang ke luar negeri, tepatnya di Belgia sana, ada kasus yang lebih mengerikan. Tahun 2001, seorang lelaku bernama Thierry Jaradin membunuh tetangganya sendiri dengan brutal. Thierry sepertinya terinspirasi film Scream (1996), karena saat melakukan pembunuhan, ia memakai kostum Ghostface (pembunuh dalam film Scream).
Sejatinya, masih ada banyak contoh kasus kriminal dan kekerasan di luar sana yang ”katanya” disebabkan nonton film. Tapi, kebenaran mengenai asumsi ini sampai saat ini masih dipertanyakan. Simak penjelasan mengenai dampak menonton film terhadap tindakan seseorang berikut.
Bagaimana Faktanya?
Melihat banyaknya kasus kriminalitas, atau kekerasan yang “katanya” gara-gara nonton film, perdebatan muncul lagi. Bener gak sih, film yang bertema kekerasan bisa membuat orang menjadi kriminal. Dengan kata lain, mengubah orang yang semula baik-baik saja, menjadi seorang yang jahat.
Sejumlah studi menarik sebuah kesimpulan yang mirip perihal keterkaitan antara tontonan kekerasan dengan perilaku kekerasan. Satu garis merah yang bisa ditarik, memang ada keterkaitan antara dua hal tersebut. Artinya, menonton film kekerasan jelas berpengaruh terhadap perilaku seseorang.
Penelitian di Fungsional Magnetic Resonance Imaging (FMRI) Columbia University menemukan sesuatu yang menarik. Menurut penelitian ini, tayangan kekerasan, termasuk film, dapat memicu peningkatan agresivitas seseorang. Tayangan kekerasan juga membuat seseorang agak kehilangan kontrol terhadap perilakunya.
Akan tetapi, sebuah studi lain mengungkapkan bahwa perilaku agresif seseorang akan berbahaya apabila orang itu memang memiliki kecenderungan bertindak agresif. Artinya, film hanya sebagai pemicu. Apabila seseorang tidak memiliki kecenderungan tersebut, maka nonton film kekerasan tidak menjadi masalah.
Opini demikian juga diamini salah satu psikolog yang namanya sudah malang melintang di tanah air, Ikhsan Bella Persada, M.Psi. Menurut Ikhsan, dampak tontonan kekerasan kembali ke pribadi masing-masing. Kalau memang tidak ada kecenderungan bertindak agresif, ya gak masalah nonton film kekerasan.
Satu hal yang perlu digarisbawahi, tayangan kekerasan, utamanya film, akan jadi berbahaya kalau yang mengonsumsinya adalah anak-anak. Ikhsan juga berpikir demikian. Anak-anak belum bisa berpikir logis. Sehingga mereka belum bisa membedakan, mana yang boleh ditiru, dan mana yang tidak boleh ditiru.
Kalau bicara soal terobsesi salah satu tokoh dalam film yang memuat unsur kekerasan, yah…rasanya wajar saja. Karakter dalam film memang dibuat untuk disukai para penontonnya. Hanya saja, kalau obsesi itu berlebihan, maka kembali lagi, itu akan menjadi sesuatu yang berbahaya.
Ambil contoh film Scream, seperti contoh kasus di Belgia. Thierry Jaradin pada dasarnya memang punya kecenderungan berlaku agresif. Nah, karena itulah, obsesinya terhadap sosok Ghostface menjadi pemicu dirinya berubah menjadi pembunuh. Kalau Thierry gak punya kecenderungan agresif, yah…film Scream gak bakal jadi masalah.
Baca Juga: Mengambil Keteladanan dari 5 Karna atau Karno
Pentingnya Melihat Rating
Setiap film dibuat dengan tujuan utama sebagai hiburan, dan hiburan itu sudah ada porsinya masing-masing, tentunya dalam bentuk rating. Rating bukan sekadar angka, melainkan panduan ditujukan pada siapa film tersebut. Ingat, tontonlah film sesuai dengan rating yang tertera pada covernya.
Nah, rata-rata film yang memuat unsur kekerasan, apalagi yang eksplisit, memiliki rating 17+. Artinya, film-film dengan kategori semacam ini memang gak ditujukan buat konsumsi anak-anak. Kalau sampai ada anak-anak yang nonton film semacam ini, salah siapa? Apa masih mau menyalahkan yang bikin film?
Fungsi lembaga-lembaga seperti LSF (Lembaga Sensor Film) juga demikian. Lembaga-lembaga inilah yang mengelompokkan film berdasarkan ratingnya. Mereka yang menentukan, sebuah film layak dinikmati oleh kategori umur berapa saja. Kalau di Amerika sana, MPAA (Motion Picture Association of Amerika) lah yang berwenang ngasih rating.
Intinya, lembaga-lembaga tadi udah berusaha keras sunting sana-sini cuma buat memastikan apakah suatu film layak dikonsumsi suatu golongan umur. Kalau rating ini pada akhirnya dilanggar, apa gak kasihan sama lembaga-lembaga tadi. Pada intinya, pandai-pandai lah membaca rating.
Kesimpulan, Filmnya Bersalah?
Setelah menyimak pembahasan di atas, balik lagi ke akar permasalahannya, film bersalah gak dalam deretan contoh kasus di atas? Kalau ditanya film punya pengaruh atau gak, ya jelas berpengaruh. Tapi kalau ditanya apakah film adalah satu-satunya pemicu, ya jelas jawabannya tidak.
Seperti yang telah disampaikan, semua tindakan itu tergantung orangnya. Kalau memang orangnya gak punya kecenderungan agresif, yah..nonton apapun gak masalah. Tapi kalau memang dasarnya agresif dan anarkis? Yah…nonton film-film kekerasan justru bakal bikin tindakannya makin menjadi-jadi.
Peran lingkungan, terutama pengawasan orangtua juga penting. Orangtua hendaknya memerhatikan rating sebelum menyuguhkan suatu tontonan ke anaknya. Jangan sampai anaknya diberi tontonan ber rating dewasa. Kan gak lucu kalau ada orangtua yang asal kasih tontonan, tapi yang disalahkan justru yang bikin film atau malah….LSF.
Jadi, kesimpulannya adalah, bijak-bijaklah dalam memilih tontonan. Kita harusnya paham, mana yang sekadar tontonan, mana yang tutorial. Perhatikan pula rating, beri tontonan yang sesuai dengan ratingnya. Kita sendiri yang harusnya pintar memilih, mana tontonan yang berkualitas, mana yang tidak.
Kembali lagi, film dibuat dengan tujuan hiburan semata, dan pernyataan ini biasanya muncul di hampir semua film. Ingat, kita sendiri yang punya kontrol penuh terhadap diri kita. Kita sendiri yang tahu, mana perbuatan yang bisa dicontoh, dan mana yang tidak. Bijak-bijaklah dalam memilih tontonan.
Baca Juga: Asal-usul Pesta Halloween, Benarkah Kental dengan Unsur Mistis?
BekelSego adalah media yang menyediakan platform untuk menulis, semua karya tulis sepenuhnya tanggung jawab penulis.