Memaknai 8 Perilaku Luhur Berdasarkan Nilai-nilai Positif Dalam Budaya Jawa

Seiring dengan perubahan dan perkembangan zaman, sering kali ungkapan tradisional tidak relevan lagi untuk diterapkan. Namun demikian sebagai kearifan lokal, ungkapan tradisional mestinya dimaknai secara positif.
Saat ini sering kali muncul penggunaan ungkapan tradisional yang disikapi secara negatif sehingga maknanya tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Hal yang demikian inilah yang sebenarnya perlu ditinjau ulang pemaknaannya, meskipun tidak dapat berlaku bagi semua ungkapan tradisional.
Nilai-nilai yang terkandung dalam budaya jawa banyak yang mengandung nilai-nilai positif kehidupan. Delapan nilai yang dikembangkan ini disebut sebagai ‘Hasthalaku’ (Hastha = delapan, Laku = nilai perilaku). Delapan nilai tersebut berkaitan erat terhadap nilai-nilai dalam kehidupan yang harmonis dan toleran.
Berikut nilai-nilai positif dalam budaya Jawa yang harus dilestarikan dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
1. Gotong Royong
Gotong royong merupakan salah satu cerminan kebersamaan yang tumbuh di dalam suatu lingkungan masyarakat. Gotong royong berasal dari bahasa Jawa dari kata gotong yang artinya memikul atau mengangkat dan royong yang artinya bersama-sama.
Jadi, gotong royong adalah perilaku mengerjakan suatu kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama, sehingga pekerjaan dapat cepat selesai dan tujuan bersama dapat tercapai karena adanya kesepakatan kerjasama.
Makna penting gotong royong adalah untuk menciptakan kerukunan dalam diri masyarakat Indonesia. Kebiasaaan gotong royong ini dilambangkan dalam Pancasila sila ketiga yaitu Persatuan Indonesia. Masyarakat Jawa menganggap, dengan melakukan gotong royong, masyarakat bisa hidup saling berdampingan dengan damai.
Baca Juga:
2. Grapyak Semanak
Grapyak semanak adalah sikap pada diri sesorang yang akrab dan menyenangkan dalam pergaulan seperti suka senyum, sopan dan hormat dalam pembicaraan, suka menyapa, suka membantu tanpa pamrih.
Sikap grapyak semanak dapat menjadikan orang yang baru saja ditemui merasa nyaman dan tidak merasa terasing serta dapat membunuh kejenuhan dan memecahkan kekakuan dan kebuntuan komunikasi.
Sebagai pribadi yang senang berkelompok dan bersahabat manusia Jawa tidak bisa hidup menyendiri. Mereka bersosialisasi dengan orang lain untuk menjaga kenyamanan hidup. Oleh karena itu, mereka selalu mencoba menambah kerabat atau kenalan dan berusaha mempertahankan kekerabatannya dengan membentuk diri sebagai pribadi yang grapyak dan semanak.
3. Guyub Rukun
Guyub artinya kebersamaan, sedangkan rukun memiliki makna keselarasan tanpa pertikaian. Guyub rukun menggambarkan terwujudnya masyarakat saling menghormati, empati, dan Tepo Seliro.
Guyub sendiri dapat bermakna kebersamaan sedangkan rukun bermakna keselarasan, kehidupan tanpa adanya perselisihan, pertikaian, dan konflik. Apabila digabungkan maka istilah guyub rukun merupakan sebuah kondisi situasi yang damai, selaras tanpa adanya pertikaian yang dijaga secara bersama-sama.
Rukun adalah keadaan ideal yang diharapkan dapat dipertahankan dalam kehidupan sosial. Masyarakat Jawa memandang, permasalahan tidak terletak pada penciptaan keadaan keselarasan sosial melainkan lebih kepada tidak mengganggu keselarasan yang sudah ada.
4. Lembah Manah
Lembah manah adalah sikap seseorang yang tidak merasa lebih dari orang lain. Sikap lembah manah mencerminkan nilai Pancasila pada sila ke-2 yaitu Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
Seseorang yang memiliki sikap lembah manah dapat memosisikan dirinya sama dengan orang lain, tidak merasa lebih pintar, mahir, baik, atau menyombongkan jabatan yang dimilikinya sehingga dapat menghargai orang lain. Hal tersebut menjadikan seseorang yang mempunyai sikap lembah manah tidak akan meremehkan orang lain serta tidak akan bersikap sombong atas apa yang dimiliki.
5. Ewuh Pekewuh
Indikator kesopanan orang Jawa adalah tidak melakukan penolakan seperti mengatakan “tidak” pada perintah atau permintaan seseorang. Ewuh pakewuh dapat muncul akibat individu sudah mengenal atau banyak menerima suatu kebaikan dari orang lain sehingga bagi individu itu akan sulit untuk menolak atau mengabaikan permintaan orang tersebut. Ewuh pakewuh biasanya cenderung dihadapi orang yang lebih muda terhadap orang yang lebih tua.
6. Pangerten
Pangerten adalah kunci utama dari kehidupan bermasyarakat. Pangerten yang dalam bahasa indonesia berarti pengertian atau peka akan kondisi sesama merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan dari diri kita sebagai manusia.
Manusia diciptakan oleh Tuhan dengan berbagai perbedaan. Sebagai masyarakat yang majemuk, masing-masing anggota masyarakat dituntut untuk dapat hidup dengan orang lain yang memiliki perbedaan tersebut.
Perbedaan yang ada di dalam masyarakat hendaknya dipandang sebagai rahmat Tuhan yang harus disyukuri. Perbedaan yang ada pada diri kita maupun orang lain dapat dimanfaatkan untuk menyempurnakan diri. Hal semacam ini hanya mungkin terjadi apabila tiap-tiap manusia memiliki sikap saling menghargai satu sama lain.
7. Andhap Asor
Andhap asor secara kebahasaan berarti rendah hati dan sopan santun. Sikap andhap asor yang sebenarnya merupakan bagian penting dalam rangka melestarikan budaya bangsa yang luhur yakni pembentuk moral, perilaku, perangai, tabiat serta akhlak yang baik dan bijak berdasarkan paduan akal dan perasaan yang baik juga terpuji bahkan menghindarkan diri dari perilaku tercela dan buruk.
Pentingnya sikap andhap asor bagi kita dan generasi penerus kita agar dapat tetap menjunjung tinggi budaya atau tradisi luhur bangsa kita dan kebaikan hidup bersama. Apabila semua orang sadar dan mau memahami serta mengamalkan nilai-nilai dan budi luhur dalam kehidupannya sehari-hari dengan baik dan benar sehingga anak akan menirukan perilaku tersebut maka tidak akan lagi krisis moral dalam negara kita ini.
Baca Juga:
8. Tepa Selira
Tepa Selira memiliki arti tenggang rasa. Salah satu nilai leluhur yang dipegang teguh oleh masyarakat Jawa ini mengajarkan bahwasanya di dalam hidup, alangkah baiknya menghargai keberagaman dan perbedaan yang ada, juga peka terhadap sesama dan lingkungan sekitar.
Bagi orang Jawa, segala bentuk sikap yang akan disampaikan pada dan untuk orang lain, lebih dulu dinilai tingkat kebenarannya melalui pertimbangan yang berupa konsekuensi logis yang akan terjadi bila bentuk sikap yang akan disampaikan itu terjadi pada dirinya sendiri.
Konsekuensi logis, dalam hal ini menyangkut perasaan terhadap apa yang mungkin dirasakan oleh orang lain. Orang Jawa mengenal konsep ini dengan ungkapan tradisional yang disebut tepa selira (cermin diri).
Yups, Itulah nilai-nilai positif dalam budaya Jawa yang harus dilestarikan dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Semoga bermanfaat.
Baca Juga: Kalender Jawa, Bentuk Akulturasi Budaya Jawa dan Islam Melalui Sistem Penanggalan


















