Pendidikan

5 Penyebab Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus, Seperti Fenomena Gunung Es

Kekerasan seksual menjadi salah satu masalah serius di Indonesia. Perlahan kasus ini mulai menarik perhatian masyarakat. Lingkungan kampus, merupakan salah tempat di mana masih banyak terjadi kasus kekerasan seksual.

Menurut badan kesehatan dunia World Health Organization atau WHO, kekerasan seksual dapat diartikan sebagai segala perilaku yang dilakukan dengan menyasar seksualitas atau organ seksual seseorang tanpa mendapatkan persetujuan, dan memiliki unsur paksaan atau ancaman. Pelaku kekerasan seksual tidak terbatas oleh siapa dan memiliki hubungan apa dengan korban.

Dalam Permendikbudristek Nomor 55 Tahun 2024 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi (PPKPT), Secara eksplisit berbagai tindakan yang diakui sebagai kekerasan seksual di lingkungan kampus meliputi:

  • Ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan/atau siulan yang bernuansa seksual;
  • Perbuatan menatap korban dengan nuansa seksual dan/atau membuat korban merasa tidak nyaman
  • Pengiriman pesan, lelucon, gambar, foto, audio, dan/atau video bernuansa seksual kepada Korban meskipun sudah dilarang Korban
  • Perbuatan mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban
  • Perbuatan mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban
  • Penyebaran informasi terkait tubuh dan/atau informasi pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban
  • Perbuatan mengintip atau dengan sengaja melihat Korban yang sedang melakukan kegiatan secara pribadi dan/atau pada ruang yang bersifat pribadi
  • Perbuatan membujuk, menjanjikan, atau menawarkan sesuatu kepada Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui Korban
  • Pemberian hukuman atau sanksi yang bernuansa seksual
  • Perbuatan menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium, dan/atau
    menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan Korban
  • Perbuatan membuka pakaian korban tanpa persetujuan korban
  • Pemaksaan terhadap korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual
  • Praktik budaya komunitas warga Kampus yang bernuansa Kekerasan seksual
  • Percobaan pemerkosaan dan pemerkosaan
  • Pemaksaan korban untuk melakukan aborsi, untuk hamil, ataupun sterilisasi
  • Penyiksaan, Eksploitasi, dan Perbudakan seksual
  • Tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual
  • Pembiaran terjadinya kekerasan seksual dengan sengaja

Mayoritas, korban kekerasan seksual di lingkungan kampus terjadi pada wanita. Lantas, apa yang menjadi penyokong awetnya kekerasan seksual di lingkungan kampus? Berikut ulasannya

1. Relasi Kuasa

Relasi kuasa adalah cikal bakal mengapa penanganan kasus kekerasan seksual di kampus seringkali berhenti di tengah jalan dan mengecewakan korban. Untung saja jika dilaporkan, beberapa korban bahkan memilih untuk mendiamkan kekerasan yang dialami karena adanya intimidasi dari pihak pelaku.

Dari beberapa kasus yang diangkat media dan tercatat dalam data, Pelaku seringkali berasal dari kalangan mahasiswa dan dosen. Modus pelaku seringkali dibungkus dalam kepentingan akademik, atau keperluan organisasi. Perilaku seperti ini tentu sangat melecehkan kampus dan lembaga mahasiswa sebagai gerbang lahirnya gerakan sosial dan intelektualisme. Mirisnya lagi, kasus kekerasan seksual seringkali ditutup demi menjaga nama baik kampus.

Baca Juga:

2. Pembahasan mengenai kekerasan seksual yang dianggap tabu

Kasus-kasus yang terjadi di kampus biasanya hanya berakhir menjadi bahan perbincangan tertutup mahasiswa, dan tidak ada keberanian untuk melaporkan. Hal ini juga didukung oleh stigma negatif pada korban kekerasan seksual, seperti korban dianggap sudah tidak suci (hilang keperawanan).

Reviktimisasi pada korban juga tidak jarang terjadi. Sebenarnya, poin ini menegaskan pentingnya pendidikan seksualitas yang komprehensif agar hal-hal yang berbau seksualitas tidak ditabukan lagi sehingga menghambat kita untuk speak up pada hal-hal yang sangat mendesak.

Salah satu hal lagi yang membuat korban tidak berani speak up, ketika korban melaporkan justru masyarakat menyalahkan korban atas kejadian yang menimpanya (victim blaming). Anggapan tersebut juga didukung oleh hasil survei yang dilakukan Statista pada tahun 2020 tentang faktor penyebab terjadinya pelecehan seksual di Indonesia.

Hasil survei tersebut menjelaskan perilaku genit yang dilakukan oleh korban dan persepsi bahwa penggunaan baju yang cenderung terbuka oleh korban dapat mendorong terjadinya perilaku pelecehan.

3. Kurang edukasi dan advokasi

Data kekerasan seksual di lingkungan kampus yang tercatat hanyalah puncak gunung es. Masih banyak kasus yang belum tercatat. Salah satu penyebabnya ialah, korban tidak sadar bahwasanya dirinya merupakan korban pelecehan. Inilah sebabnya, ruang-ruang edukasi akan kekerasan seksual haruslah terus dirawat secara berkala dan tidak hanya muncul di permukaan sebagai momentum hari-hari besar.

Selain itu, advokasi wacana kekerasan seksual juga harus terawat dengan baik agar tidak menjadi pembahasan yang pasang-surut. Kasus kekerasan seksual harus terus diangkat ke permukaan karena mengingat sifatnya yang sangat mendesak dan meresahkan.

4. Normalisasi tindak kekerasan

Penopang lain dari kasus kekerasan seksual di kampus ialah upaya normalisasi. Kawan-kawan mahasiswa berupaya mendegradasi jenis kekerasan seksual yang dianggap sepele saja dan tidak perlu diperdebatkan.

Hal ini menyebabkan korban juga berusaha untuk tidak mempermasalahkan padahal sebenarnya korban merasa sangat tidak nyaman akan tindakan-tindakan yang dianggap sepele. Kekerasan seksual bukan hanya pemerkosaan dan pencabulan.

Baca Juga: 

5. Pihak kampus yang menutupi kasus kekerasan seksual

Penelitian yang dilakukan Fitri dkk. (2021) pun mengungkapkan beberapa kasus atau kejadian kekerasan seksual di kampus, tetapi kasus yang ada cenderung ditutup-tutupi oleh pihak kampus.

Alasan utamanya adalah untuk mempertahankan reputasi yang dimiliki oleh kampus. Di Indonesia, tendensi suatu institusi melakukan hal tersebut cenderung dipengaruhi oleh aspek agama dan budaya. Alhasil, institusi tersebut pun cenderung menunjukkan support yang terbatas dan korban pun cenderung termotivasi untuk diam agar dapat melindungi dirinya dan institusinya.

Sumber:

  • Permendikbudristek Nomor 55 Tahun 2024: Pencegahan dan Penanganan Kekerasan
    di Lingkungan Perguruan Tinggi (PPKPT)
  • Permendikbudriset No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi

Baca Juga: 6 Bentuk Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi, Banyak Terjadi Pada Warga Kampus!

Fransisca Dewi

Doyan traveling, dan kuliner

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button